Senin, 24 Maret 2014

Kampanye Modus Senyap

SEPEKAN sudah masa kampanye terbuka yang diberikan KPU kepada Caleg disemua Parpol. Namun yang terjadi kontestan Pemilu umumnya belum melakukan kampanye.

Pesta demokrasi melalui ritual kampanye relatif masih sepi. Walaupun konvoi kendaraan sudah dilakukan sejumlah Caleg dan Parpol, namun bicara program mereka masih belum menggunakan panggung kampanye terbuka. Jadi, yang ramai terjadi kampanye modus senyap. Begitulah suasana yang terjadi di jazirah Buton Raya.

Lantas, kalau program belum diungkapkan kepada masyarakat, lalu bagaimana cara pemilih menentukan sikap, kepada siapa pilihan dijatuhkan? Apa indikator untuk memutuskan siapa yang paling tepat untuk merepresentasikan suaranya di parlemen?

Nah, kalau semua itu terjadi jangan heran kalau Golput menjadi ancaman serius dalam Pemilu kali ini. Bisa jadi masyarakat ogah menggunakan hak pilihnya karena merasa tidak ada Caleg yang bisa mewakilkannya di parlemen. Apalagi tren Golput dalam tiga kali Pemilu cenderung meningkat.
Maka itu, ditengah miskinnya program para Caleg, dan tipisnya rasa kepercayaan pemilih, cara yang diambil cenderung pragmatis. Kuat dugaan jurus terakhir yang diambil dengan melancarkan pukulan terakhir melalui "serangan fajar". Kalau langkah ini yang diambil, maka sama saja dengan bunuh diri politik bagi Caleg dan konstituennye.

Jadi, sudah seharusnya pemilih cerdas dalam menentukan sikap. Jangan sampai terpikat dengan janji-janji manis yang pragmatis namun makan hati ketika melihat wakil rakyatnya saat menjabat terkena penyakit amnesia alias lupa dengan komitmen politik yang dibuat sebelum duduk di kursi legislatif. (follow twitter: @irwansyahamunu)

Minggu, 16 Maret 2014

Caleg: Program atau Pasali?

MASA kampanye Pileg dalam bentuk rapat akbar mulai digeber kemarin. Semua kontestan Pemilu dari pusat sampai daerah ramai-ramai melakukan ritual pengantar pesta demokrasi tersebut.

Namun menilik realitas yang ada, kemeriahan Pemilu kali ini menurun drastis dibandingkan lima tahun lalu. Hal ini sangat dipengaruhi dengan berkurangnya secara drastis jumlah Parpol dibandingkan dengan lima tahun lalu dan pendeknya masa kampanye yang diberikan KPU kepada kontestan Pemilu.

Faktor penting lainnya, tampaknya kontestan Pemilu sadar bahwa bicara cas cis cus dihadapan pemilih sampai berbusa-busa kecil pengaruhnya untuk mempengaruhi mereka, tapi yang terpenting adalah "pukulan terakhir" melalui "pasali" atau serangan fajar. Tak heran, untuk yang satu ini sejumlah Caleg sudah menyiapkan pundi-pundi dalam mempengaruhi keimanan pemilih dengan angka berfariasi.

Memang ritual pesta demokrasi ini seluk-beluknya, masyarakat  sudah memahaminya diluar kepala. Sebab, masalahnya Parpol tidak menjalankan fungsinya secara maksimal dalam melakukan edukasi, representasi, agregasi, dan aspirasi. Mereka mendatangi rakyat ketika punya kepentingan politik misalnya Pileg atau Pilkada. Setelah itu, wasalam, putus hubungan.

Jadi, jangan heran bila ikatan antara rakyat dengan Parpol bersifat pragmatis, bukan ideologis. Relasi mereka bersifat transaksional, bukan ide atau berdasarkan program yang dijual Parpol dan para Calegnya. Toh, kalau pun sudah duduk di kursi, rakyat dilupakan.

