Selasa, 29 April 2014

Kiat Wakatobi Menata Diri (4)



Kompetisi Birokrat Lebih Cerdas, Wacanakan Lelang Jabatan

---Kiat Wakatobi Menata Diri (4)

Kompetisi Birokrat Lebih Cerdas, Wacanakan Lelang Jabatan
BIROKRAT dan masyarakat merupakan dua unsur penting dalam pembangunan. Wakatobi memanfaatkan keduanya sehingga daerah yang dipimpin duet Hugua-Arhawi ini maju.


Laporan: Irwansyah Amunu dan Rusdin, Wangiwangi     

Inovasi dalam menata daerah terus dilakukan Wakatobi. Bukan hanya menyentuh aspek fisik, tapi juga non fisik yakni prilaku masyarakat dan birokrasi. Berikut lanjutan wawancara koran ini kepada Sekab Wakatobi, Sudjiton. 


--Terus bagaimana masyarakat? Bagaimana tangapan mereka?

Itulah, jadi memang konsep kita membangun, kita pemerintah harusnya jangan merancang di atas meja, kemudian jangan juga mendengar dari satu pihak, dari satu dua orang, kita lihat bahwa susah merubah karakter masyarakat. Saya ini sudah tiga empat kali coba kita diskusi dengan teman-teman, kenapa pasar selalu semrawut. Informasinya, Oh itu pak susah kita atur masyarakatnya pak, ah masa susah? Ya saya coba masuk, eh ternyata kami siap Pak Sekda diatur, tapi jangan pilih kasih. Apa itu? Itu muncul dari nuraninya masing-masing, berarti kan selama ini ada praktek-praktek ketika ada penggusuran, penertiban, ketidaktrasparan, dan ketidakadilan disana.

--Mal praktek pak? 

Mal paktek. Hahaha. Mal administrasi. Jadi, kita diaparatur ini harusnya jangan di atas meja, atau jangan mendengar dari satu, dua orang, atau dari kelompok tertentu. Jadi coba kita masuk, istilahnya ini mungkin blusukan. Kita bisa menangkap, apa sebenarnya aspirasi mayoritas dari komunitas yang ada dititik-titik itu. Mereka mau. Kita misalnya contoh kenapa ini tidak bisa kita jalan? Kenapa ini? Bukankah ini masih kosong? Sebenarnya kami mau, tapi tolong disana juga mau. Ah berarti kan kita yang ditunggu untuk mengatur mereka. Dan contoh-contoh itu kita coba uji petik satu kali, saya bilang apalagi kalau kita masuk melalui bahasa daerah, kan lebih mengena mereka. 

Na umpa la? Eh padahal te Pak Sekda ini orang Wakatobi la. Oh iya lah. Hahaha. Jadi ternyata komunikasi juga itu penting.

--Dan mudah diterima?

Mudah diterima, dan saya kira konsep-konsep itulah selalu setiap hari Senin apel kita memberitahukan kepada teman-teman bahwa kita dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat, ada kegiatan kita disana, jangan cepat-cepat hanya satu kali, dua kali setelah itu langsung eksekusi. Masuk dulu, komunikasi dulu. Kalau sudah dua, tiga, empat kali kita lakukan komunikasi, pasti mereka dengan swadayanya sendiri. Eh, kira-kira seperti apakah kita maunya kami ini diatur. Dia akan memberi peran sendiri.

---Intinya masyarakat mau juga?

Mau juga, mau.


---Intinya bukan diatas meja, tapi langsung dilapangan?

Ya, kemudian yang terpenting, dan ini terus terang saja praktek-praktek kita di Baubau dulu kita pakai disini. Saya bilang ke teman-teman kalau suatu pasar itu bagaimana supaya bisa nyaman, aman, bersih, harus dulu ada desain indahnya, perspektifnya. Pasar seperti itu kita foto dengan kesemrawutannya, setelah itu disampingnya ada semacam desain, tinggal kita bilang bagaimana mau seperti ini atau seperti itu? Pasti dia bilang mau seperti itu. Aa, itu yang kita praktekan dulu di Baubau kan. Jadi ada animasinya rancangan suatu kawasan itu perspektifnya seperti apa, tentu hitungannya dari sisi keindahan, keamanan, kenyamanan tadi. Nah siapa yang tidak mau nyaman, indah?


