Minggu, 25 Maret 2012

Manipulasi Pemikiran


Catatan: Irwansyah Amunu



LAMA tidak ke dewan, begitu ke DPRD Baubau, akhir pekan lalu, Sabtu (24/3) saya bersama massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) DPD II Kota Baubau yang menyuarakan aspirasinya menuntut penolakan terhadap rencana pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Partai Islam ini meminta wakil rakyat agar secara kelembagaan juga menolak rencana pemerintah tersebut, karena imbasnya dapat berdampak buruk, menambah beban masyarakat di tengah rendahnya daya beli mereka.

Apalagi, berdasarkan hasil survei LSI belum lama ini, 86 persen rakyat Indonesia menolak rencana pemerintah tersebut. Nah, bicara rakyat Indonesia ini, termasuk di dalamnya rakyat Baubau. Maka itu, dewan secara kelembagaan diminta untuk menolak rencana kenaikan harga BBM.

Dari 25 anggota dewan Baubau, 50 persen lebih atau 14 diantaranya menerima massa HTI. Mereka antusias mendengarkan argumen para pengunjuk rasa. Rapat dipimpin Wakil Ketua DPRD, La Ode Yasin Mazadu. Anggota lainnya yang hadir, La Ode Abdul Munafi, Muhammad Ishak Zuhur, La Ode Abdul Monianse, H Suddin, Rais Jaya Rahman, Zuliati Mahyudin, La Rusu, H Nuddin, Adnan Lubis, H Huzulia, H Ridwan, dan Wa Ode Rosni.

Perwakilan HTI mengungkapkan, pemerintah cenderung mencari cara gampang untuk menaikan harga BBM, padahal masih banyak cara lain untuk mengurangi beban APBN yang ditimbulkan dari dampak kenaikan harga BBM dunia dengan tidak mengorbankan rakyat. Misalnya, APBN tidak pernah kekurangan, dua tahun terakhir terdapat SILPA (Sisa Lebih Anggaran), awal 2012, kurang lebih Rp 100 triliun. Kemudian, dari kebocoran anggaran, potensi kerugian negara dengan menjual gas sangat murah ke Cina dari tahun 2006-2009 senilai Rp 410 triliun. Tak hanya itu, data dari KPK, kebocoran penggunaan APBN setiap tahun sebesar 40 persen. Kalau total APBN sebesar Rp 1400 trilun, artinya dana yang bocor sekitar Rp 500 triliun. Kalau dana-dana tersebut dialokasikan kepada pos subsidi, pemerintah tidak mesti menaikan harga BBM dengan mengorbankan seluruh rakyat Indonesia.


Sebetulnya, bila pemerintah menaikkan harga BBM, melanggar pasal 7 UU tentang APBN 2012 yang menyatakan pemerintah tidak bisa mengurangi subsidi. Hal lain, UU nomor 22/2001 tentang Migas, sudah dibatalkan MK, namun sayangnya pemerintah hanya mengganti harga pasar menjadi harga keekonomian. Intinya, menaikkan harga BBM semakin menyempurnakan liberalisasi Migas. Pemerintah dan kaum kapitalis untung, rakyat buntung.

Terakhir dikatakan, sebagai bentuk penolakan secara kelembagaan, dewan diminta bersurat kepada Presiden SBY dan DPR RI di Senayan, menolak rencana kenaikan BBM tersebut.

Menanggapi argumentasi tersebut, pada intinya 14 legislator tersebut satu suara. Mereka juga menolak rencana kenaikan BBM.

H Ridwan, politisi PPP secara tegas menyatakan sepakat menolak. Pendapatnya sejalan dengan ketarangan HTI yang sejalan dengan data dari Kwik Kian Gie. Bila BBM dinaikan, broker diuntungkan.

Zuliati Mahyudin, dari PPP juga mengaminkan. Bahkan dia minta memperjelas alamat surat yang bakal dilayangkan dewan.

Munafi, mendukung dewan merespons dalam bentuk kelembagaan. Politisi PBB ini merasa aneh, Indonesai penghasil Migas, tapi hasilnya belum bersinergi dengan rakyat untuk mengangkat kesejahterannya.

