Senin, 30 Juli 2012

Galau PLTU


Catatan: Irwansyah Amunu


JELANG Ramadan, sejumlah warga ribut soal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan aktivitas penambangan yang dilakukan PT Bumi Inti Sulawesi (BIS). Tak ayal, aksi tersebut berbuntut pengrusakan Kantor Kelurahan Lowu-Lowu, Kecamatan Lea-Lea. Akhirnya Polisi mengamankan delapan orang yang diduga menjadi motor penggerak massa.

Kemarahan massa diduga karena PLTU dan PT BIS tidak mengindahkan rekomendasi dewan ihwal penghentian sementara aktivitas keduanya. Massa beralasan kegiatan dilakukan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Walaupun belakangan pihak PT BIS mengklaim telah menghentikan aktivitasnya. Bahkan hal itu dilakukan sebelum rekomendasi diterbitkan.

Memang kita semua mengharapkan aktivitas keduanya dilakukan tanpa membahayakan masyarakat. Apalagi mengancam kelangsungan dan kehidupan warga setempat. Maka itu, Amdal dibutuhkan. Namun, bukankah Amdal kawasan sudah ada?

Di tengah polemik ini, saya ingin mempersempit fokus soal PLTU. Terkait hal ini, banyak yang galau. Galau PLTU.

Mengapa? Rupanya kelebihan daya listrik yang dimiliki Baubau tidak bersifat permanen. Memang saat ini daya listrik yang dimiliki PLN Cabang Baubau lebih, total daya sekarang sekitar 18 MW. Namun, setahu saya yang dimiliki pembangkit PLN Baubau hanya sekitar 3 MW. Selebihnya, sekitar 15 MW bersumber dari mesin yang disewa PLN dari daerah lain untuk menutupi defisit daya listrik Baubau. Jadi, kalau mesin yang disewa tersebut ditarik dari Baubau, habislah kita. Baubau bisa jadi akan kembali gelap gulita. Hal ini pernah terjadi pada 2006.

Pengalaman waktu itu, listrik byar pet (sering padam), akibatnya menyala secara bergilir. Bila pembangkit yang dimiliki PLN drop, maka jadwal giliran kacau balau. Inilah pula yang membuat masyarakat Baubau sering panas. Akibatnya PLN kerap kali jadi bulan-bulanan demonstran. Nyaris tiap hari terjadi unjukrasa, sarannya satu, PLN. Padahal, hal tersebut diluar kuasa mereka.

Saking parahnya Kantor PLN Cabang Baubau pun lampunya harus padam. Mereka juga berempati dengan kondisi daya listrik yang minus. Bahkan pernah terjadi, satu Kota Baubau padam total.

       
Kebetulan saat itu, saya masih menjadi koresponden. Karena buruknya kondisi listrik, kerap kali berita tidak naik cetak karena jadwal deadline pengiriman berita lewat. Akibatnya berita yang dikirim ke Kendari berita basi.

Tak hanya itu. Untuk mengisi baterai handphone, saya harus mencari rumah rekan yang listriknya tidak terkena giliran pemadaman. Itu jurus pertama. Jurus kedua, saya harus beli baterai HP baru agar ketika satu yang satu low-bath, maka sudah siap baterai cadangan. Dua jurus itu bukan hanya saya yang gunakan, beberapa rekan juga mengamalkannya.

Perlu diingat, saat itu kebutuhan daya listrik bagi warga Baubau belum sebesar sekarang. Ruko belum seberapa tumbuh subur. Perumahan belum seberapa menjamur. Belum ada Terminal Suplai BBM. Belum ada Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).

Maka itu, PLN mengambil langkah penyelamatan dengan menyewa mesin dari luar Kota Semerbak. Setahu saya, jika disewa, sifatnya hanya sementara, bukan permanen.

 

Nah, jika mesin sewa ini ditarik, kira-kira bagaimana listrik Baubau? Apalagi saya mendengar dari sumber yang bisa dipercaya, bila di Baubau terus ribut, PLTU akan dipindahkan lokasi pembangunannya. Dan ratusan kabupaten/kota sudah siap menampung.

