Minggu, 27 Mei 2012

Residu PSU

Catatan: Irwansyah Amunu


Pemungutan Suara Ulang (PSU) Buton sudah berlalu sejak sepekan lalu, namun pesta demokrasi ulangan tersebut masih menyisakan noktah. Dua hal yang bakal menyita perhatian, gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan pecah kongsi pasangan Djaliman Mady-Muh Saleh Ganiru (IMAM-SALEH).

Dua hal tersebut saya sebut sebagai sisa-sisa PSU atau Residu PSU.

Terkait gugatan di MK, setidaknya dua kandidat sudah mendaftar, pihak Agus Feisal-Yaudu Salam Adjo (AYO) dan Muhammad Ali La Opa-La Diri (MANDIRI).

Ada yang berujar,"Hasil PSU hanya digugat mantan Bupati dan Wabup Buton." Mengapa? Kata dia, AYO diusung Golkar. Ketua Golkar Buton sekarang dijabat mantan Bupati Sjafei Kahar. Sedangkan MANDIRI didalamnya ada mantan Wabup Ali La Opa. Mendengar ini saya hanya geleng-geleng kepala seraya terkekeh. Entah benar atau keliru tergantung dari sudut apa kita memandang. 

Namun begitu, di kubu AYO, gugatan ini, merupakan kali kedua. Gugatan pertama karena pasangan nomor urut tiga ini merasa ada indikasi KPUD mengulur pelaksanaan PSU, makanya mereka membawa persoalan tersebut ke MK. Kedua, pasca-PSU, sebagai pihak yang kalah AYO menggugat lagi. Kini yang diadukan terkait tengara kecurangan penyelenggaraan Pilkada ulang.

Dua gugatan tersebut dengan dua kondisi yang berbeda. Pertama, sebagai pemenang, namun dibatalkan MK, kedua, berada pada posisi kalah.

Sementara MANDIRI konsisten dengan sikapnya. Mereka menggugat karena diduga terjadi pelanggaran verifikasi faktual yang dilakukan KPU Buton.

Bagi MANDIRI, ini merupakan gugatan pertama kali. Kendati demikian dalam Pilkada episode satu, dan dua, kondisinya sama, kalah.

Dari dua gugatan tersebut, kita akan mulai dipertontonkan adu argumentasi yang alot di MK dalam pekan ini. Domain hukum inilah yang akan memutuskan siapa yang bakal dilantik sebagai bupati-Wabup Buton, bulan depan.

Yang jelas, satu kaki pasangan Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakri (OEMAR-BAKRIE) sudah berada di kursi pelantikan. Mereka sudah ditetapkan KPU Buton. Satu kaki lagi menunggu putusan MK.

Teranyar, pecah kongsi pasangan nomor urut empat, IMAM-SALEH.

Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu saya sempat membuat catatan berjudul, PSU: Ajal Demokrasi? Dalam catatan tersebut saya menulis, terlalu sentimentil kalau diprediksi perolehan suara IMAM-SALEH dan MANDIRI dalam PSU, lebih banyak perolehan suara tidak sah dibandingkan dengan suara mereka.
Hasilnya benar. Perolehan suara IMAM-SALEH, 305 suara, sedangkan MANDIRI, 423 suara. Bila ditotal jumlahnya hanya 728 suara. Bandingkan dengan jumlah surat suara yang tidak sah, 1.047, unggul 319 suara.        

Melorotnya perolehan suara keduanya memang sudah diperkirakan sebelumnya. IMAM-SALEH karena indikasi perpecahan Djaliman dan Saleh, sementara MANDIRI menyoal tahapan verifikasi. Itulah yang membuat mereka tidak mengerahkan kekuatan penuh dalam PSU.

Hanya yang menarik, perpecahan IMAM-SALEH semakin terbuka setelah Djaliman melayangkan surat pernyataan ke KPU Buton. Mantan Sekab Buton di era Bupati Saidoe, dan Sjafei Kahar ini memprotes tandatangan keberatan yang dibubuhkan Hasan Adia mengatasnamakan IMAM-SALEH dalam pleno rekapitulasi perolehan suara PSU, Selasa (22/5) lalu.

Zaynal Ryha, kerabat dekat Djaliman ini merasa pihaknya sudah dipermainkan. Dia bahkan sudah melempar statemen keras bakal menggugat Saleh Ganiru.