Dia mengutip gagasan mantan Presiden Soaekarno, tri konsep revolusi salah satunya berdikari dalam bentuk ekonomi. Dia heran, Kita memiliki Migas kualitas tinggi, namun dijual. Kita beli lagi dari Timur Tengah, kualitas rendah akibatnya polusi tinggi. Sebagai bukti, di Jakarta, matahari dan bulan tidak kelihatan karena tertutup polusi.

Legislator dua periode ini menyatakan efek kenaikan BBM, harga barang naik. Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp 150 ribu yang rencananya dibagikan pemerintah, tiga hari habis, lantas 26 harinya rakyat mau ke mana?

Maka itu, politisi PBB ini menyatakan dua hal yang perlu di-folow up. Pertama, sepakat keputusan resmi menolak. Suratnya ditujukan kepada Presiden, DPR RI, dan Meneg BUMN. Plus kepada Gubernur, DPRD Sultra,walikota dan Muspida Kota Baubau. Dia minta suratnya jangan bersifat tembusan, tapi dijukan kepada seluruhnya, pertama dan seterusnya.

Kedua, ada klausul untuk menidak tegas pelaku penimunan BBM. karenanya, perlu dilakukan Raker dengan Pemkot menghadirkan Depot Pertamina BBM Kota Baubau dan distributor. Diujung kalimatnya, legislator yang juga budayawan ini mendeskripsikan, kenaikan BBM ibarat pepatah, rakyat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Selanjutnya, Adnan Lubis menggambarkan pemerintah kita seperti Mentalis, Romi Rafael. Seorang mentalis, untuk mempengaruhi orang dengan melakukan manipulasi perasaan dan pemikiran. Seperti itulah pula pemerintah kita: Perasaan dan pemikiran kita dimanipulasi. Pemerintah hanya berasumsi kenaikan harga BBM dengan perspektifnya sendiri, misalnya konsumsi BBM untuk pengguna mobil, dan sepeda motor yang digunakan kalangan ekonomi atas. Tidak pernah diskusi ketika harga BBM naik, sayur naik.

Maka itu, Adnan menyatakan walaupun secara nasional PAN menerima usulan kenaikan BBM, tapi masyarakat Baubau menderita, makanya dia pun menolak.

Sementara, La Rusu salut dengan aspirasi HTI yang dilakukan secara damai. Dia menyatakan era SBY, kebijakan diambil tidak terburu-buru.Terkait penolakan kenaikan harga BBM, dia sepakat aspirasi tersebut perlu ditindaklanjuti.

Sebagai politisi Partai Demokrat dia berharap kenaikan harga BBM bisa ditunda dengan masuknya aspirasi dari Baubau. Apalagi bila aspirasinya dikirimkan secara nasional oleh DPRD yang ada di seluruh nusantara. Sebab menurutnya kenaikan harga BBM baru sebatas tawaran.

Berikutnya Monianse. Ketua PDIP ini menyatakan prinsipnya dewan segera mungkin melakukan dukungan administrasi kepada Presiden dan DPR di pusat menolak kenaikan harga BBM. Kita di daerah harus memberikan saran, dan langkah yang tepat kepada pemerintah.

Selanjutnya, segera memanggil Pemkot untuk menyikapi bersama, baik sebelum kenaikannya. Karena kini ada beberapa komuditas yang harga mulai naik.

Soal kenaikan harga BBM, Monianse menyatakan hal tersebut pasti akan membuat rakyat menderita. Pada 2008, BBM naik 8,75 persen, akibatnya inflasi terkerek menjadi 11,01 persen. Kini rencana kenaikan harga BBM, 33 persen, dia yakin inflasinya akan lebih tinggi lagi. Sementara, daya beli rendah, maka kesejahteraan rakyat tidak bisa tercapai. Sehingga, kita di tingkatan lokal harus mengantisipasi ini.

Moni juga mengungkapkan kajian metafisika, negeri ini dapat kutukan ketika tahun 2010 korupsi merajalela. Dampaknya, sejumlah daerah di Indonesia terkena wabah ulat bulu. Sekarang Tomcat.