Padahal, pembangunan PLTU di Kolese penuh dengan

perjuangan. Bahkan harus mengundang tokoh sekaliber Dahlan Iskan (saat masih menjabat Dirut PLN) pada 2011, ke Baubau untuk melihat dari dekat kondisi kelistrikan kita. Keputusannya pun diambil di tengah laut, karena perjalanan melihat lokasi pembangunan PLTU menyusuri laut menuju Kolese.

Hasilnya berbuah manis. PLTU kini sementara dibangun dan ditargetkan tahun depan beroperasi. Daya yang dihasilkan kurang lebih 10 MW. Daya tersebut bukan hanya melayani kebutuhan warga Baubau, tapi juga daerah belakang antara lain Muna, Buton, dan Buton Utara. Karena PLN Cabang Baubau memiliki interkoneksitas dengan daerah tersebut.

Termasuk daya listrik tersebut juga sebagai suplai energi bagi bidang industri. Sebab sudah ada payung hukum yang diterbitkan pemerintah agar hasil tambang tidak lagi dipasarkan dalam kondisi mentah, tapi harus sudah diolah menjadi bahan jadi. Dengan demikian energi listrik tersebut akan menjadi pemasok energi bidang industri.

Tumbuhnya industri, secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan. Dengan demikian, warga setempat tidak harus merantau ke luar daerah untuk mencari nafkah. Tapi bisa mengais rezeki di kampung sendiri.
Efek lainnya, kita juga bisa menghasilkan generasi unggul, karena anak-anak dibesarkan dengan orang tua yang lengkap. Tidak hanya dibesarkan oleh seorang ibu, sementara ayahnya meninggalkan rumah karena mencari nafkah di negeri orang.

Terlepas dari itu semua, kita berharap persoalan PLTU secepatnya selesai. Gesekan, pro-kontra dalam pembangunan, lumrah. Dengan catatan, diselesaikan secara elegan. Hati boleh panas asal kepala tetap dingin.(one.radarbuton@gmail.com)

Rabu, 25 Juli 2012

Puasa Pol....


Catatan: Irwansyah Amunu



TIDAK terasa, hari ini kita telah memasuki 6 Ramadan 1433 H. Seperti biasa, awal puasa kali ini masih menjadi pro kontra, apakah puasanya dimulai Jumat (20/7) atau Sabtu (21/7). Seperti biasanya pula, untuk menantikan kepastian tentang keabsahan kapan dimulainya puasa, sama dengan tahun-tahun sebelumnya saya harus menunggu sampai subuh hari.

Karena informasi harus di-update tiap jam, maka Jumat lalu saya tidur seperti tidur ayam. Setiap jam, bahkan setiap setengah jam harus bangun mengecek Handphone (HP) menanti info rukyat hilal global dari rekan. Nanti pk 03.00 lewat baru saya dapatkan kepastian, Jumat lalu sudah terhitung 1 Ramadan.

Kepastian itu semakin menebal setelah membaca running text disalah satu Tv swasta yang menginformasikan hilal sudah terlihat di Arab Saudi. Bukan hanya itu, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Mesir, Turki, dan sejumlah negara di Afrika sudah memulai puasanya, Jumat. Alhasil Jumat subuh saya bersama keluarga sudah sahur.

Pagi harinya ada rekan yang menginfokan via Blackberry Massenger (BBM) ada kicauan twitter Ustaz Yusuf Mansur menyebutkan, Mekah dan Madinah sudah salat tarwih sejak malam Jumat.

Dan betul, malam Minggu (21/7) bulan sudah tinggi. Dengan mata telanjang, kita bisa pastikan malam Minggu sudah 3 Ramadan. Bulan memang tidak punya mulut, tidak bisa ngomong, tapi bulan tidak bisa bohong. Bulan juga tidak bisa disuap dan dikorupsi sesuai kehendak manusia. Bulan bergerak sesuai hukum alam sejalan dengan kehendak Allah SWT. Perlu dicatat pula, bulan bukan terbit di Indonesia sehingga disebut bulan milik rakyat Indonesia. Tapi bulan untuk alam semesta, bagi seluruh umat manusia di jagat raya.