Alhasil, kendati rakyat Buton sedang berada pada episode Residu PSU, namun hasilnya akan menjadi tonggak perjalanan daerah penghasil aspal ini selama lima tahun mendatang.(one.radarbuton@gmail.com)
     

Minggu, 20 Mei 2012

"MK Yang Maha Kuasa"


Catatan: Irwansyah Amunu


SABTU (19/5) rakyat Buton sudah memutuskan pasangan Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakri (OEMAR-BAKRIE) sebagai pemimpinnya lima tahun mendatang. Memang kemenangan pasangan yang diusung PAN-PPRN-PDK ini belum disyahkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, namun baru dianalisis sejumlah lembaga survei.

Hasil quick count (hitung cepat) LJI, JSI, dan Indo Barometer, Pemungutan Suara Ulang (PSU) menempatkan Oemar-Bakrie di tempat teratas. Menyusul Agus Feisal-Yaudu Salam Adjo (AYO), dan DR Azhari-La Naba Kasim (GEMA AZAN).

OEMAR-BAKRIE berhasil menggeser AYO yang dalam Pilkada 4 Agustus 2011 lalu sebagai kampium. Kini pasangan yang diusung koalisi Golkar dan PKS tersebut hanya menjadi runner up atau urutan ke dua. Sementara DR Azhari-La Naba Kasim (GEMA AZAN) tetap berada di urutan ketiga.

Berdasarkan perolehan suara yang dilansir tiga lembaga survei tersebut, terlihat pasangan OEMAR-BAKRIE agak sulit menggeser posisi AYO dari posisi puncak. Ini dengan melihat selisih suara antara pasangan pemilik nomor urut sembilan dan tiga tersebut hanya 2-3 persen.

Hasil quick count LJI misalnya, OEMAR-BAKRIE, 35,86 persen, sedangkan AYO, 32,17 persen. Selisih 3,69 persen.

Berikut, JSI, OEMAR-BAKRIE, 36,22 persen, sementara AYO, 34,01 persen. Beda 2,21 persen.

Terakhir, data Indobarometer, PSU Buton dengan partisipasi pemilih 64,38 persen, OEMAR-BAKRIE 36,87 persen, menyusul AYO 34,52 persen. Terpaut 2,35 persen.

Hasil tersebut tentu membuat kubu OEMAR-BAKRIE girang. Terbukti, dari malam Minggu langit Baubau sudah diterangi dengan kerlap kerlip dan dentuman kembang api yang diluncurkan mereka untuk merayakan kemenangan.

Kendati demikian, mereka tentu masih menunggu hasil pleno KPU Buton yang akan menentukan siapa pasangan calon Bupati-Wabup terpilih. Yang jelas, proses rekapitulasi suara kini sementara berproses dari TPS, PPS, PPK, dan berakhir di KPUD. Sesuai jadwal, La Rusuli Cs bakal menggelar pleno, besok.

Apakah La Rusuli Cs sebagai penentu? Ya. Tapi kepastiannya ada di ketuk palu Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi, kini sang pemenang boleh senang, tapi belum tenang.

Soalnya sejumlah pihak sudah menyiapkan gugatan ke MK. Bahkan hal tersebut sudah diniatkan sebelum PSU digelar.

Dan menurut saya, disitulah pertempuran terakhir yang sangat menentukan. Makanya ketika ditanya rekan-rekan soal PSU Buton, dengan nada guyon saya berujar,"Kejamnya politik, lebih kejam MK." Atau kalau ada pertanyaan siapa kemungkinan yang akan dilantik? Saya berucap,"PSU kuburannya ada di MK, bukan KPUD."

Akhirnya soal hasil PSU Buton ini, siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan Sjafei Kahar-Ali La Opa? Saya hanya bisa mengutip salah satu kicauan di akun twitter saya: "MK Yang Maha Kuasa".(one.radarbuton@gmail.com)

Senin, 14 Mei 2012

PSU: Ajal Demokrasi?


Catatan: Irwansyah Amunu

MINGGU ini, kita memasuki hari-hari paling menentukan bagi rakyat Buton. Sebab lima hari lagi atau Sabtu (19/5) nanti pemilih di Buton akan menyalurkan hak politiknya untuk memilih siapa yang akan memimpin Buton lima tahun mendatang.