Dia berharap pemerintah kita punya nurani. Maka itu, PDIP mendukung sikap HTI yang menolak kenaikan harga BBM.

Akhirnya, rapat tersebut ditutup dengan dua kesimpulan. Pertama, dewan secara kelembagaan akan mengirimkan surat ke Pusat menolak kenaikan harga BBM. Kedua, akan melakukan Raker dengan Pemkot mengantisipasi kenaikan harga BBM tersebut di daerah.

Sebelum diakhiri, perwakilan HTI menyatakan akan datang lagi ke dewan, Kamis (29/3) dengan massa yang lebih besar. Mereka akan meminta bukti pengiriman surat kepada stakeholder terkait.

Setelah itu, massa HTI bergerak ke Kantor DPRD Buton di Baubau, dengan guyuran hujan lebat. Sayangnya karena wakil rakyat ini lima hari kerja, massa hanya menemukan bangun kosong melompong, tanpa satu pun legislatornya yang hadir.(one.radarbuton@gmail.com)

Senin, 19 Maret 2012

Sensasi Empat Dimensi


Catatan: Irwansyah Amunu



BELUM lama ini, saya melakukan roadshow di empat daerah di jazirah Buton Raya. Terdiri dari, Wakatobi, Buton, Butur, dan Muna. Dari kunjungan tersebut saya bisa merasakan sensasi empat dimensi.

Kendati seluruhnya sama, daerah otonom berstatus kabupaten, namun masing-masing memiliki karakter berbeda. Hal tersebut terpola berdasarkan kondisi geografis masing-masing wilayah, dan kejelian sang kepala daerah dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya.

Saya mengawali roadshow di Wakatobi. Karena ingin menghemat waktu, saya ke Kepulauan Tukang Besi tersebut menggunakan "kapsul besi". Butuh waktu 25 menit untuk sampai ke Wangiwangi, sebelumnya kalau naik kapal selama 9-10 jam. Suatu penghematan waktu yang sangat luar biasa.

Tarifnya pun cukup terjangkau, hanya sekitar Rp 200 ribu, sementara bila naik kapal, Rp 130 ribu. Selisih Rp 70 ribu tapi waktu diperpendek sampai sembilan jam lebih.

Menariknya, saat mengudara menuju Bandara Matahora, Wakatobi, kita melintas di atas pelangi. Pemandangan yang baru pertama kali saya alami. Saking tidak percaya dengan fenomena alam tersebut, saya menanyakan kepada penumpang yang duduknya berada tepat di belakangku. Dia membenarkan.

Bukan itu saja, panorama alam Wakatobi dari atas sangat eksotis, membuat kita tidak sabar untuk menikmatinya secara langsung. Pepohonan hijau, laut biru, dan pasir putihnya sangat menggoda.

Sayangnya, pemandangan dari langit tersebut laksana fatamorgana. Tiba di Wangiwangi, saya melintasi jalan yang belum teraspal. Taksi yang saya tumpangi meliuk-liuk di jalan menghindari jalan berlubang, dan mencari badan jalan yang baik diantara jalan yang belum tersentuh aspal. Ingatan saya langsung menerawang kecelakaan lalulintas yang dialami mobil dinas Ketua DPRD Wakatobi, beberapa waktu lalu. Korbannya, satu orang tewas dan beberapa lainnya harus dirawat di RSUD. Dalam hati saya, pantas saja Lakalantas itu terjadi.

Tidak berhenti sampai di situ, di pinggir jalan ada bangunan sekolah yang konon bertaraf internasional, namun kondisinya tidak sesuai namanya. Lebih parah lagi, ketika berada di dalam Kota Wangiwangi kondisi jalannya memprihatinkan. Kata teman, karena menghindari jalan buruk yang berlubang, kerap kali terjadi Lakalantas. Kasihan sekali.

Belakangan, jalan itulah yang menjadi sasaran unjuk rasa beberapa demonstran. Sebab direncanakan bakal dihotmiks, namun belum terealisasi. Semoga momentum MTQ tingkat provinsi ke-24 yang bakal digelar di daerah bermoto Surga Nyata di Bawah Laut ini akan merubah sejumlah infrastruktur tadi layaknya surga bagi kafilah dari 12 kabupaten/kota di Sultra.