Inilah relefansi rukyat harus dilakukan secara global, bukan nasional, apalagi lokal. Sebab secara astronomi antara satu titik dengan titik lainnya di bumi ini tidak terjadi perbedaan hari. Yang ada hanyalah perbedaan waktu. Antara satu titik dengan titik lainnya yang terjauh maksimal 12 jam. Bukan 24 jam.

Terlepas dari polemik tersebut, sekarang umat Islam khusyu menjalankan puasa. Semua berharap menjadi pemenang. Semua berharap puasanya penuh,  puasa pol.

Bukan Puasa Pol....(tambah empat titik) Maksudnya? Puasa politik.

Ini terkait masyarakat Baubau yang bakal menghadapi hajatan Pilwali. Plus Pilgub Sultra yang juga dialami seluruh kabupaten/kota di Bumi Anoa.

Kenapa saya katakan demikian? Pasalnya momentum Ramadan kali ini berdekatan dengan hajatan Pilwali dan Pilgub yang bakal digelar 4 November nanti. Sehingga bisa saja digunakan para kandidat secara terselubung mendekati rakyat memanfaatkan Ramadan untuk memuluskan maksud politiknya.

Sehingga bisa jadi, safari Ramadan, puasa, salat, zakat, santunan, bantuan, buka puasa, sahur, kartu lebaran, zakat fitrah, dan hadiah lebarannya bukan murni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tapi dipenuhi dengan motif politik kepentingan Pilwali atau Pilgub. Kalau ini terjadi maka amalannya sia-sia, pahalanya tidak ada. Sebab bukan mengharapkan ridho Allah, tapi ridho manusia.

Pastilah mereka hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga belaka, tanpa pahala. Karena di kepalanya hanya ada satu pikiran:  Menambah pundi-pundi suara, bukan pundi-pundi pahala.

Sehingga Puasanya Pol.... Atau dengan kata lain, puasa politik, safari Ramadan politik, salat politik, zakat politik, santunan politik, bantuan politik, buka puasa politik, sahur politik, kartu lebaran politik, zakat fitrah politik, dan hadiah lebaran politik.

Semoga saja ini tidak terjadi. Kalaupun terjadi, saya kira rakyat sudah cerdas. Bisa membedakan amal ibadah murni dan ibadah palsu. Mana Puasa Pol, mana Puasa Pol.... (one.radarbuton@gmail.com)

Rabu, 18 Juli 2012

Baubau Autopilot


"Revolusi Senyum kita angkat dalam jargong Bersama Lebih Baik, tentu kita ingin menanamkan bahwa inti bersama lebih baik itu, kalau kita punya satu kesatuan hati," Amirul Tamim, Walikota Baubau




TIDAK terasa, Festival Perairan Pulau Makasar (FPPM) ke-5, besok, berada pada penghujung masa pemerintahan Walikota Amirul Tamim. Apa saja pengaruhnya selama ini? Bagaimana pula harapan walikota? Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Radar Buton, Irwansyah Amunu di Rujabnya, belum lama ini.



--Festival Perairan Pulau Makasar, diakhir periode bapak kira-kira muatannya apa?

Jadi ini Festival Perairan Pulau Makasar sudah jadi agenda nasional, tentu dengan berbagai kekurangan, kelemahan, masih tetap kita jumpai. Tapi terus kita mengangkat iven yang bisa menjual daerah kita dalam arti positif.

Baubau ini punya potensi besar di bidang pariwisata, bukan karena sejarah dengan berbagai peninggalan yang bisa bercerita di berbagai tempat, tapi dengan alamnya juga dengan potensi yang dimilikinya, daerah ini sebanarnya kaya. Ingin saya katakan dan berani saya katakan, daerah ini punya potensi paripurna kalau kita ingin kemas sebagai daerah tujuan wisata dan  berinvestaasi. Cuma daerah ini harus kita jual terus dalam berbagai momen, termasuk membuat iven seperti Festival Perairan Puma.

Diakhir jabatan saya di tahun ke-10, bertepatan dengan tahun 2012 beberapa iven yang akan diselenggarakan di Baubau. Iven budaya, 1 September tuan rumah Festival Keraton Nusantara. November iven politik, pemilihan walikota maupun gubernur, tapi kita yakin masyarakat kita sudah cukup dewasa menyikapi berbagai iven ini, sehingga saya yakin Kota Baubau bisa memerankan itu semua.