Hajatan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Buton ini boleh dikatakan paling banyak menyerap energi. Bila dibandingkan dengan Konsel pun yang mengalami nasib sama menggelar Pilkada ulang, Buton masih lebih banyak.

Indikatornya, pertama, Konsel tidak sampai mengganti komisioner KPUD-nya, Buton semua penyelenggara Pilkadanya diganti. La Biru Cs "out" diganti La Rusuli Cs. Kedua, Konsel tak berbuntut ditunjuknya carateker bupati, Buton harus melahirkan carateker, Nasruan.

Ketiga, dana yang digelontor di Konsel lebih sedikit dibanding Buton. Pasalnya, jumlah pemilih di Buton lebih banyak, dan dari aspek geografis lebih luas. Ini mempengaruhi pundi-pundi dana yang digunakan lebih besar.

Keempat, kontestan Pilkada Buton lebih banyak dibandingkan Konsel. Dengan begitu, dana yang keluar dari kantung kandidat lebih banyak mengalir di Buton. Informasi tidak resmi yang saya peroleh dari setiap kandidat, atau orang dekat mereka, bila ditotal dananya mendekati Rp 100 miliar.

Kelima, jelang Pilkada Buton 4 Agustus 2011 silam, menelan "korban" dengan kecelakaan yang dialami helikopter milik Polda Sultra di Lakudo. Capung besi milik korps Bhayangkara tersebut jatuh ketika Polisi melakukan pemantauan lebih dekat jalannya Pilkada. Kerugiannya tentu tidak kecil.

Keenam, PSU Buton menyita perhatian Jakarta. Bukan hanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus dua kali menggelar sidang gugatan dan Kementerian Dalam Negeri juga dua kali melayangkan surat ke Bupati Nasruan. Tapi termasuk media nasional sekaliber MetroTv dua kali menayangkan acara Genta Demokrasi, dua pekan berturut-turut pula, berjudul Konspirasi dari Kendari dan Skenario Politik ala Buton.

Karena itu, jangan heran bila jelang hari H PSU, dari tujuh pasang kandidat peserta Pilkada beberapa diantaranya sudah "lempar handuk" dengan berbagai macam alibi. Umumnya soal KPUD yang belum bekerja secara profesional dalam melakukan verifikasi bakal calon.

Alhasil, ada yang tanpa malu-malu menampakkan "aurat politiknya" merger dengan kandidat lain. Ada yang malu-malu kucing. Ada pula yang memilih pasif.

Mereka sadar tidak bisa menang dalam PSU. Bahkan terlalu sentimentil kalau saya menganalisis dalam PSU nanti, lebih banyak perolehan suara tidak sah dibandingkan dengan suara mereka.

Inilah yang saya sebut dengan ajal demokrasi. Setahu saya, kontestan maju di panggung Pilkada sebagai aktor, bukan penonton. Kalau naik panggung hanya untuk jadi penonton, lebih baik dari awal mundur teratur. Toh antara kontestan dan penonton sama terhormatnya yang penting bisa menempatkan diri secara elegan.

Kini hari-hari penantian semakin dekat. Menurut saya, tidak banyak kejutan dalam PSU, yang bersaing hanya tiga pasang, OEMAR BAKRIE, AYO, atau GEMA AZAN? Siapa yang menjadi kampium? Rakyat Buton yang memutuskan.(one.radarbuton@gmail.com)

Selasa, 08 Mei 2012

Pilkada Ulang Pilkada


Catatan: Irwansyah Amunu

SABTU (19/5) pekan depan, rakyat Buton akan kembali memilih pemimpin baru. Setelah sebelumnya hasil Pilkada 4 Agustus 2011 silam yang memenangkan pasangan Agus Feisal-Yaudu Salam Adjo (AYO) dianulir Mahkamah Konstitusi (MK).

Sayangnya, sebelum Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang rencanannya digelar 11 hari lagi, masih banyak suara sumbang dari sejumlah pihak terkait hasil pleno KPU Buton yang melahirkan tujuh pasang calon: Yasin Welson-Abdul Rahman, AYO, IMAM SALEH, MANDIRI, Oemar-Bakrie, Gema Azan, dan Uku-Dani.

