Senin, 27 Januari 2014

Waspada Bencana!



SEPEKAN terakhir nampaknya bencana sedang akrab menimpa tanah air. Bukan hanya di Jakarta, Indramayu, Manado dengan banjirnya, Sinabung dengan gunung berapinya, tapi juga Baubau dengan puting beliungnya.

Tidak tanggung-tanggung, rumah yang porak-poranda diterjang angin sebanyak 20 lebih. Salah satunya atap rumah milik Sekretaris Dinas Capil Kota Baubau, Zarta, atap rumahnya ludes ditiup angin.

Kendati belum dikalkulasi secara pasti berapa nilai kerugian yang ditimbulkan, namun diperkirakan kerugian yang ditimbulkan ratusan juta rupiah. Sebuah angka yang tidak kecil.

Dari kondisi ini, hendaknya Dinas Sosial lebih pro aktif. Tidak hanya mengkalkulasi jumlah rumah yang tertimpa bencana, tapi juga menyalurkan bantuan kepada korban. Begitupula kepada  Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) harus ringan tangan, dan lebih peduli dengan bencana yang menimpa korban.

Kemudian kepada Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mestinya lebih gencar menyampaikan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati. Satu kesyukuran, bencana yang terjadi selama ini belum makan korban nyawa, bagaimana kalau hal ini terjadi?

Nah, mumpung hal ini baru sebatas "lampu kuning", masyarakat harus lebih waspada. Bukan saja masyarakat yang berada di darat saja, tapi warga yang menggantungkan hidup di laut mesti mawas diri.

Nelayan atau pengguna moda transportasi laut, jangan memaksakan diri melaut jika lautan tidak tenang. Ingat keselamatan lebih utama di atas segalanya.

Jadi, wapadalah, waspadalah. (follow twitter: @irwansyahamunu)

Minggu, 19 Januari 2014

Baubau Butuh RSJ

MEREBAKNYA jumlah orang gila (Orgil) di Kota Baubau mulai menimbulkan kekhawatiran. Betapa tidak, bila sebelumnya jumlah Orgil bisa dihitung dengan jari, kini kian bertambah.

Bahkan, hampir disetiap sudut kota kita menemukan mereka berkeliaran. Tak ayal, pemandangan tersebut mulai meresahkan warga Kota Semerbak.

Apalagi tak sedikit diantaranya memperlihatkan alat kelaminnya. Mereka turut mewarnai pemandangan kota peserta lomba anugerah Adipura ini, karena kerap mangkal di trotoar dan umumnya mondar-mandir dibilangan Pasar Karya Nugraha, Laelangi, Wameo, dan sejumlah jalan protokol.

Pemandangan tersebut harusnya menjadi perhatian serius pihak Pemkot, khususnya Dinas Sosial. Jangan lagi lepas tangan seraya menyatakan hal tersebut merupakan gawean pihak Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Nah, kalau Baubau tidak punya RSJ, dan angka Orgil terus bertumbuh, lantas mereka tanggung jawab siapa? Jika benar hal tersebut merupakan urusan pihak RSJ, pertanyaannya sudahkah mereka dilaporkan kepada RSJ Kendari?

Melihat fenomena depresi sosial yang kian meningkat ini, sudah saatnya Pemkot memikirkan pendirian RSJ di Baubau. Lagipula kota ini merupakan daerah inti dari hinterland disekitarnya seperti Buton, Butur, Muna, dan Wakatobi. Jadi, kalau ada penderita gangguan jiwa di lima daerah tersebut bisa dirujuk ke Baubau.    

Dengan demikian, Orgil tidak lagi merusak pemandangan. Lebih penting lagi, karena mereka manusia, maka harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Hilangkan perasaan karena mereka hilang ingatan lantas kita masa bodoh terhadap mereka. Ingat, mereka juga manusia dan mesti mendapatkan atensi pula.

Langkah awal, mestinya Dinsos mendata berapa jumlah Orgil di Baubau. Apakah mereka warga setempat atau bukan, semuanya harus jelas. Dengan akurasi data tersebut maka pihak Dinsos sudah bisa memikirkan apa langkah selanjutnya? Apakah mendiamkan sehingga mereka menyandang status abadi sebagai Orgil atau berupaya mengobati penyakitnya hingga sembuh seperti sedia kala. Pilihan ada di tangan Pemkot?(follow twitter: @irwansyahamunu)

Selasa, 14 Januari 2014

Cara Singapura Merawat Devisa (2-Habis): 25 Menit, "Tarif" Wakatobi Rp 750 Juta

Catatan: Irwansyah Amunu


SELAIN mengunjungi sejumlah areal wisata, seperti tahun 2005 silam, kali ini kita pun diarahkan pemandu untuk menguras isi dompet. Caranya, dengan menghantarkan kita ke lokasi perbelanjaan untuk beli souvenir di China Town, coklat di Arab Street, dan di Shooping Mall, Mustafa Centre yang buka 24 jam.

Setelah itu, hampir satu jam rombongan diturunkan di Orchard Road untuk melihat kesibukan masyarakat Singapura dan pelancongnya dari seantero dunia yang melapas kepenatan disana. Disini juga merupakan pusat perbelanjaan yang menjual aneka produk bermerek, antara lain Emporio Armani, dan Louis Vuitton.

Berikutnya kita menuju Pulau Sentosa. Sebelum makan malam, disini rombongan menyempatkan diri mengambil gambar di Universal Studios Singapura. Wahana bermain Universal Studios ini dibuka pada bulan Januari 2010, pertama kali dibuka di wilayah Asia Tenggara, dan merupakan yang kedua di wilayah Asia setelah Universal Studios Japan. Kali pertama saya ke Singapura, wahana ini belum ada.

Disini juga terdapat taman bermain bertema film-film terkenal Hollywood produksi Universal Studios. Ada beberapa wahana yang telah dibuka, diantaranya The Lost World, Far and Away, New York, Sci-Fi City, Hollywood Boulevard, Madagascar, Ancient Egypt. Taman ini dilengkapi 30 restoran dan konter makanan, serta 20 kios cendera mata. Harga tiket mulai S$ 32 (untuk manula), S$ 48 (anak-anak) S$ 66 (tiket satu hari dewasa) hingga S$ 118 (dewasa, untuk dua hari kunjungan). Beberapa fasilitas hotel, termasuk Hard Rock Hotel tersedia di sekitar lokasi wisata berkelas dunia ini.

Petualangan di Singapura berakhir dengan pertunjukan spektakuler songs of the sea di dipinggiran pantai Pulau Sentosa. Menurut pemandu, dalam sehari pertunjukan tersebut dua kali pada malam hari, pukul 7.40 pm, dan 8.40 pm. Kalau Sabtu tambahan pukul 9.40 pm. Saat itu kami mendapatkan giliran nonton pukul 8.40 pm.


Durasi sekali pertunjukan hanya 25 menit, tapi penontonnya mencapai 5000 orang. Harga tiketnya S$ 15 (sekitar Rp 150 ribu). Jadi dalam semalam, sekali pertunjukan Rp 750 juta, bila dua kali, omzetnya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Itu dalam semalam, bagaimana kalau sebulan, setahun, dua tahun, dan seterusnya, tentu menembus angka yang fantastis.

Padahal, pertunjukan ini modalnya 12 rumah gubuk, seperti rumah masyarakat bajo yang tinggal di pinggir laut. Suasananya mirip dengan pemandangan rumah masyarakat bajo di Wakatobi. Diramaikan tujuh penari anak-anak. Hanya saja pertunjukannya memadupadankan antara seni teatrikal, pertunjukan air dan kembang api serta lightning yang begitu memukau.