Terkait Festival Perairan Pulau Makasar, terus kita gelorakan iven ini, dan saya kira nama festival ini akan jadi catatan-catatan, dan mungkin jadi inspirasi bagi pihak-pihak dan generasi mendatang untuk tetap menggali kenapa namanya Pulau Makasar? Apa peran Pulau Makasar? Bagimana peran Baubau? Bagaimana peran kawasan ini? Bagaimana cerita masa lalu tentang kesultanan? Bagaimana daerah ini dan kemasan yang bagaimana pada masa-masa akan datang dengan berbagai potensi yang dimilikinya?

Olehnya itu, dengan konsep ini akan kembali pada masyarakat sebagai pemilik sah semua yang terjadi di Baubau. Tapi saya punya optimisme, jualan ini akan punya nilai besar di masa akan datang kalau terus kita gelorakan.

Karena satu, dunia ini semakin terbuka artinya dalam globalisasi, orang dalam usia-usia ke atas dengan kemapanan ekonomi, mereka akan berkeliling dunia, menikmati semua kawasan-kawasan dunia.

kedua, ada fenomena baru, tren masyarakat Indonesia domestik untuk selalu pada momen tertentu berlibur menikmati daerah-daerah lain, pesona-pesona Nusantara yang lain. Itu bisa kita lihat setiap liburan orang bergerak untuk mengunjungi tempat-tempat objek wisata, besar sekali.

Ketiga, ekonomi masyarakat semakin membaik, sehingga kebutuhannya bertambah. tadinya kebutuhan papan, pangan, sandang, ada kebutuhan tambahan yaitu rekreasi, sudah jadi kebutuhan pokok.

Kebutuan pokok itulah, kita harus menyiasati kota kita sehingga bisa menjadi salah satu pilihan ketika masyarakat domestik ingin memenuhi kebutuhan rekreasinya. Kalau tahun lalu dia ke Bali, ke Jogja, kemungkinan tahun berikutnya ke Baubau, dan itu akan terjadi. Orang Bali kemungkinan mengatakan saya pengen lihat Baubau, orang Jakarta demikian juga.

Dan ini sudah bukan hal yang susah karena fasilitas lapangan terbang kita dengan angkutan pesawat sudah bisa memberikan peluang untuk ini. Jadi orang yang karena irit waktu bisa naik pesawat, irit uang bisa naik kapal. Berarti ada peluang-peluang menjadikan daerah kita akan jadi pilihan. Tapi kalau ini tidak kita kelola dengan berbagai iven seperti Festival Perairan Pulau Makasar, mungkin daerah kita tidak jadi pilihan.

Dan ingat, salah satu sektor yang bisa mmemberikan kontribusi nilai tambah masyarakat, sektor pariwisata, bukan pemandangan alam, budaya, ini hanya magnitnya. Tapi sebenarnya yang bisa memanfaatkan, sisi ekonomi, industrinya, katakanlah industri kulinernya, kerajinanya, perhotelannya, angkutannya, kemudian berbagai instrumen-instrumen seperti disisi lain kreativiitas budaya akan menjadi bagian-bagaian yang akan timbul, muncul tapi nanti akan bernuansa ekonomi semua, itulah jadi peluang.

Karena tidak mungkin semua warga kita jadi PNS semua, tidak mungkin jadi kontraktor semua, tentu ada yang bisa terlibat dalam usaha apa saja, tapi bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Kemasan-kemasan begitulah
 kenapa Festival Perairan Pulau Makasar kita patenkan.



-Sudah berapa jauh iven yang kita selenggarakan menggerakan nilai tembah berbagai sektor tadi?

Kalau kita lihat dari sisi PDRB kita, beberapa sektor itu, disektor hotel, jasa perdagangan naik, memberikan kontribusi dari posisi yang tadinya didominasi pertanian. Pertanian semakin menurun, kemudian sektor-sektor ini perdadagangan naik, ini artinya kontribusi dari hal-hal ini memberikan peluang-peluang besar. Dari tahun ke tahun memberikan nilai ekonomi yang semakin membaik.