Setidaknya tiga orang yang sudah berencana menggugat, Tamrin Tamim, Ali La Opa, dan Djaliman Madi. Pertama, Tamrin menggugat karena merasa dua partai pengusungnya, Gerindra dan PPI dalam PSU mendukung figur lain. Padahal, kedua Parpol tersebut belum menarik dukungan kepadanya. Bukan hanya dua Parpol tersebut disoal, termasuk satu lagi Parpol lagi yang telah dilaporkannya ke Polda Sultra.

Kedua, Djaliman Madi. Mantan Sekab Buton ini berencana menggugat pasca-PSU.

Ketiga, Ali La Opa. Mantan Wabup ini bahkan ancang-ancang memboikot PSU. Dia menyoal verifikasi yang dilakukan KPUD.

Jadi, siapa pun pemenang PSU, pesta demokrasi tersebut masih bakal digugat. Maka itu, di kepala kita terngiang-ngiang: Pilkada, ulang, Pilkada. Atau, ulang, Pilkada, ulang.

Pertanyannya: Kapan selesainya urusan Pilkada? Kapan Buton punya pemimpin definitif? Terpenting, kapan rakyat diperhatikan secara serius melalui sentuhan pembangunan tanpa harus diganggu dengan urusan suksesi?  

Sekadar menganalogikan, bila kita sedang berkendara di jalan, PSU ini sudah merupakan "lampu kuning" bagi penyelengara Pilkada. Betapa tidak, hanya untuk menentukan kapan jadwal PSU, kubu AYO harus menggugat kembali di MK mempertanyakan ihwal pelaksanaannya.

Tak hanya itu, efek samping PSU pun berimbas kepada Bupati Nasruan. Dua kali memutasi pegawai dengan pertimbangan profesionalitas dan efektivitas kerja birokrasi, justru "disemprit" pihak Kementerian Dalam Negeri. Padahal mutasi juga dilakukan Pejabat Bupati Bombana, Hakku Wahab. Termasuk Yusran Silondae sewaktu menjabat Pls Gubernur Sultra.

Terlepas dari itu semua, rakyat Buton tentu hanya menghendaki ketenangan. Toh, hiruk pikuk potitik tidak begitu berimbas kepada mereka secara langsung. Yang "kenyang", mungkin hanya segolongan orang, misalnya Parpol dan Tim Sukses. Kalaupun mereka diberikan sentuhan "gizi" melalui "serangan fajar" nilainya rata-rata Rp 100 ribu per satu suara, sangat tidak sebanding dengan beban hidup yang dipikul selama lima tahun. Jadi, angka Rp 100 ribu kalau dibagi lima tahun, sama dengan Rp 54,79 per hari. Karena mata uang rupiah tidak ada pecahan seperti itu, kita bulatkan saja menjadi Rp 50. Dengan uang tersebut, mau dibelikan apa? Harga gula-gula saja sekarang yang paling murah Rp 100 per biji. Sekali lagi dengan uang tersebut, mau dibelikan apa?

Bandingkan dengan Parpol dan Tim Sukses. Salah seorang teman yang gagal maju di Pilbup mengaku uangnya habis sekitar Rp 2 miliar. Hasilnya, nihil. Dia gagal bertarung di Pilkada Buton. Diakuinya, untuk diusung sejumlah Parpol, dia harus merogoh kocek dalam-dalam. Karena cost politik yang dikeluarkan untuk menggunakan Parpol berfariasi, ada yang Rp 500 juta, Rp 250 juta, atau Rp 200 juta.

Bahkan salah seorang teman yang dekat dengan salah seorang calon yang lolos mengatakan, untuk "mengamankan" pintunya, satu Parpol banderolnya Rp 1 miliar. Dana tersebut disetorkan ke DPP Parpol bersangkutan. Menurut saya, bisa jadi ada Parpol yang memasang banderol lebih tinggi.        

Tapi sudahlah, coba bandingkan, satu suara Rp 100 ribu, sedangkan untuk Parpol Rp 1 miliar. Rasionya, 1:10.000. Hanya saja, rakyat tidak mau tahu itu. Mereka hanya mau hidup tenang, perut kenyang, masa depan terang.

Apakah setelah PSU nanti masih ada kejutan? Apakah Pilkada, ulang, Pilkada, atau ulang, Pilkada, ulang? Kita lihat saja nanti.(one.radarbuton@gmail.com)