Maka itu ketika para Caleg turun merayu rakyat, tak jarang pertanyaan muncul: berapa pasalinya? Alias berapa bayarannya?

Nah, kalau hal ini yang terus berlaku di negeri ini, maka membangun demokrasi bermartabat ibarat mimpi di siang bolong. Dampaknya, karena ongkos kursi mahal, biaya demokrasi selangit, maka setelah itu korupsilah yang merajalela. Salah satu buktinya indikasi korupsi perjalanan dinas fiktif di DPRD Baubau dan Wakatobi.

Jadi, mungkinkah Pemilu kali ini merubah semua tradisi dan budaya negatif tesebut?(follow twitter: @irwansyahamunu)

Kamis, 13 Maret 2014

Menunggu Tersangka Baru

KASUS korupsi akhirnya menjerat mantan Sekretaris DPRD Wakatobi berinisial AS. Menariknya kasus yang menimpanya masih tergolong lagu lama, dugaan korupsi dana Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif tahun anggaran 2009.  

Aspidsus Kejati Sultra, Tomo SH menyatakan kasus tersebut melibatkan dua tersangka, tapi saat ini baru menetapkan mantan Sekwan sebagai tersangka utama. Lazimnya kasus korupsi, tersangkanya mustahil seorang, pasti melibatkan lebih dari satu orang alias berjamaah.

Maka itu, tidak salah bila kita katakan menunggu tersangka baru. Bisa jadi, tersangkanya juga melibatkan mantan anggota dewan, atau anggota dewan yang masih menjabat diperiode sekarang.

Signalnya sudah terasa dari komentar Aspidsus yang menyatakan telah memeriksa beberapa saksi dari anggota DPRD Wakatobi periode 2004-2009. Untuk kelengkapan bukti, penyidik sudah memintai keterangan dari 20 anggota DPRD Wakatobi periode tersebut. Hasilnya, berdasarkan pengakuan, mereka tidak melakukan perjalan dinas sebab saat itu sibuk sosialisasi pencalegan.

Nah, dari sini kita sudah bisa merasakan, kasus ini bakal menjerat banyak nama. Apalagi, kasus ini dipicu pada 2006 silam sebanyak 20 anggota Wakatobi disebutkan melakukan perjalan dinas ke salah satu daerah melebihi dana yang dianggarkan. Untuk menutupi kelebihan anggaran tersebut, tersangka kembali menganggarkan dana untuk perjalan dinas kepada 20 anggota dewan. Namun faktanya 20 wakil rakyat tersebut tidak melakukan perjalanan dinas. Tersangka lantas memanipulasi SPPD 20 anggota dewan dan memasukkan dana tersebut ke kas daerah sebagai pengganti SPPD yang anggarannya berlebihan tahun 2006.

Dari bisa disimpulkan tersangka tidak bekerja sendiri, melainkan melibatkan orang lain. Siapakah tersangka lainnya tersebut? Kita tunggu kinerja Korps Adhiyaksa yang mengungkapnya.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Senin, 03 Maret 2014

Menjaga Marwah Pejabat Pemkot Baubau

JAKSA akhirnya menetapkan tiga tersangka dalam kasus upah pungut lingkup Pemkot Baubau. Masing-masing, mantan Bendahara Setkot, Hamisu, mantan Pjs Setkot, La Ode Arsyad Hibali, dan mantan Kadispenda, LM Arif Rais.

Kita tentu nyaris tak percaya dengan pengungkapan Korps Adhiyakasa tersebut. Apalagi persoalan tersebut terjadi pada rezim sebelumnya, namun baru terungkap sekarang.

Walaupun terbilang telat, acungan jempol tetap harus diberikan kepada kejaksaan. Sebab tanpa keberanian dan ketelitian masalah tersebut tidak mungkin bisa dibuat terang.