--Sekarang bapak sudah bicara program, dan menyinggung masyarakat, bagaimana birokrasi?


Birokrat saya kira kita sekarang agak lebih ke depan untuk mencoba memaknai ke mana nantinya UU ASN (Aparatur Sipil Negara), apa perbedannya dengan konsep PNS dulu. Nah saya mulai kita memperaktekan ini, kami sekarang lagi menyusun analisa jabatan dan analisa beban kerja. Jadi setiap unit organisasi ada pembagian tugas, ada kepala dinas, eselon III, IV, ada stafnya. Di tingkat staf pun ini kita analisa beban kerjanya sehingga nanti kita dapatkan yaitu kalau pergi satu hari misalnya dia kerja apa sih. 

Nanti terutama tenaga-tenaga magang kita yang honorer K2 yang belum terserap, kita disatu sisi butuh tenaga tapi disisi lain tidak dibolehkan lagi ada tenaga magang, atau tenaga-tenaga penunjang. Tapi nomenklatur atau bahasanya P3K, pegawai pemerintah dengan kontrak kerja. Kalau dikonfersi berarti orang nanti kalau bekerja harus jelas apa yang dikerja, bebannya seperti apa, tinggal nanti kita kasih reward berapa, bisa dihitung satu hari. Kalau sudah ada uraian beban kerjanya, kalau dia satu hari tidak datang ya tentu jangan ambil loh gajinya satu juta misalnya, kurangi satu hari. Dalam satu bulan berapa hari kerjanya, dan itu akan lebih mendidik aparatur.        

--Ini sampai ke eselon II?

Ya, itulah. Nah kemudian bagaimana kita mengandaikan dalam praktek berbirokrasi aparatur mulai dari bupati sampai dengan staf di bawah kemudian berjenjang mulai dari bupati sampai di level pemerintahan kecamatan, desa, dulu kita ibaratkan seperti suatu orkestra besar. Ada cunductor-nya, dirigen yang mengatur irama, bagaimana seorang Sekda sebagai pembina aparatur, pembina pegawai negeri memainkan itu. Ya tentu komando utamanya, kebijakan utamanya di bupati dan wakil bupati. Tapi di dalam tataran operasionalnya Sekda sebagai pembina pegawai negeri.     

Nah pertama saya datang disini, saya kira ada kurang connect atau istilahnya komunikasi roda pemerintahan antara beberapa instutusi kok kayak kaku, berarti belum tersistim. Nah rapat satu kali kita dengan pak bupati saya bilang ini kan sama dengan orkestra selalu kita bayangkan kalau seorang dirijennya dengan tubuhnya dimainkan dengan perasaan, kira-kira bupatinya, Wabupnya, Sekdanya harus seperti itu memahami, bisa memaknai, mendalami tentang apa tugas, beban, dari satu institusi. Kenapa institusi bisa lahir berarti ada sesuatu ingin dijawab oleh institusi itu. Di dalamnya kan ada aparat, person, birokrat-birokrat disitu. Maka itu didetailkan analisa jabatan, analisa beban kerja tadi, sudah terbagi habis. 

--Reward and punishmant, bukan like and dislike?

Reward and punishmant, bukan like and dislike kita hindari itu. Bahkan Pak Bupati sudah menantang saya, coba sekali waktu kita lelang jabatan. Ya, artinya bukan hanya itu, tapi kita sudah ingin agar dalam melihat, membuat profesional PNS ada kompetisi yang lebih cerdas, objektif dan transparan. Satu kali kita uji coba itu pasti akan menjadi rule model kita, padahal kalau kita ingin maju itu harus kita cerdas. 

Ini loh buktinya. Saya ini pak, sudah melakukan fit and proper test untuk eselon IV, dan juara-juaranya sudah ada. 


--Di level apa? Seluruh dinas?

Seluruh dinas kita mintai supaya mengirimkan jagoannya untuk eselon IV-nya karena kalau seluruhnya mungkin waktu ya. Dan ini akan menjadi role model terus menurus.


---Sudah mulai berlaku?

Mulai berlaku, saya sudah selesai Februari kemarin.


---Sudah dilantik atau akan dilantik?

Baru kita memotret bagaimana kemampuan, kompetensi dari masing-masing orang itu tapi kita minta agar dari unit kerjanya mengirimkan unggulannya untuk dilevel eselon IV. 


--Artinya ukurannya jelas?