Walaupun hujan, pertunjukan tetap berjalan. Sayangnya tribun penonton tidak dilengkapi atap. Mungkin dimaksudkan agar pandangan kita leluasa melihat pertunjukan yang megah. Soalnya mengkombinasikan antara seni tradisional dan IT super moderen.

Pertunjukan dimulai dengan nyanyian empat bahasa yang didendangkan berturut-turut, masing-masing Bahasa Inggris, Melayu, India, dan China. Dalam bahasa Melayu syairnya mirip lagu berjudul Anak Kambing Saya. Tapi setelah itu kita dibuat kagum dengan tampilan permainan cahaya memukau, gambar kartun diudara yang seolah layarnya terbuat dari air yang dipancurkan, plus suara dentuman disertai nyala api berkali-kali.  

Dalam hati saya berkata, pertunjukan ini "raw material-nya" ada di Indonesia, lebih spesifik lagi di Wakatobi. Sekali tayang durasi 25 menit di Singapura, harganya Rp 750 juta, luar biasa.

Mungkinkah Indonesia atau Wakatobi juga bisa membuat hal yang serupa dan lebih dahsyat?  Suatu hari.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Minggu, 12 Januari 2014

Cara Singapura Merawat Devisa (1): Selalu Ada yang Baru

Catatan: Irwansyah Amunu



AGENDA terakhir rapat kerja akhir tahun di Batam adalah City Tour ke Singapura. Sebetulnya secara pribadi, saya tidak terlalu berminat, karena pada 2005 lalu saya sudah pernah menginjakkan kaki disana bersama 30 lebih rombongan pejabat Pemkot Baubau di era Walikota Amirul Tamim.

Saat itu, para pejabat Pemkot tersebut melakukan Studi Lapangan di Singapura dan Malaysia (meliputi Kuala Lumpur, Selangor, Putra Jaya, dan Langkawi) karena kuliah di pasca Sarjana Unhas jurusan Manajemen Perkotaan. Skenarionya mereka disiapkan untuk menjadi birokrat Baubau mumpuni, sayangnya tidak banyak di antara mereka yang kini menduduki jabatan strategis. Bahkan beberapa diantaranya mengalami nasib tragis, nonjob kehilangan jabatan.

Beda dengan delapan tahun lalu, ke Singapura kita bertolak di pelabuhan Batam Center, dekat Kantor Batam Pos. Kali ini, menuju Singapura kita start dari Sekupang Ferry Terminal. Harga tiket PP S$ 30 atau setara Rp 300 ribu.

Sebelum meluncur menggunakan kapal cepat seperti yang digunakan di rute Baubau-Kendari, satu demi satu paspor kami diperiksa petugas Imigrasi di pelabuhan. Menempuh perjalanan sekitar 45 menit, akhirnya rombongan tiba di Pelabuhan Hartbour Front Singapura sekitar pukul 07.46 Wita (waktu Singapura sama dengan waktu Baubau). Lolos dipetugas Imigrasi di Batam, rupanya bukan berarti aman di Singapura. Terbukti disana dua kawan kami harus dideportasi, pertama karena paspornya tidak bisa dibaca scan, rekan kedua, beda satu huruf namanya di KTP dan paspor.

Saya sempat deg-degan karena petugas Imigrasi yang memulangkan teman tadi juga memeriksa saya. Dia juga minta KTP, syukurnya karena tidak ada yang janggal, saya diizinkan masuk. Delapan tahun lalu, paspor saya saja yang dikeluarkan, tanpa harus memperlihatkan KTP. Kali ini lain, apalagi paspor dan KTP saya semuanya baru.

Dulu rombongan hanya satu bus, sekarang karena rombongan dalam jumlah besar, kita dibagi dalam dua bus. Di dalam bus, pemandu lantas menguraikan sejumlah larangan dan denda di Singapura, diantaranya dilarang makan permen karet di bus umum, buang sampah sembarang denda S$ 300 (Rp 3 juta), dan merokok sembarang denda S$ 200 (Rp 2 juta). Makanya semua kawan perokok, sejak menyeberang ke Singapura langsung puasa merokok. Tak heran kalau Singapura dijuluki juga dengan negara Seribu satu larangan.

Nah, di Singapura pemandu wisata pertama kali menurunkan kita di Gardens by the Bay.  Taman ini diresmikan akhir Juni 2012, memiliki Super Trees atau pohon raksasa berjumlah 18 buah dibangun menggunakan beton cetak yang beratnya berton-ton.

Di areal ini, kita mengambil gambar berlatar super trees, Marina Bay Sands, dan taman bunga. Marina Bay Sands resmi dibuka medio 2010 silam. Berbentuk hotel tapi merupakan pusat hiburan terpadu, diatasnya terdapat kolam renang pada ketinggian 200 meter.

Marina Bay Sands adalah pusat hiburan terpadu, menghadap ke Teluk Marina di Singapura. Dikembangkan Las Vegas Sands, dan merupakan investasi tunggal paling mahal di dunia dengan biaya S$ 8 miliar (sekitar Rp 56 triliun), termasuk biaya untuk lahannya.

Tempat wisata ini memiliki 57 lantai, 2.561 kamar hotel, ruang pameran dan pertemuan seluas 120.000 meter persegi, mal The Shoppes dan ArtScience Museum, Sands Theatre dan Grand Theatre, tujuh restoran koki selebriti, dua pavilyun mengambang, kasino dengan lebih dari 600 meja judi dan 1.500 mesin jakpot. Kompleks ini dinaungi Sands SkyPark sepanjang 340 meter dengan kapasitas 3.900 orang dan kolam renang tanpa batas (infinity edge) sepanjang 150 meter, yang merupakan ruang menggantung terbesar di dunia dengan kantilever sejauh 67 meter di menara utara (Tower 3).

Untuk diketahui, sewa kamar paling murah dalam sehari, S$ 400 (sekitar Rp 4 juta), menengah S$ 980 (Rp 9,8 juta), dan paling mahal S$ 18.500 (Rp 185 juta). Begitu mengetahui harganya saya langsung geleng-geleng kepala.

Dalam hati saya bersyukur bisa menginjakkan kaki kedua kalinya di Singapura, karena pada 2005 silam, Gardens by the Bay, dan Marina Bay Sands belum ada. Jadi, tidak salah kalau wisatawan selalu berkunjung disana karena selalu ada yang baru walaupun harus merogoh kocek dalam-dalam demi melepas kepenatan. Tanpa disadari, inilah yang menjadi magnet untuk meningkatkan pundi-pundi devisa Singapura.

Mencermati banyaknya tempat wisata dan ruang publik baru, saya menilai skenarionya nyaris sama dengan Baubau lalu. Sebelum masa Amirul, Baubau hanya tenar dengan Benteng Keraton-nya, namun di tangan Amirul memiliki aneka ruang publik dan setiap tahun ada yang baru. Mulai dari Pantai Kamali, Monumen Naga, wantiro di bukit kolema, Palagimata, ekor naga, hingga Kotamara. Makanya ketika menjabat, saya beberapa kali berkelakar ke Walikota Amirul untuk membuat dua moto Baubau, selain Kota Semerbak, satunya lagi Selalu ada yang Baru.

Kunjungan kali ini di Singapura yang sama dengan 2005 silam hanya beberapa, diantaranya, patung singa, dan kawasan perbelanjaan Mustafa Centre. Kawasan perbelanjaan ini buka 24 jam.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Tahun Pembuktian Tamrin

TAK terasa nyaris setahun, duet AS Tamrin-Wa Ode Maasra Manarfa dilantik sebagai pasangan Walikota-Wawali Baubau. Masyarakat sudah bisa menilai sejauh mana terobosan yang dilakukan pasangan yang terkenal dengan akronim TAMPIL MESRA ini dibandingkan pendahulunya Amirul Tamim-LM Halaka Manarfa.