Apalagi konon kabarnya kasus tersebut terungkap setelah salah seorang tersangka kasus pengadaan tanah, Hamisu "bernyannyi". Inilah yang lantas membuka kotak pandora lainnya sehingga merembet ke nama Arsyad dan Arif Rais. Dengan demikian, Hamisu tercatat sebagai tersangka korupsi pada dua kasus berbeda. Sebelumnya, dia bersama mantan Bendahara Setkot suksesornya, Harun Daeru, dan Kabag lingkup Pemkot, Armin tersangka kasus pengadaan tanah.

Lingkaran persoalan pamong bermasalah bukan hanya itu. Sebelumnya, sejumlah oknum PNS kedapatan main judi pada jam kerja dibilangan Kantor Walikota di Palagimata. Ada juga lurah yang diduga melakukan tindakan asusila. Hingga Kadisperindagkop dan UKM, Basri Saiman yang terancam lima tahun penjara karena menabrak pengendara sepeda motor hingga tewas.

Dari semua ini, hendaknya bisa membuka mata pihak Pemkot untuk mengevaluasi ulang pejabatnya. Apa gunanya alokasi belanja pegawai 78 persen dari Rp 600 miliar APBD Baubau tahun ini kalau pejabat yang diangkat berpotensi menimbulkan masalah.

Maka itu sudah saatnya mekanisme fit and proper test dikedepankan, reward and punishman digunakan, dan aturan dijunjung tinggi. Bila tiga hal tersebut digunakan, niscaya marwah (baca: kemuliaan) Baubau yang sudah dicipta rezim lama tidak akan hilang. Marwah akan muncul indikator utamanya sangat ditentukan oleh para pemangku kepentingan di Kota Semerbak. Siapakah mereka? Jawaban sederhananya: para pejabatnya. (follow twitter: @irwansyahamunu)

Pemekaran Maju Mundur

JEMU juga akhirnya kita membincangkan pemekaran Buton Tengah (Buteng) dan Buton Selatan (Busel). Sebab hingga kini seolah nasib dua calon daerah otonom baru (DOB) di jazirah Buton Raya ini hingga kini masih menggantung.

Padahal, ibarat buah, Buteng dan Busel sudah lama ditanam, jadi sekaranglah saatnya dipanen. Buteng dan Busel bukan buah yang dikarbit, tapi sudah masak di pohon, siap dipetik.

Maka itu, jangan heran bila masyarakat di Buteng dan Busel mudah terpantik bila mendengar pemekaran di daerah kesayangannya kandas. Apalagi bila melihat realitas politik yang ada, maju mundurnya pemekaran penuh dengan trik dan intrik politik tingkat tinggi.

Kenapa dikatakan maju mundur? Sebab pada satu kondisi dikatakan pembahasan pemekaran di Senayan sudah menandakan kemajuan, tapi pada keadaan berikutnya, mundur lagi. Yang bikin kita geleng-geleng kepala, Busel awalnya mulus-mulus saja tanpa kendala, tiba-tiba muncul masalah ibukota. Batauga ditentang. Elemen yang mempersoalkannya pun bikin kita mengernyitkan dahi.

Sebaliknya, Buteng yang dari penggagasannya persoalan ibukota merupakan masalah krusial, pada akhirnya satu kata. Labungkari jadi solusi.

Nah, untuk menjadikan pemekaran tidak maju mundur, hendaknya semua stakeholder memperjuangkan dengan penuh keikhlasan. Buang jauh-jauh kepentingan pribadi dan kelompok, utamakan kepentingan rakyat.

Dengan demikian janin DOB, Buteng dan Busel, lahir secara alami. Sebab, kalau dipaksa lahir dengan cara "di-cesar" pasti harganya lebih mahal.

Tapi pada akhirnya semua pilihan itu kembali ke tangan pemerintah dan rakyat. Secara alami atau "cesar", tinggal pilih. (follow twitter: @irwansyahamunu)