Mungkin kalau ilustrasinya, semakin banyaknya pedagang kuliner di hampir setiap pojok Baubau dibandingkan beberapa tahun lalu. Kemudian restoran mulai tumbuh, tadinya boleh dikata tidak ada. Hotel, lihat itu hotel orang mulai berpikir rumahnya jadi penginapan, bagaimana Ruko direkayasa mejadi penginapan, mejadi hotek dan sebagainya. Kemudian sewa-sewa angkutan mobil semakin meningkat, mobil-mobil rental meningkat semua, kemudian angkutan-angkutan lain, dan berbagai ruang lain semakin meningkat, itu indikasi bahwa ini semua punya manfaat.



--Soal nama, kenapa dipilih nama Festival Perairan Pulau Makasar? Bagi beberapa kalangan terkesan mengangkat citra daerah lain?

Kita memilih Festival Perairan Pulau Makasar, itu tidak bisa dipungkiri laut yang ada di depan Kota Baubau ada namanya pulau yakni Pulau Makasar. Pulau Makasar ini ada sama dengan salah satu kota di Sulawesi yaitu Kota Makassar. Tentu kita ingin memanfaatkan nama trennya Makassar yang memang nama itu juga ada di Baubau, Pulau Makasar. Tapi dibalik itu ingin kita menanamkan memori kolektif bagi masyarakat kita, sekaligus ingin memberikan peluang, dan mungkin pertanyaan yang akan timbul generasi akan datang kenapa namanya Pulau Makasar.

Nama Pulau Makasar di Baubau, tidak akan terlepas sejarah peran Baubau di masa lalu, di dalam konteks bagimana melahirkan Indonesia yang sebenarnya seperti hari ini. Andil kesejarahan negeri Buton yang ada di Baubau pasti punya kaitan-kaitan dalam perkembangan sejarah masa lalu menuju Indonesia hari ini.

Tapi untuk menggali itu, itulah ruangnya bagi para peneliti, pemerhati generasi mendatang untuk menggali terus. Tapi dari sejarah itu yang ingin kami tangkap bahwa Baubau ini punya posisi stategis di kawasan ini.

Oleh karena itu, posisi strategis ini harus dimanfatkn sebagai posisi daya saing tinggi, bukan daya saing dalam konflik, tapi daya saing untuk mengangkat daerah ini, bukan berdaya saing yang negatif.

Karena ketika daya saingnya yang besar akan memberikan ruang ekonomi. Kita tidak bisa pungkiri kita di kaki depan Pulau Sulawesi untuk memberikan layanan-layanan yang lebih luas terhadap daerah-daerah Timur Indonesia yang begitu kaya. Dan itu akan didukung nantinya oleh sebaran masyarakat Buton yang ada di Indonesia Timur ini. Jadi sisa kecerdasan kita memafaatkan jejaring ini
 apakah kita mampu memanfaatkan jejaring ini atau tidak. Kkembali pada generasi kita ke depan. Tapi skenario ke arah sana itulah yang kita pondasikan dalam kerangka membangun Baubau ini.




--Bagimana dengan masyarakat Baubau apakah mereka sudah cerdas menangkap potensi dan posisi stargis ini?

Jujur kita katakan masih sebagian kecil yang bisa menangkap, tapi kita yakin
efek-efek dominonya sudah mulai terasa untuk ini akan merangsang yang lain dalam memanfaatkan ini.



--Dulu bapak mencangkan Revolusi Senyum, terkesan sepele tapi mulai bila dilihat muatan lokal kita memang mulai luntur dengan hantaman globalisasi. Padahal kita punya muatan lokal, roh kebutonan, apakah lewat acara ini bisa dikaitkan?


Sebenarnya tidak juga, tapi mungkin karena ketagangan-ketegangan dalam bersaing semakin kuat, sehingga mungkin fenomenanya seperti itu.

Saya terimakasih dingatkan terhadap Revolusi Senyum ini, memang kembali saya ingin ingatkan kepada kita semua mari dalam hal menjalin selaturahim interaksi yang betul-betul kominikatif dengan keramahan kita. Sebagai salah satu jargon kita dalam anatomi Semerbak. Karena disitu ada Ramah, dalam aplikasinya bagaimana kita bisa senyum, bagaimana kita bisa tunjukkan keramahan dengan senyuman dan itu kita sudah tunjukkan. Mudah-mudahan keramahan ini tercermin lagi dalam Festival Perairan Pulaua Makasar yang akan datang, oleh karena itu mari ramah, senyum.