Memang terlalu dini untuk mengukur kinerja Tamrin-Maasra diawal pemerintahannya. Apalagi APBD yang digunakan adalah warisan dari APBD Amirul. Praktis yang bisa dilakukan hanya meneruskan atau melakukan evaluasi pada penyusunan APBD Perubahan agar sesuai dengan program TAMPIL MESRA. Namun setidaknya tahun pertama ini menjadi salah satu indikator masyarakat untuk mengukur sejauh mana Tamrin-Maasra mengelola Baubau agar tetap menjadi kiblat bagi daerah di Sultra Kepulauan.

Apakah Baubau tetap menjadi daerah inti di Sultra Kepulauan? Ukurannya antara lain sektor ekonomi, perdagangan, dan jasa yang menjadi primadona daerah kota. Bila tiga hal tersebut mengalami peningkatan maka Baubau tetap berada pada kastanya. Jika tidak, maka Baubau mengalami kemerosotan. Rekam jejaknya antara lain secara makro bisa dilihat dari capaian Pendapatan Asli Daerah (PAD), secara mikro diukur dari suasana ekonomi masyarakat per kepala, apakah bertumbuh atau berkurang.

Nah, bila APBD tahun lalu disebut sebagai warisan pemerintahan sebelumnya, maka tahun ini merupakan tahun pembuktian. Disinilah kita bisa mengukur originalitas atau keaslian program TAMPIL MERSA yang bercita-cita mensejahterakan rakyat dengan empat pilarnya.

Sayangnya dari Rp 600 miliar total APBD 2014 Kota Baubau, kita belum menemukan apa program primadona Tamrin-Maasra menuju kesejahteraan sesuai dengan tagline TAMPIL MESRA (baca: Tamrin-Maasra Pilihan Mensejahterakan Rakyat). Apalagi diawal tahun ini sudah ditiupkan indikasi keretakan hubungan kedua pemimpin, Tamrin-Maasra. Kalau ini terus dibiarkan akan mengganggu jalannya bahtera Kota Baubau menuju tujuan. Karena bakal terjadi kegaduhan dikalangan kabinetnya, dan sudah pasti hal tersebut bakal dirasakan masyarakat.

Namun demikian, diawal tahun ini kita patut pula mengapresiasi langkah mutasi yang dilakukan Tamrin dengan mencopot dr Zamri Amin SpOG dari jabatan Kepala RSUD, dan mengembalikan sejumlah pejabat eselon III yang sebelumnya non job. Walaupun banyak pihak yang menilai hal tersebut belum sepenuhnya menjalankan rekomendasi Irsus Kemendagri, karena pejabat eselon II yang terpental, belum satu pun yang dikembalikan ke levelnya.

Kedua, kerja nyata Tamrin untuk melanjutkan pembangunan PLTU Kolese. Sebab PLTU Kolese merupakan salah satu jawaban untuk menyelesaikan krisis listrik di daerah ini.

Alhasil, 2014 ini merupakan tahun pembuktian Tamrin. Apakah Tamrin lebih baik, sama, atau mundur dari Amirul hanya waktu dan masyarakat yang bisa menjawabnya.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Jumat, 10 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (8): Visi yang Utama, Popularitas Terakhir

Catatan: Irwansyah Amunu




PADA bagian akhir sesi tanya jawab dalam Raker yang dihadiri ratusan peserta dari media dan non media Jawa Pos Grup dibawah naungan Fajar Grup, mantan Menko Ekuin Rizal Ramli mengulas kesuksesan sejumlah pemimpin dunia. Pertama, mantan Presiden Korea Selatan, Park Chung Hee yang sukses membuat pondasi ekonomi negeri ginseng tersebut kuat sehingga kini menjadi raksasa ekonomi.

Kebijakan ekonomi Park Chung Hee, menyiapkan sekitar 50 pengusaha. Dari sebanyak itu, dibagi-bagi lagi klasifikasinya, antara lain lima orang menekuni industri teknologi elektronik, tiga orang bikin mobil, dan selebihnya bidang spesifikasi lainnya. Mereka diberikan kepercayaan untuk menjual produknya kepada masyarakat Korea selama lima tahun. Setelah itu, produknya dijual ke masyarakat internasional dan harus laku.

Jangan heran dengan kebijakan tersebut kini Korea menjadi salah satu "macan ekonomi" Asia bahkan dunia. Salah satu buktinya, teknologi elektronik merek Samsung bisa mengalahkan merek ternama Amerika dan Eropa, sekaliber Nokia, Blackberry, hingga Apple. Bukan itu saja, banyak merek buatan Korea laris manis  dan bisa ditemukan disejumlah negara lain di dunia.

Mantan Presiden Soeharto, kendati terlambat melakukan industrialisasi, namun sudah berupaya menugaskan kepada kroni pengusahanya untuk membangun sejumlah pabrik di Indonesia. Ditengah sisi negatif Soeharto, kata Rizal Ramli, Soeharto tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil.

Beda dengan penguasa sekarang, yang hanya "terima setoran" dari Sengman, atau Bunda Putri. Termasuk menjadikan karakter ekonomi Indonesia mengarah ke neolib. Padahal mantan Presiden Soekarno sudah berpesan, neoliberal adalah pintu masuk neokolonialisme. Maka itu, kalau banyak merek Korea kita jumpai di dunia, Indonesia yang ada dimana-mana hanya Supermie dan Tolak Angin.

Dampak dari kebijakan ekonomi yang neoliberal, maka struktur masyarakat ibaratnya seperti gelas anggur. Di bagian atas, 200 konglomerat menikmati banyak aset, di tengah, kalangan mengah tidak begitu besar jumlahnya yang merasakan, ironisnya sekitar 80 persen rakyat miskin berada dilapisan bawah menderita. Seharusnya diubah, menggunakan filosofi piramida terbalik, rakyat kecil dibagian terbawah harus lebih banyak menikmati kekayaan Indonesia.

Salah satu caranya, dia teringat dengan sarannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika terpilih sebagai presiden pada 2004 silam untuk membangun proyek perkebunan kelapa sawit. Tekniknya digalakkan kembali program transmigrasi, rakyat diberikan tanah untuk menanam sawit.

Itu yang dilakukan Mahathir Muhammad di Malaysia, masing-masing warganya diberi tujuh hektar tanah dikasih credit cost of living, sehingga dalam lima tahun rakyat Malaysia menjadi kaya. Karena kebijakan Mahatir tersebut, Pemerintah Malaysia akhir membutuhkan dan memanggil jutaan rakyat Indonesia untuk bekerja di kebun-kebun sawit mereka.

Dia hitung pada waktu itu, kalau dilakukan, jutaan tenaga kerja akan bekerja di kebun sawit di seluruh Indonesia. Sehingga kita nggak usah ekspor TKI. Bahkan sebaliknya kita panggil orang Pakistan dan Bangladesh bekerja di Indonesia.

Hal lain dengan meningkatkan nilai tambah komuditas masyarakat. Dia yakin dengan kemampuan rakyat Indonesia dalam bidang seni kerajinan. Ditempuh dengan memperbaiki marketing, produk desain, dan menambah nilai seni. Terbukti, sebelumnya kerajinan batik yang hanya menampilkan warna dasar, kini kreasi dengan aneka warna sudah lebih mendominasi, dan omzetnya meningkat drastis.  