Dari Wakatobi, saya melanjutkan perjalanan ke Butur menggunakan kapal. Berangkat pukul 10.00 Wita, tiba di Dermaga Sara Ea, Butur pukul 15.30 Wita.

Untuk Butur, saya angkat topi. Meski tergolong daerah yang paling bungsu di jazirah Buton Raya, namun perkembangnya pesat. Dari dermaga ke pusat kota, kita melewati jalan yang teraspal mulus. Sejumlah infrastruktur pemerintahan juga terlihat megah.

Teman yang mengantar dengan bangga memperlihatkan bangunan RSUD Butur. Megah. Apalagi itu baru bagian kecilnya, karena rencananya disekitarnya bakal dibangun ruang perawatan lainnya. Fantastis.

Di dalam kota, jalannya pun lebar. Kendati baru sepintas, saya menangkap kesan positif di Butur. Walaupun jaringan komunikasi telepon seluler masih menjadi kendala. Namun demikian, sudah ada tower BTS yang sementara di bangun. Tidak salah bila daerah yang dipimpin Ridwan Zakariah ini disiapkan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Porda ke-13.

Dari Butur, pagi hari saya menggunakan mobil untuk kembali ke Baubau. Karena kelelahan, saya memanfaatkan perjalanan balik ini untuk istirahat. Menariknya, di tengah perjalanan ada salah seorang penumpang yang bertanya ke sopir,"Apakah ini sudah masuk Buton." Karena harus berjibaku menantang medan berat, sang sopir tidak menjawab, dia hanya menganggukan kepala pertanda benar.

Inilah "PR" yang harus diselesaikan. Akses jalan di daerah perbatasan Butur-Buton perlu mendapat sentuhan. Termasuk di Lasalimu, Lasalimu Selatan, dan Kapontori.

Betapa tidak, tiba di Baubau, akibat "ombak darat" yang begitu kencang, membuat kepalaku pening. Nyaris tidak masuk kantor.

***

Sepekan setelah ke Wakatobi dan Butur, saya melanjutkan perjalanan ke Raha. Miris juga hati saya, karena belum banyak perubahan di daerah yang dipimpin dr Baharuddin ini. Namun demikian, direncanakan Raha menjadi tuan rumah HUT Sultra pada April nanti. Semoga hajatan ini mampu menyihir wajah Kota Raha. Sebab dengan momentum yang sama, tahun lalu Pemkot Baubau menggunakan penyelenggaraan HUT Sultra di Kota Semerbak untuk menyulap Kotamara. Hasilnya, sesuai harapan.

Itulah sensasi empat dimensi di masing-masing kabupaten di jazirah Buton Raya. Tiga diantaranya bakal menjadi tuan rumah hajatan level provinsi. Muna (penyelenggaraan HUT Sultra), Butur (Porda), dan Wakatobi (MTQ). Buton kehilangan momentum karena sementara mengalami transisi politik menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang (PSU), 15 Juli nanti. Bila tidak, saya yakin daerah yang dipimpin Nasruan ini mampu menjadi event organiser (EO) untuk salah satu hajatan.

Sepenggal asa bergelayut di hati, jazirah Buton Raya tidak bisa di pandang sebelah mata. Terlepas dari sisi positif dan negatif masing-masing. Semoga.(one.radarbuton@gmail.com)

Kamis, 15 Maret 2012

Buton Raya Spring


Catatan: Irwansyah Amunu


JUMAT (9/3) lalu, saya melakukan perjalanan melelahkan ke Jakarta. Menggunakan pesawat pagi, saya tiba di sana nyaris pukul 11.00 WIB.

Keluar dari Bandara Soekarno-Hatta hingga ke lokasi tujuan di Cibubur, banyak baliho, stiker, dan pernak-pernik Pilgub DKI Jakarta menghiasi wajah ibukota. Termasuk ketika saya menyusuri Kantor KPU DKI Jakarta.