Kemudian, karena Revolusi Senyum kita angkat dalam jargong Bersama Lebih Baik, tentu kita ingin menanamkan bahwa inti bersama lebih baik itu, kalau kita punya satu kesatuan hati. Jadi yang harus kita kembangkan, kita teruskan agar daerah ini mempunyai roh yang berkembang sesuai dengan roh sebenarnya.




--Dengan visi bapak pada periode kedua ingin menjadikan budaya yang produktif kalau dikaitkan dengan Festival Perairan Pulau Makasar, bagimana pengaruhnya?

Visi kita jangka panjang menjadikan Kota Baubau sebagai kota jasa dan dagang yang nyaman, melalui tahapan-tahapan visi, menjadikan pintu gerbang ekonomi dan pariwisata, kemudian ingin menjadikan budaya yang produktif. Ending kota budaya yang produktif ini tercermin bagaimana kita memanfaatkan Festival Keraton Nusantara sebagai salah satu momentum yang nantinya akan memperkuat posisi budaya. Tapi posisi budaya ini sesuatu yang punya nilai ekonomi yang bisa mengangkat hak dan martabat warga kawasan ini dengan produktifitas yang lebih tinggi lagi.  

Itulah dalam endingnya sebagai kota budaya yang produktif kita lihat, dinamika Kota Baubau dalam tahun terakhir sebagai tahun pemantapan ini, dinamika tumbuh begitu cepatnya mengalahkan
 dinamika kesiapan semua komponen dalam menata kota ini. Oleh sebab itu, penataan kota ini tidak hanya diserahkan pada pemerintah tapi semua komponen masyarakat untuk ikut bertsama-sama menatanya. Karena kalau tidak, pada masa akan datang dia akan mematikan dirinya sendiri dalam arti tidak akan punya kekuatan daya saing, lemah dalam berbagai aspek.



---Bagaimana menyiasati dinamika yang tinggi, dengan kesiapan yang
tidak sejalan dengan dinamika?


Oleh sebab itu kita berharap keserdasan masyarakar menentukan, dalam era demokrasi ini dikembalikan kepada rakyat yang akan menentukan. Ketika dia bisa mengeksekusi keputusan dengan tepat, maka daerah ini punya kesinambungan dalam perjalanan. Tapi Ketika dia mengeksekusi haknya kepada hal yang salah, berbahaya bagi kota kita ini
.


Olehnya itu, saran saya kepada semua komponen, cerdaslah menyiasati hak itu dalam pengambilan keputusan untuk menentukan jalur dari program pembangunan kota ini untuk bisa berkelanjutan.



--Artinya harus ideologis, tidak pragmatis?

Harus punya idealis yang kokoh, dan saya yakin masyarakat KOta Baubau bisa menentukan.



--Bapak yakin?

Yakin.

--Yakin mereka rasional?

Kalau yang belum rasioanl saya ajak untuk rasional menyikapi ini. Karena daerah ini sudah terkonsep, kalau konsep ini menurut keyakinan saya berubah ini bisa menimbulkan persoalan. Kerena perjalanan selama 10 tahun mencerminkan kekuatan baru di Sultra dan di kawasan ini. Tapi konsep ini belum selesai, 10 tahun tidak mungkin bisa menyelesaikan, dia butuhkan lima tahun ke depan, lima tahun ke depan. Tapi lima tahun ke depan, lima tahun ke depan bukan saya yang menentukan, tapi rakyat Baubau-lah yang menentukan dan eksekusinya dalam demokrasi
.




---Harapan bapak di akhir jabatan dalam Festival Perairan Pulaua Makasar?


Harapan saya janganlah jadikan kebiasaan, ganti pemimpin ganti program. Karena ada biasa, penggati itu, dan ini mungkin sudah jadi budaya melekat malu meneruskan apa yang baik.

Oleh sebab itu untuk mengantisipasi yang malu merubah atau meneruskan yang sudah ada, itulah bagaimana agar yang meneruskan ini bisa tetap satu hati dalam menyikapi dinamika ini. Karena kalau tidak, beban dan resiko akan

dialami. Sehingga kelanjutan berbagai iven bisa berjalan.