***

Rizal Ramli optimis banyak problem yang menimpa Indonesia, menyelesaikannya tidak butuh dana, tapi keberanian dan kemauan politik yang kuat. Pria berambut ikal ini lalu menceritakan pengalamannya menyelamatkan BII. Pernah bank tersebut kehilangan kepercayaan nasabah, dalam sehari dana yang ditarik sebanyak Rp 500 miliar. Untuk memperbaiki keadaan, dia minta Edi Neloe, pimpinan Bank Mandiri dan Gubernur BI, Anwar Nasution kala itu seolah-olah mengambil alih BII. Padahal modalnya hanya pidato ke publik terkait pengambil-alihan, sementara faktanya kedua bank tersebut tidak menggelontorkan dana sepeser pun ke BII.

Skenario tersebut dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan nasabah kepada bank. Terbukti, enam bulan setelah itu, dana nasabah yang ditarik dikembalikan lagi ke BII.

Terakhir, Rizal Ramli berpesan lahirnya seorang pemimpin tidak bisa direkayasa. Untuk menjadi pemimpin harus memiliki empat kriteria, pertama, visi, kedua, karakter, ketiga, kompetensi, dan keempat, popularitas. Bukannya dibalik, kriteria keempat, popularitas menjadi kriteria pertama. Kalau ini kita lakukan, maka Indonesia: will not the next China, but the next Philipina. (Indonesia tidak akan menjadi China berikutnya, tapi Filipina berikutnya).

Mengapa? Sebab di Filipina memilih pemimpin yang utama adalah popularitasnya. Maka itu, di sana mantan artis, atau petinju bisa menjadi pemimpin, yang penting populer, padahal tidak punya kemampuan.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Kamis, 09 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (7): Filosofi Anak Kos

Catatan: Irwansyah Amunu


SELANJUTNYA ketika mantan Menko Ekuin Rizal Ramli menjelaskan soal berkah ketika rupiah melemah, maka yang diuntungkan pula adalah para politikus dan bakal calon presiden. Sebab kebanyakan mereka menyimpan uangnya dalam bentuk dolar, ketika mata uang kita lemah, cadangan dananya dalam bentuk rupiah, naik. Hal tersebut secara otomatis meringankan anggaran politiknya pada 2014 ini.

Di hadapan ratusan peserta Raker akhir tahun Jawa Pos Grup, di bawah naungan Fajar, Rizal Ramli juga membeberkan pengalamannya ketika meningkatkan produktifitas sejumlah BUMN. Diantaranya saat memperbaiki kinerja Semen Tonasa dan Gresik. Mulanya dalam setahun kegiatan produksinya hanya 250 hari, namun pada masanya dinaikan menjadi 300 hari. Termasuk melakukan kompetisi harga antara keduanya, akibatnya keuntungan dua perusahaan tersebut naik 20 kali lipat dari semuala. Bahkan Semen Gresik mulanya berada diperingkat 20-an, saat itu pernah menembus BUMN urutan ke-4 nasional, mengalahkan sejumlah BUMN lainnya.

Bukan hanya itu, PLN juga pernah diselamatkan dengan cara melakukan restrukturisasi. Mulanya menderita utang Rp 9 triliun, namun setelah ditempuh mekanisme tersebut, PLN berubah untung, karena lebih besar jumlah asetnya dibandingkan utang.

Namun demikian, dia menyatakan tugasnya belum selesai soal terkait pembagian dana dari pusat ke daerah. Mengacu UU Desentralisasi, hitungan pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. Kalau ini yang terus digunakan, maka daerah di luar Pulau Jawa menerima gelontoran dana dari pusat, kecil. Sebab, Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar dibandingkan dengan pulau lainnya di nusantara.

Mestinya UU Desentralisasi diubah, luas daerah bukan hanya menghitung daratan, tapi juga wilayah laut. Kedua, daerah penghasil mineral juga memiliki hitungan persentase tersendiri. Dengan demikian, Sultra sebagai salah satu penghasil mineral bisa mendapatkan alokasi DAU yang lebih banyak lagi.

Terkait hal itu, dia minta kepada media di bawah naungan Fajar bisa memperjuangkannya. Diakui, sebagai salah satu pencetus UU Desentralisasi, rancangan pertama masih banyak kekurangan karena saat itu disusun dengan asumsi untuk disempurnakan di kemudian hari. Karenanya, saat ini harus segera dibenahi.

***

Yang menarik, saat Rizal Ramli menceritakan pengalamannya ketika menjabat Kepala Bulog. Mengawali penjelasannya dengan menyebut semua mantan Kepala Bulog karirnya berujung di jeruji besi. Hanya dua yang bisa selamat dari penjara, dia dan Jusuf Kalla (JK).

Dia mengulas, pada era Orde Baru, dua BUMN yang merupakan tempat basah, disebut sebagai Raja di Indonesia, Bolog dan Pertamina. Khusus di Bulog, Rizal mengaku dalam setahun bisa mendapatkan keuntungan sampai USD 10 miliar atau setara Rp 10 triliun. Menariknya, ada dana non-budgeter Bulog hanya diketahui dua orang, Kepala Bulog dan presiden setahun sebanyak Rp 2 triliun.

Peserta Raker semakin terperangah ketika Rizal Ramli menyebut istilah beras "Spanyol" alias Sparuh Nyolong. Ia menggunakan istilah tersebut karena diduga praktek ini terjadi di Bulog. Caranya membeli beras petani Indonesia dengan harga murah, lantas tiba-tiba terjadi kelangkaan pangan dalam negeri. Kemudian dikeluarkan kebijakan impor beras dari luar negeri. Jadi, seolah-olah berasnya dibeli dari luar negeri, namun kenyatannya sudah ada beras tadi yang disimpan, lantas dibeli lagi dengan harga berlipat dari pembelian awal.

Di matanya, impor beras sebetulnya tidak perlu dilakukan. Untuk membuat basis pangan, salah satunya dengan membangun lima waduk di Sulsel, ini bisa menghasilkan beras sebanyak empat juta ton per tahun. Belum lagi dengan daerah lainnya di Indonesia yang tergolong sentra beras.

Bulog, kata Rizal harus dibenahi. Sebab sejarah 20 konglomerat top di Indonesia tidak ada yang hebat tanpa bantuan Bulog. Kedua, di Bulog, ada "daerah basah" dan ada "daerah kering". Ketika menjabat Kabulog, Rizal lantas melakukan pertukaran antara tempat basah dan kering. Salah satunya, ia mutasi Kabulog Jabar "daerah basah" menjadi Kabulog Sultra "daerah kering", sebaliknya dari Kabulog Sultra ke Jabar. Begitupula antara Kabulog Jatim dengan salah satu Kabulog di Kalimantan. Hasilnya, terjadi signifikansi peningkatan pendapatan Bulog. Buktinya, dana keuntungan dari terobosannya tersebut digunakan pemerintah untuk membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia.        

Terkait "daerah basah" dan "daerah kering", Rizal Ramli mengaku menyampaikan rumus tersebut kepada Gubernur DKI, Jokowi ketika minta pendapatnya untuk menata Jakarta. Dari ilmunya itu, Jokowi lantas memutasi Walikota Jaksel menjadi Kepala Perpustakaan, termasuk Kasat Pol PP, dari "daerah basah" ke "daerah kering".  

Kembali ke persoalan beras, kendati Rizal Ramli mengaku pernah dipenjarakan Presiden Soeharto selama satu setengah tahun, tapi dia salut kepada mantan Presiden RI ke-2 tersebut dari aspek perhatian terhadap petani. Sebab, rasio antara harga pupuk dan gabah selalu dijaga, 1 : 1,5. Dengan begitu petani masih bisa untung. Namun yang terjadi sekarang, rasionya 1 : 1, dengan kata lain keuntungan petani tidak ada.