Jakarta memang dalam suasana Pilgub. Kondisi yang sama dengan Kota Baubau, dan Kabupaten Buton. Dua daerah yang menjadi inti politik di jazirah Buton Raya.

Keduanya pun sama, pasti akan melahirkan kepala daerah baru. Soalnya Walikota Baubau, Amirul Tamim dan Bupati Buton, Sjafei Kahar telah dua periode menjabat. Tidak bisa lagi maju untuk kali ketiga.

Bedanya, kalau rakyat Buton melakukan kocok ulang karena hasil Pilbup 4 Agustus silam dianulir MK, Baubau tidak. Agenda Pemungutan Suara Ulang (PSU) Buton, 15 Juli, sedangkan Pilwali kemungkinan bersamaan dengan Pilgub Sultra, 4 November.

Saya melihat karena faktor tidak ada incumbent inilah yang membuat cuaca politik di Baubau dan Buton, memanas. Salah satu buktinya, Pilbup Buton berujung PSU. Korban yang jatuh pun banyak, diantaranya semua Komisioner KPU Buton dipecat dengan tidak hormat. La Biru, La Ode Endang, Abdul Salam, Sumarno, dan Agus Salim diberhentikan sebelum waktunya.

Akibatnya, Nasruan mengambil alih tampuk kepemimpinan di Buton sebagai pejabat bupati karena belum ada bupati definitif yang dihasilkan Pilbup.

Saya melihat hal tersebut terjadi karena kerasnya gesekan pesta demokrasi. Walaupun jadwalnya berlangsung secara alami, namun benturan politiknya sangat luar bisa kerasnya. Kendati incumbent tidak ada, tapi secara terselubung perannya cenderung condong kepada salah satu figur pewaris takhta.

Dari sudut pandang politik hal tersebut tidak salah. Semua warga negara punya hak yang sama, dengan catatan memenuhi syarat untuk maju sebagai kandidat kepala daerah.

Sayangnya hal ini menjadi salah satu faktor yang menimbulkan resistensi bagi kandidat lain. Terlepas dari plus minusnya kandidat tersebut.

Inilah menjadikan suasana Buton Raya Spring semakin terasa. Ya, musim semi politik di Buton dan Baubau. Sekarang, seolah semua dinamika dimaknai sebagai sesuatu yang tidak luput dari interest dan intrik politik.

Pertanyaannya sekarang, dari semua itu, apakah keinginan rakyat sudah terpenuhi? Mungkinkah hiruk pikuk politik yang terjadi dapat merubah nasib mereka? Apakah proses suksesi kepemimpinan dapat membuat kenyang perut rakyat?

Banyak pertanyaan yang perlu dijawab untuk mendekatkan harapan rakyat terhadap pemimpinnya. Kalau mau jujur, diantara aneka pertanyaan yang muncul, harapan rakyat cuma satu, kesejahteraan. Lebih rinci, lapangan kerja terbuka, perut tidak lapar lagi, kebutuhan pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan terpenuhi, dan masa depannya cerah.

Figur yang mampu mewujudkan hal tersebut pasti lebih diinginkan rakyat. Siapa pun dia. Bahkan dari latar belakang apa pun ia. Rakyat membutuhkan pemimpin seperti itu, ketimbang figur yang hanya mampu memberikan "angin surga", namun programnya sulit terealisasi. Ketimbang program yang hanya menjadi lipstik politik, melangit, berangan-angan tinggi, tidak membumi sesuai realitas kebutuhan masyarakat. Kasihan rakyat, sampai kapan dibodohi, harus melarat seraya mengutuk nasib yang tak kunjung berubah.

Rakyat butuh figur pemimpin yang mampu melakukan edukasi, representasi, artikulasi, dan agregasi hak-hak mereka. Dengan demikian, mereka tidak merasa sunyi dalam keramaian. Namun sebaliknya, menikmati berkah politik yang bertujuan untuk mengatur dan mengurusi semua kebutuhannya agar terpenuhi.

Walhasil, siapakah yang bakal dipilih rakyat dalam Buton Raya Spring di Buton, 15 Juli, dan Baubau, 4 November nanti? Kita tunggu.(one.radarbuton@gmail.com)