---Artinya tidak salah kalau dikatakan Baubau Autopilot? Siapapun orangnya sudah ada sistem yang bisa berjalan otomatis?


Justru itu, kita kehendaki, ketika ada nakhoda yang sudah dapat dipercaya, dan nakhoda itu ketiaka mempercayakan melepas ini, sudah bisa berjalan sendirinya dalam bahasa orang bisa berjalan sendirinya, atau autopilot. Tapi kita harapkan masih ada yang harus bisa mempunyai jejaring yang bisa meneruskan ini.

Saya yakin Baubau kalau diteruskan
konsepnya, karena konsep ini sudah ada tinggal bagimana meletakkan sesuai dengan potensi dan karakternya.(one.radarbuton@gmail.com)

Senin, 16 Juli 2012

Harapan Ganjil


Catatan: Irwansyah Amunu


FANTASTIS. Mungkin inilah kata yang tepat untuk menggambarkan kemenangan Joko Widodo-Ahok (Jokowi) dalam Pilkada DKI Jakarta, Rabu (11/7) lalu yang mengalahkan pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara).

Hebatnya lagi, pasangan yang diusung PDIP-Gerindra tersebut mampu menjungkir balikkan semua hasil survei yang memprediksi perolehan suara Foke paling banyak, menyusul Jokowi. Sebab fakta yang terjadi sebaliknya, berdasarkan hasil hitung cepat perolehan suara Jokowi, 43 persen, sementara Foke hanya 34 persen. Bahkan suara Foke masih dikalahkan warga DKI yang memilih Golput, sekitar 36 persen atau kurang lebih 2,9 juta pemilih.

Walikota Solo dua periode tersebut "mencukur" Foke. Tak hanya itu, Gubernur Sumsel, Alex Nurdin yang diusung Golkar-PPP pun tumbang. Termasuk kandidat yang dijagokan PKS, Hidayat Nur Wahid, mantan Ketua MPR, kalah.
 Dua gubernur yang sedang menjabat, dan mantan Ketua MPR dikandaskan Sang Walikota.

Kendati masih merupakan hasil sementara, namun kini dua kandidat yang sama-sama bernomor urut ganjil, Foke, nomor urut satu, dan Jokowi, nomor urut tiga, mulai ancang-ancang untuk bertarung di putaran kedua nanti. Pasalnya, keduanya tidak ada satu pun yang memperoleh suara 50 persen plus satu. Ya, harapan ganjil. Tersisa dua kandidat, nomor urur satu atau tiga yang bakal memimpin ibukota negara.


***  


Menduplikasi fakta DKI, Buton pun kini sementara menunggu pemimpinnya yang baru. Menariknya, yang bertikai di Mahkamah Konstitusi (MK) pun hanya antara sesama nomor urut ganjil, nomor tiga, pasangan Agus Feisal-Yaudu Salam Ajo (AYO) dan nomor sembilan, Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakri (OEMAR-BAKRIE).

Ya, sama-sama, nomor ganjil.

Terkait hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang kini sedang menunggu putusan oleh hakim MK, kedua kubu sama-sama mengklaim bakal menang. Bahkan Sekretaris Golkar Buton, La Hijira sudah melontarkan pernyataan bernada yakin,"Saya optimis, hakim MK bakal memberikan putusan kepada kubu AYO untuk menjadi pemenang dalam PSU Buton yang digelar beberapa waktu lalu. Karena, jika kita mendengar keterangan saksi dalam persidangan, AYO akan menang.”

Bukan hanya itu, bahkan ada salah seorang rekan di Blackberry Massanger (BBM)-nya tertulis status: Semoga hasil DKI sama dengan Buton, nomor tiga menang. Dengan kata lain AYO menang.

Namun ada juga yang menulis dalam BBM, 3x3=3 (salah), 3x3=6 (salah), 3x3=9 (benar). Nomor tiga butuh tiga kali baru sama dengan sembilan.

Demikianlah antara lain peran urat syaraf yang terjadi via BBM. Harapan ganjil, harapan bernomor ganjil.