Jadi, menyelamatkan Indonesia sebetulnya tidak perlu ilmu hebat, tapi yang dibutuhkan adalah keberanian dan komitmen untuk rakyat.

Dia lantas mengkritik pinjaman utang Indonesia sebesar Rp 300 triliun untuk melakukan penyelamatan ekonomi dengan melakukan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Apalagi, utang tersebut dananya justru banyak yang masuk ke bank-bank asing. Bandingkan dengan Jepang dan China yang menjadi raksasa ekonomi dunia tanpa modal asing, tapi menggunakan keberanian politik.

Beda dengan Indonesia, kata Rizal, diibaratkan seperti mahasiswa yang indekos. Kalau tidak ada uang, utang. Kalau sudah habis uangnya, dia jual apa yang menjadi miliknya, mulai dari hanphone, baju, bahkan celana. Sama dengan negeri kita yang juga sudah menjual aset-aset berharganya kepada asing.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Rabu, 08 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (6): Negara Moderen, Cara Primitif

Catatan: Irwansyah Amunu



PENJELASAN Rizal Ramli saat pemaparan begitu cair. Apalagi pada sesi tanya jawab, uraiannya lebih detil lagi. Seolah waktu yang berlalu dua jam lebih terasa singkat.

Menjawab pertanyaan pertama, kenapa Indonesia mem-bailout Bank Century, Rizal menduga tujuan bailout Bank Century hanya untuk pendanaan kampanye pada Pemilu tahun 2009. Soalnya terdapat sejumlah kejanggalan, antara lain penggelontoran dana sebesar Rp 6,7 triliun tidak dilakukan sekaligus, tapi bertahap selama setahun.

Menurutnya, kalau memang ingin menyelamatkan bank, harusnya dicairkan sekaligus, tapi faktanya kebalikannya. Kemudian, bila mau menyehatkan Bank Century, mestinya yang dibayarkan dananya deposan (nasabah deposito) terbesar di Bank Century, yakni Boedi Sampoerna sebesar Rp 1,5 triliun, bukan Rp 6,7 triliun.

Digunakan dana sebesar Rp 6,7 triliun, kata Rizal karena setelah ditelusuri, rupanya Bank Century tidak memiliki aset. Ibaratnya franchise, buka cabang dimana-mana, tapi seluruh gedungnya disewa, bukan itu saja hingga komputer, meja, dan kursi yang digunakan, dirental. Makanya, ketika hendak diselamatkan, pemerintah harus menanggung seluruh biaya tersebut.

Yang membuat Rizal Ramli tidak habis pikir, mengapa pemerintah mempercayai pemilik Bank Century, Robert Tantular. Sementara bapak Robert Tantular bernama Hashim Tantular (Tan Tiong Sim) juga punya raport merah dalam mengelola bank yang dibuka di Makassar, karena banknya juga tutup.  

Lantas mengapa harus Bank Century? Rizal menjelaskan karena saat itu yang dicari hanya "ember bocor" untuk menampung dana tersebut, dan Century siap. Sebab, sebelumnya yang dilirik Boediono adalah Bank Indover.

Dia lantas menceritakan kisah menarik soal percobaan perampokan Bank Indover oleh Wakil Presiden Boediono ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia. Boediono pernah diancam Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, Antasari Azhar. Kejadian ini terjadi sekitar dua pekan sebelum bailout Bank Century.

Menurut Rizal, saat menjabat sebagai Gubernur BI tahun 2008, Boediono pernah meminta izin kepada DPR dan KPK untuk mem-bailout Bank Indover. Bahkan Boediono juga telah mempresentasikan ke DPR soal dampak ekonomi yang bisa melanda Indonesia jika Bank Indover tidak disuntik dana Rp 5 triliun.

Nah, setelah melakukan presentasi di DPR, lanjut Rizal, Boediono menemui Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar untuk menggolkan niatnya mem-bailout Bank Indover. Sayangnya, rencana itu ditolak mentah-mentah Antasari. Sebaliknya yang terjadi, Antasari mengancam akan menangkap Boediono jika BI benar-benar mem-bailout Indover.

Boediono lupa kalau Antasari mantan asisten Jaksa Agung Marzuki Darusman, waktu itu Indover bermasalah, dan Marzuki pergi ke Belanda untuk cek, aspek kriminal. Faktanya, lanjut Rizal, cerita Boediono soal bahaya seandainya Bank Indover kolaps tak sejalan dengan pernyataan gubernur bank Belanda, karena pemerintah Belanda sudah menangani permasalahan Bank Indover dan dipastikan kalaupun bank itu kolaps, tidak akan berdampak pada Indonesia. Gubernur Central Bank Belanda bilang tidak ada apa-apanya karena ini sudah dijamin.

Nah, di balik cerita ini, tegas Rizal Ramli, maka ide mem-bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun hanya kebohongan saja, karena Boediono saat itu pernah gagal merampok Bank Indover.

Terkait ketergantungan Indonesia terhadap asing juga dikritik Rizal Ramli. Sebaliknya, pria berambut ikal ini mengaku pernah mempertemukan Presiden SBY dengan ahli ekonomi dunia, peraih Nobel, Stiglitz. Kebetulan saat itu sedang dilakukan pembahasan UU Investasi di DPR, Stiglitz menyarankan agar Indonesia jangan memasukkan pasal terkait sengketa dengan perusahaan asing dibawa ke arbitrasi internasional. Sebab berdasarkan fakta, selama ini bila negara miskin dan berkembang membawa masalah investasi dengan perusahaan asing ke arbitrasi internasional, sekitar 99,9 persen dimenangkan perusahaan asing.

Hasil pertemuan tersebut, kata Rizal, SBY sepakat dengan saran itu. Namun anehnya ketika UU Investasi disahkan dewan, pasal tersebut masih ada.

Salah satu cara penyelamatan ekonomi Indonesia, menurutnya aset sekitar 180 BUMN seluruhnya dievaluasi. Setelah direvaluasi, hal tersebut bisa menguntungkan nilai aset perusahaan pelat merah tersebut. Ini sangat membantu ekonomi Indonesia utamanya dalam mengerakkan sektor ril.

Hal lain, Rizal menunjuk APBN Indonesia senilai Rp 1800 triliun selama ini tidak begitu dirasakan rakyat. Pasalnya, setengahnya digunakan untuk bayar utang, sepertiganya untuk anggaran rutin, dan Rp 400 triliun untuk modal. Anggaran modal ini digunakan untuk bangun infrastruktur dan beli mobil. Padahal, biaya pemeliharaan satu mobil selama lima tahun sama dengan harga satu mobil.

Menurutnya, pemerintah lebih baik rental mobil dan sewa gedung dari pada beli, karena lebih efisien. Efisiensi dana tersebut selama lima tahun digunakan untuk membangun rel kereta api di Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Anggarannya bisa terkumpul sebanyak USD 20 miliar, tuntas menyelesaiakan pembangunan rel kereta api di Indonesia.

Transportasi massal tersebut juga digunakan untuk mengangkut komuditas pertanian dan pertambangan. Dengan demikian bisa memberikan nilai tambah langsung bagi seluruh rakyat. Bisa lihat contoh seluruh negara Eropa, bahkan China membangun rel kereta api untuk memperkuat ekonominya. Jadi, kalau ingin menjadi negara maju harus membangun sarana transportasi itu bukan hanya di Jakarta, taapi di seluruh Indonesia.  

Dia menyebut fakta, dengan mengandalkan moda transportasi saat ini, biaya untuk mengangkut satu tandan kelapa sawit misalnya, sama dengan satu tandan kelapa sawit (rasio 1:1). Tapi bila menggunakan kereta api, rasionya 20 tandan kelapa sawit, harga angkutanya hanya satu tandan.

Maka itu, jangan heran, saat ini batu bara kita di Kalimantan masih diangkut menggunakan kapal, karena kita belum memiliki rel kereta api di sana. Menurutnya, hal itu adalah cara primitif.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Selasa, 07 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (5): Beda Reaksi, Beda Dampak

Catatan: Irwansyah Amunu


BILA Indonesia hingga kini masih harus menanggung dampak krisis 1998, menurut mantan Menko Ekuin Rizal Ramli, hal itu disebabkan kita sepenuhnya menggunakan resep IMF untuk melakukan penyelamatan ekonomi. Padahal, lembaga donor internasional tersebut punya banyak pengalaman buruk dalam menangani kondisi ekonomi sejumlah negara lainnya di dunia. Bukannya mengeluarkan dari masalah, malah sebaliknya kondisi ekonominya semakin terpuruk.

Maka itu, dia mencontohkan tiga negara yang mengalami krisis, melakukan reaksi yang berbeda, maka dampaknya pun beda. Pertama, Korea, begitu menderita krisis, Gubernur Sentral Bank Korea melakukan restrukturisasi utang swasta. Inilah yang membuah negeri ginseng cepat keluar dari krisis.  

Kedua, Malaysia, mantan Perdana Menteri (PM) Mahatir Muhammad saat itu membuat kebijakan ekonomi agar uang dari luar negeri yang sudah masuk tidak boleh keluar, kecuali setelah kondisi ekonomi stabil. Kebijakan tersebut awalnya menuai hujan kritik, di dalam dan luar negeri. Bahkan dia harus berhadapan dengan Wakil PM Anwar Ibrahim yang kala itu lebih tertarik dengan cara IMF.

Di tengah cacian luar negeri, plus kondisi dalam negeri yang bergejolak karena Anwar Ibrahim terkena kasus, namun setelah berjalan satu sampai dua tahun kondisi ekonomi negeri jiran tersebut kembali stabil. Ringgit normal kembali. Akhirnya yang tadinya Mahatir dicaci, berubah dipuji.

Ketiga, Indonesia, menggunakan cara IMF. Padahal Rizal Ramli sudah mengingatkan IMF bukan dewa penyelamat tapi dewa amputasi yang bikin kolaps. Terbukti, ketika resep IMF yang digunakan dengan menutup 16 bank, rakyat tidak percaya dengan bank. Nasabah rame-rame menarik dananya di bank, akhirnya terjadi rush.

Dampaknya, harga barang naik sampai 80 persen, banyak pengusaha bangkrut, dan pengangguran meningkat 40 juta orang. Setelah itu demo meletus di Makassar, menyusul Medan, dan menjalar hingga ke seluruh kota di Indonesia. Puncaknya, Presiden Soeharto tumbang.  

Ironisnya, saat kondisi ekonomi Indonesia sakit, Surat Utang Negara (SUN) nilainya terjun bebas, dari Rp 10 juta menjadi 10 sen, IMF melakukan pembelian. Setelah keadaan mulai membaik, nailainya naik lagi, lantas dijual kembali ke pemerintah. Jadi, IMF untung lagi. Gambarannya penyelamatan yang dilakukan IMF uangnya tidak keluar, tapi ibaratnya hanya berpindah dari kantung kiri ke kantung kanan.

Rizal yang menjabat Menko Ekuin pada masa Presiden Gus Dur ini mengaku pernah didatangi pejabat IMF untuk menyetujui 160 poin kesepakatan antara RI dengan IMF. Dari sebanyak itu, yang disetujuinya hanya 60 poin, selebihnya dicoret. Ironisnya, ketika Boediono menggantikan posisinya, seluruh poin yang pernah dicoretnya, diterima. Akibatnya kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk.

Mengakhiri pemaparannya, pria berkacamata tersebut menyatakan saat ini kondisi ekonomi Indonesia sedang berada pada "lampu kuning" karena menderita quatro-deficits, bila dikelola tidak tepat bisa jadi bakal berubah menjadi "lampu merah". Namun demikian dia mengingatkan, jangan anggap krisis sebagai ancaman, tapi gunakan sebagai peluang.

Ia juga berpesan, yang bisa menyelamatkan bangsa kita, hanya bangsa kita sendiri.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Senin, 06 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (4): Berpikir Out of the Box

Catatan: Irwansyah Amunu


MODAL berharga yang saya petik selama Raker di Batam adalah perubahan cara berpikir. Tidak tanggung-tanggung, untuk sampai ke tingkatan itu, Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin di era Presiden Gus Dur yang langsung memberi makan otak kita dengan materi berjudul Prospek Indonesia di tahun 2014.

Rizal membuka percakapan dengan menyatakan dalam dunia media, suatu program acara, semakin berani, semakin beresiko, maka ratingnya semakin tinggi. Karena itu, kunci sukses media di tahun 2014 adalah berani mengambil resiko, berani bertindak, dan berani berpikir out of the box. Menurutnya, orang yang berpikir un-conventional adalah yang mampu merubah dunia.

Sebagai contoh, Thomas Alfa Edison, mulanya disebut sebagai orang gila karena mengumpulkan cahaya di dalam bola lampu. Namun setelah percobannya sukses, penemuan tersebut digunakan banyak orang. Begitu pula dengan Graham Bell, yang membuat orang bercakap-cakap dihubungkan dengan kawat sepanjang 30 meter. Awalnya dinilai gila, namun kini temuannya berkembang secara revolusioner hingga berevolusi menjadi handphone.

Dari pengalaman itu, hanya kerja keras yang bisa merubah dunia. Yang paling penting lagi, bila kita berpikir biasa-biasa saja, maka fakta disekitar kita dianggap sebagai hal yang normal sehingga kita berpangku tangan. Namun bila menggunakan cara berpikir out of konteks, maka kita menganggap di sekeliling kita harus dirubah, dengan demikian akan melahirkan sesuatu yang luar biasa.

Nah, bicara soal berpikir diluar konteks, Rizal bercerita tentang pengalamannya ketika krisis tahun 1997 silam. Diakui, sebelumnya pada November 1996 ia sudah meramal bakal terjadi bencana ekonomi. Dia menyebut ekonomi Indonesia sedang dipayungi mendung. Tulisannya itu dimuat disejumlah koran nasional terkemuka.

Padahal, saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang tinggi-tingginya. Karenanya, prediksinya tersebut dianggap mustahil. Salah satunya Ciputra, seorang konglomerat kakap. Ia tak menghiraukan prediksi Rizal, lantas mengambil kredit dalam jumlah besar dibidang perumahan. Taipan lainnya Mochtar Riady, pemilik Lippo ini mendengarkan saran Rizal Ramli.

Beberapa waktu berselang perkiraan Rizal menjadi kenyataan. Terjadi guncangan ekonomi Indonesia, akibatnya bisnis Ciputra dibidang real estate rontok. Syukurnya dia telah membeli tanah di Vietnam dengan harga murah, setelah rezim komunis tumbang harga tanahnya naik. Itulah yang digunakannya untuk membeli kembali asetnya pada masa krisis yang disita perbankan. Lain cerita dengan Mochtar Riady, karena dia menerima resep Rizal, bisnisnya relatif aman.