Siapa yang bakal memang? Siapa yang bakal dilantik menjadi Bupati Buton  definitif? Hasilnya kemungkinan kita akan dapatkan dalam waktu dekat. Sebab berdasarkan sumber di Jakarta, sengketa PSU Buton bakal diputus awal pekan ini.(one.radarbuton@gmail.com)
               

Senin, 09 Juli 2012

Rintihan Wakinamboro


Catatan: Irwansyah Amunu


"LEENA WAKINAMBORO." (Kencingnya Wakinamboro). Demikian salah satu kalimat yang sering digunakan orang tua saya dulu ketika saya masih kanak-kanak untuk menggambarkan hujan lebat. Ungkapan tersebut digunakan untuk mangagitasi agar kita tidak mandi hujan. Kenapa? Soalnya Wakinamboro merupakan nama raksasa. Jadi, kalau hujan lebat, berarti Raksasa Wakinamboro sedang kencing.

Rupanya bukan saya saja yang pernah mendengar dongeng tersebut. Sejumlah rekan di kantor yang orang Buton saat kecil juga pernah mendengar dongeng itu. Dan saya yakin, orang Buton umumnya saat kecil pernah mendengar cerita tersebut dari orang tuanya.

Saya mengingat kembali cerita masa kecil ini karena, Kamis (5/7) lalu, saya ke Desa Ngula-Ngula, berbatasan langsung dengan Desa Wakinamboro, Kecamatan Siompu Induk, Kabupaten Buton.

Ingatan tentang Wakinamboro semakin menebal karena dari rumah, menuju Dermaga Sulaa, kita dihantam hujan. Begitupun dari Dermaga Sulaa menuju Pulau Siompu, satu jam melawan ombak, kita juga diterpa hujan.

Dalam hati saya, kalau bukan karena undangan teman dekat yang menikah, mungkin saya belum menginjakkan kaki di sana. Apalagi Kamis pekan lalu, cuaca tidak bersahabat. Dari pagi sampai malam, langit Baubau dan Buton dipayungi awan hitam, dan terus diguyur hujan.

Tiba di dermaga Desa Tongali, Siompu, juga masih hujan.
Karena acara segera dimulai, menggunakan sepeda motor, kita menerjang hujan. Kesan pertama begitu menggoda, sebab sekitar 3 KM aspalnya mulus. Namun setelah itu, mulai kelihatan aslinya, rekan yang mengendarai "kuda besi" harus mengeluarkan banyak jurus untuk menghindari lubang.


***
Usai mengikuti prosesi pernikahan. Saya banyak mendapatkan informasi pedih seputar daratan Siompu yang saya datangi. Rupanya sejak Indonesia merdeka, belum ada aliran listrik dari PLN yang masuk di Kecamatan Siompu Induk. Begitupun air dari PDAM.

Betapa tidak, dari 10 desa di Siompu Induk, hanya dua yang mendapatkan sentuhan listrik, Desa Biwinapada, dan Tongali. Itu pun bukan dari PLN, tapi dari PNPM Pedesaan. Baru dua tahun mereka menikmatinya.

Lantas, listrik dari mana yang digunakan selama prosesi pernikahan. Rupanya dari genset.

Memang selain listrik dari PNPM, dan genset, beberapa warga juga memiliki fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun kalau hujannya seperti Kamis pekan lalu, hampir seharian tidak terlihat Matahari, dipastikan PLTS-nya tak menyimpan energi. Alhasil, malam hari warga harus menggunakan lampu templok.

Fakta itu begitu mengiris hati. Apalagi ketika meminta pendapat salah seorang warga soal kondisi yang manimpa mereka, hanya dijawab,"Kita berharap bupati yang baru ini bisa merubah keadaan desa kita." Mendengar jawaban tersebut saya hanya bisa tertegun.
Dalam hati saya, banyak "PR" yang harus diselesaikan segera oleh pemimpin di negeri ini, ketimbang ribut dengan urusan politik. Salah satunya kondisi yang dialami warga yang mendiami Pulau Siompu.

Itulah Rintihan Wakinamboro: Butuh air, listrik, dan perbaikan jalan. Semoga pemimpin Buton yang baru bisa menyentuh mereka dengan pembangunan, sehingga kondisinya lebih baik. Semoga.(one.radarbuton@gmail.com)