Hebatnya krisis tersebut, bukan hanya konglomerat yang rontok, tapi juga Presiden Soeharto yang berkuasa sekitar 32 tahun tumbang.

Demikian penjelasannya soal sejarah krisis ekonomi yang terjadi pada masa orde baru. Saat ini, Rizal menjelaskan, status ekonomi Indonesia berada pada kondisi "lampu kuning". Salah satu indikator yang jelas kelihatan, melemahnya rupiah terhadap dolar hingga Rp 12 ribu, bahkan bisa jadi menembus angka Rp 16 ribu per dolar.

Di matanya, pada akhir pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan meninggalkan warisan "bom waktu" berupa quatro-deficits. Jika tidak segera diatasi, tidak mustahil akan membawa Indonesia ke dalam jurang krisis seperti pada 1998 silam.

Quatro-deficits sekaligus, pertama, Defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar; kedua, defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar; ketiga, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013; dan keempat, defisit APBN plus utang lebih dari Rp 2.100 triliun. 

Dia membeberkan, akibat quatro defisit itu, 10 grup perusahaan sudah mulai rontok, sementara pada 1998, yang kolaps sampai 200 grup.

Yang menarik, tahun 1998 saat krisis, ketika dia berkunjung ke pedalaman Sulawesi dia menemukan salah satu daerah masyarakatnya belum tersentuh listrik. Mereka tiba-tiba kaya mendadak karena kenaikan beberharga komuditas pertanian, dan kelautan disebabkan kenaikan harga dolar. Mereka rame-rame beli kulkas, tapi sebel karena listrik tidak ada, akhirnya kulkasnya digunakan untuk menyimpan baju.

Jadi, apa pun situasinya, kalau kita berpikir terobosan, out of the box, maka krisis adalah opportunity (peluang).(follow twitter: @irwansyahamunu)

Sindrom Jumat Keramat

JUMAT (3/1) lalu tampaknya merupakan hari keramat bagi sejumlah pejabat di Polda Sultra, Kota Baubau, dan Kabupaten Buton.

Betapa tidak, pada hari yang sama, tiga institusi tersebut melakukan mutasi sejumlah pejabatnya. Kalau di Buton mungkin tidak terlalu menjadi sorotan publik karena mutasi dilakukan sekadar perubahan nomenklatur instansi SKPD. Kemudian seperti biasa, sejumlah pejabatnya migrasi ke Baubau.

Namun, tidak demikian dengan pelantikan di Polda dan Pemkot Baubau. Entah terbawa dengan sindrom di Baubau, yang jelas Kapolresnya sejak Jumat telah berganti. AKBP Joko Krisdianto SIK, dicopot dari jabatannya digantikan AKBP Eko Wahyuniawan. Pencopotan Joko sejalan dengan keinginan sejumlah masyarakat, khususnya keluarga almarhum Aslin Zalim yang meninggal di tahanan Mapolres.

Paling seru, dan hingga kini menjadi buah bibir adalah mutasi dilingkup Pemkot Baubau. Pasalnya, rotasi jabatan yang dilakukan Walikota Tamrin merupakan perintah rekomendasi Irsus Kemendagri. Satu pejabat yang selama ini menjadi sorotan karena eks Napi korupsi, dr Zamri Amin SpOG lengser dari jabatannya sebagai Kepala RSUD Kota Baubau. Penggantinya dr Hasmudin SpPD yang notabene sebelumnya bertakhta di kursi eselon II sebagai Kadis Kesehatan.

Nah, fakta inilah yang terus menjadi perbincangan hangat. Memang benar, dr Zamri lengser, tapi efek dominonya dengan turunnya Hasmuddin ke level Direktur RSUD, mengundang segudang pertanyaan.

Jangan heran, kalau sehari setelah pelantikan, dewan langsung bereaksi. La Ode Abdul Munafi, legislator PBB menilai pelantikan itu kamuflase karena belum secara totalitas menindaklanjuti rekomendasi Irsus.

Apalagi, dalam pelantikan, Munafi mengatakan tiga kali Wawali Wa Ode Maasra Manarfa tidak ada. Inilah yang membuatnya meradang seraya menduga Baperjakat kembali tidak berfungsi. Walaupun kemudian hal itu dibantah Sekot Muhammad Djudul dengan mengatakan rekomendasi Irsus dilakukan secara bertahap.

Yang jelas, mutasi ke-5 kali ini melahirkan episode baru dalam duet Tamrin-Maasra karena Munafi menengarai keduanya sudah tidak "mesra" lagi. Penilaian ini bertolak belakang dengan akronim slogan mereka dalam menakhodai Baubau dengan sebutan: Tampil Mesra.

Bila diteruskan, kondisi ini tidak sehat bagi jalannya roda pemerintahan. Maka itu, kita berharap kedua pemimpin tersebut kembali "mesra" lagi. Sebab kekompakan keduanya merupakan kunci meraih kesejahteraan masyarakat. Semoga cita-cita ini bisa dicapai, jangan diganggu dengan pecah kongsi antara Tamrin-Maasra.      

Akhirnya, jumat keramat cukuplah berlaku di KPK, jangan sampai sindromnya berpengaruh sampai di Baubau.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Minggu, 05 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (3): NAIK KELAS

Catatan: Irwansyah Amunu


SATU kesyukuran dari hasil rapat kerja (Raker) akhir tahun di Batam, Buton Pos naik kelas. Sebelumnya, posisinya berada pada papan bawah, kini naik kasta berada di papan tengah. Mengalahkan beberapa media yang lahir satu leting dengan Koran Terbesar di Buton Raya ini.

Hal tersebut tentu bukan pekerjaan mudah, butuh kerja keras dan ketekunan. Apalagi umur Buton Pos masih relatif muda, baru menjalani usianya ke-6. Namun seiring dengan perubahan waktu, semakin memperkuat posisi kami sebagai koran pertama, terbesar, dan terpercaya di Buton Raya.  

Kabar baik lainnya, mulai tahun ini Buton Pos bakal kembali mengaktifkan media on line melalui website: www.butonpos.com (sebelumnya www.radarbuton.com). Bila tidak ada aral melintang website akan mulai diaktifkan bulan depan.

Konvergensi melalui dunia maya tersebut dilakukan untuk menyentuh pembaca kami di dunia maya. Sehingga yang menikmati Buton Pos bukan hanya pembaca di Buton Raya atau Sultra, tapi termasuk di seantero Indonesia bahkan dunia.

Bukan hanya di website, tapi termasuk memperkuat jejaring sosial di facebook melalui grup Buton Pos News, dan twitter di akun @butonpos01. Terbukti atensi masyarakat yang bergabung melalui dunia maya tersebut cukup tinggi ditandai dengan banyaknya akun facebook ingin bergabung di grup tersebut.

Selain itu, melalui Raker Buton Pos diminta untuk membuat tv dan radio tersendiri. Dengan demikian, maka selain koran, kami juga diminta untuk merambah dunia audio (Buton Radio), dan audio visual (Buton Tv). Hanya saja semuanya secara bertahap akan disentuh. Sebab saat ini, fokus Buton Pos masih dipengadaan percetakan.

Nah, berbicara mengenai mesin cetak, inilah kunci perusaan media. Bila percetakan hadir di Baubau, kami yakin tiras pembaca Buton Pos bisa naik sampai dua bahkan tiga kali lipat dari oplah sekarang. Kehadiran mesin cetak di Baubau tentu memberikan efek domino bagi pembacanya yang berada di hinter land seperti Buton, Butur, Wakatobi, dan Muna.

Sebab, pembacanya tidak lagi menunggu sampai sore atau malam hari, namun pagi hari sudah bisa dibaca ditemani sarapan. Dan mesin cetak, insya Allah tahun ini, pasca-pencetakan surat suara Pemilu bakal dimobilisasi ke Kota Semerbak.  

Kemudian, dari sisi belanja media yang bersumber dari APBD oleh Pemda juga meningkat pesat. Hal itu ditunjukkan dengan peningkatan total APBD di daerah yang menjadi sasaran pembaca Buton Pos, masing-masing Buton (Rp 1,1 triliun lebih), Baubau (Rp 600 miliar lebih), Butur (Rp 384 miliar), Wakatobi (Rp 532,6 miliar), dan Muna (Rp 500 miliar lebih). Bila ditotal APBD di lima daerah tersebut Rp 3 triliun lebih.

Jadi, bila semua rencana Buton Pos sesuai program, tidak tertutup kemungkinan dalam rapat kerja tahun mendatang, bakal naik kelas lagi ke divisi utama. Dengan demikian klop sudah, dari divisi III, lalu divisi II, terakhir ke divisi I.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Kamis, 02 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (2): KORAN TULANG PUNGGUNG

Catatan: Irwansyah Amunu



HARI pertama rapat kerja akhir tahun, Kamis (26/12) lalu, dibuka dengan petuah dari sesepuh Jawa Pos Grup, Alwi Hamu. Pendiri Harian Fajar ini mengaku akan melebarkan sayap usaha hingga ke bidang perminyakan.

Bukan itu saja, sejumlah usaha lain juga bakal disentuh. Namun demikian disadari dari semuanya, koran merupakan tulang punggung.

Dibuktikan, beberapa waktu lalu, Harian Rakyat Merdeka di Jakarta hendak menarik masuknya investor dari luar. Setelah dikalkulasi, sahamnya dia naikan hingga tiga kali lipat untuk dijual ke sang pengusaha. Betapa kagetnya, ketika penguasa tersebut membuka harga, yang disebutnya angka 20 kali lipat dari nilai yang telah naikkan tiga kali tadi.

Melihat kenyataan itu, alhasil Rakyat Merdeka sahamnya urung dijual. Disadari, mengapa pengusaha itu rela menggelontorkan uang hingga puluhan miliar rupiah karena koran memiliki nilai intangible (tak berwujud).

Kedua, ditengah derasnya konvergensi media cetak ke dalam bentuk lain, seperti on line, tapi tak menggerus perkembangan oplah koran. Bahkan sebaliknya, media on line mulai mengalami stagnasi pertumbuhan, parahnya ada pula yang mundur.

Maka tidak salah Alwi Hamu menegaskan: koran, 100 tahun ke depan masih bisa hidup lagi. Hanya saja yang perlu dilakukan, mendesain isinya agar lebih menarik dan bermutu.  

Maka itu, sejalan dengan tema Rapat Kerja: Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam Kebersamaan, menjadikan tahun 2014 sebagai tantangan untuk beranjak naik. Apalagi 2014 tahun politik, tentu belanja iklan kampanye di media pesat peningkatannya.

Nah, berkaitan dengan itu, Harian Buton Pos juga terus mempertahankan komitmen untuk selalu memberikan yang terbaik kepada pembaca setianya. Terbukti, mulai tahun ini kami telah meredesain perwajahan, memperbaiki mutu pemberitaan, dan membuat rubrikasi halaman sesuai kebutuhan pembaca.

Hal itu kami lakukan agar Buton Pos selalu berada setia di hati pembacanya. Karenanya semangat kami, 2014 adalah tahun imaginasi. Mengutip komentar ilmuan ternama Albert Einstein: Logic will get you from A to B. Imagination will take you everywhere. (Logika akan mengantarkan anda dari A ke B. Imaginasi akan menghantarkan anda kemana saja).

Semoga dengan motivasi itu Buton Pos semakin meneguhkan posisinya sebagai Koran Paling Berpengaruh di Buton Raya. Aamiin.(follow twitter: @irwansyahamunu)  

Rabu, 01 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (1): TURBULANCE

Catatan: Irwansyah Amunu

BELUM lama ini, kami jaringan berita Jawa Pos Grup dibawah koordinasi Fajar Grup melakukan rapat akhir tahun di Batam, Kepri. Sedikitnya 24 perusahaan media dan non media kumpul di daerah pemekaran Provinsi Riau itu.

Dari Buton Pos, saya bersama Direktur Ramli Akhmad, Manajer Iklan Wahyu Yulianti, dan Manajer Keuangan Henny Anggraini beruntung bisa hadir pada acara yang berlangsung selama lima hari dari Kamis (26/12) lalu. Apalagi dalam acara tersebut Dr Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin di era pemerintahan Gus Dur mengisi kepala kita dengan materi berjudul Prospek Ekonomi Nasional 2014.

Tentu untuk sampai disana kita menempuh perjalanan panjang. Dari Baubau transit ke Bandara Hasanuddin (Makassar), lalu ke Sepinggan (Balikpapan), berakhir di Hang Nadim (Batam). Baubau ke Makassar, penerbangan relatif normal karena cuaca bersahabat. Beda cerita ketika rute Makassar-Balikpapan. "Kapsul besi" yang kami tumpangi sempat mengalami turbulance sekitar lima menit.

Guncangan tersebut membuat nafas penumpang seolah terhenti. Suasana berubah hening. Bukan itu saja, saya mendengar suara istighfar, Astaghfirullahadzim berulang-ulang diucapkan sejumlah penumpang. Seolah dikomando, doa pamungkas itu serentak dilafalkan.

Waktu itu, sebenarnya saya masih tidur. Karena kuatnya guncangan, saya terbangun. Melihat suasana yang abnormal tersebut, mulut saya pun tak ketinggalan komat-kamit membacakan sejumlah doa selamat.

Alhamdulillah, setelah bertempur dengan suasana was-was, penerbangan kembali berjalan lancar. Pilot beberapa kali melakukan manuver sebelum akhirnya mendarat mulus di Bandara Sepinggan. Bagi kami, mungkin turbulance tersebut merupakan kondisi luar biasa, tapi baginya biasa.

Karena tidak ganti pesawat, selama 15 menit kami transit lantas melanjutkan penerbangan ke Hang Nadim. Menuju Batam, penerbangan relatif lancar hingga akhirnya kami tiba dengan selamat.

Menilik pengalaman terbang kami, bila diparalelkan dengan pemerintahan Bupati Umar Samiun dan Walikota Tamrin, maka kondisi yang menimpa mereka ini adalah suasana turbulance. Umar diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan Tamrin harus berhadapan dengan rekomendari Irsus Kemendagri.
 
Kendati dalam dua kasus berbeda, namun kedua kepala daerah itu menurut saya tersangkut persoalan sama, imbas dari perkara politik, Pilkada. Kalau Umar pra Pilkada, bersentuhan dengan kasus nasional yang menimpa mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Muhtar. Sementara Tamrin, pasca-Pilkada, terkait mutasi besar-besaran yang dilakukan kepada puluhan pejabat di era Amirul.    

Turbulance adalah peristiwa natural dalam dunia penerbangan. Layaknya ujian merupakan bumbu penyedap yang bisa menaikan derajat manusia. Makin tinggi kelasnya, semakin sulit soalnya.

Begitupula dengan guncangan yang mendera Umar dan Tamrin. Alami bagi mereka, apalagi keduanya merupakan "01" di daerahnya masing-masing, Buton dan Baubau.

Bagaimana keduanya menghadapi guncangan? Hanya mereka yang bisa menjawabnya. Apakah bisa melewatinya atau tidak hanya waktu yang bisa menjawab.(follow twitter: @irwansyahamunu)