Ya, ukurannya jelas.


--Ada angka-angka yang bisa dipertanggujawabkan?

Ada angka-angka, dan itu sudah muncul orangnya.

--Bukan like and dislike?

Bukan like and dislike. Ya kemudian itu tadi yang relasi-relasi antar unit organisasi ini, sebenarnya setelah saya rasakan, kan saya baru jadi Sekda dan memang dicita-cita saya, setelah saya masih di Bappeda dulu, kok kayaknya kalau disana supaya roda pemerintahan sebenarnya disistimkan kemudian bagimana relasi-relasi antar unit kerja. Jadi di Sekda ada asisten.(***)  


Read more: http://www.butonpos.com/metro-baubau/kompetisi-birokrat-lebih-cerdas-wacanakan-lelang-jabatan#ixzz30HfFHuc2

Rabu, 23 April 2014

Kiat Wakatobi Menata Diri (3)

Hindari Gesekan, Sara Difungsikan

---Kiat Wakatobi Menata Diri (3)

Hindari Gesekan, Sara Difungsikan




SEBAGAI daerah yang 97 persen diliputi laut, Wakatobi termasuk daerah yang unik. Kendati tergolong anomali, namun hal ini menjadi kekuatan daerah yang dipimpin duet Hugua-Arhawi bersama kabinetnya.

Laporan: Irwansyah Amunu dan Rusdin, Wangiwangi     

SEKAB Wakatobi Sudjiton menguraikan banyak hal terobosan daerah Kepulauan Tukang Besi tersebut. Berikut petikan lanjutan wawancaranya.   


--Civilisasi, penonjolannya bidang maritim, sudah sejauh mana yang dilakukan pemerintah daerah untuk bidang ini?


Ya, jadi saya kira itu tadi karena wilayah Wakatobi ini 97 persen laut, hanya tiga persen daratannya, oleh karena itu budaya maritim dalam artian luas bagaimana warga masyarakat ini pertama, cinta dengan pesisir dan lautnya. Makna mencintai itu adalah bagaimana mengambil manfaat dari posisi dan laut itu baik manfaat ekonomi maupun sosial secara seimbang, artinya jangan mengeksploitasi sampai dikeruk sedemikian atau diambil manfaatnya diluar ambang batasnya. 

Pasir ini kan kalau tidak ada regulasi, tidak ada kebijakan untuk sedikit mengerem penggunaan pasir, tempo lima tahun ke depan sudah habis pasir-pasir di antar pulau ini. Kalau habis bisa memutus mata rantai kehidupan, memutus keanekaragaman tadi. Karena itu salah satu contoh kecil bagaimana melakukan regulasi agar masyarakat yang menambang pasir mengambil di alur-alur pelayaran. Sehingga juga ada dua fungsi disitu, fungsi untuk mengambil manfaat ekonomi dan fungsi memperdalam arus pelayaran kita di empat pulau ini.

Kemudian kami diakhir tahun kemarin menghasilkan peraturan bupati tentang perusahaan-perusahaan kontraktor yang nanti akan membangun disini menggunakan pasir kali kalau istilah kita. Sehingga regulasinya diharga satuan pasir sudah dinaikan tiga kali, dari 180 kalau saya tidak salah, sekarang kami tetapkan hampir 500.

--Karena dari luar Wakatobi?

Karena dari luar, supaya nanti tidak menjadikan high cost (biaya mahal) buat pengusaha yang nanti melakukan pembangunan disini. Kalau daerah pastilah kalau namanya mensubsidi, supaya ekosistem pesisir dan laut kita tetap terjaga sehingga mata rantai kehidupan pesisir dan laut terjaga. 

Masyarakat juga sudah harus dididik agar bagaimana mereka mulai tidak lagi terlalu mengambil manfaat yang merusak daya dukung pesisir dan lingkungan laut kita. Termasuk juga pemboman ya. Cara-cara tradisional untuk mengambil ikan di laut kan dulu-dulu membom, potas dan sebagainya. Nah ini sudah kita konversi. Kan yang mekukan itu hanya berapa, mungkin hanya 20, 30-an orang. Nah itu dipanggil, kita konversi untuk bagaimana mereka melakukan cara penangkapan ikan dan sebagainya bisa berpindah, ada yang dive master, bahkan dia lebih banyak dapat pendapatan ya dari dulu sebagai pengebom, merusak, berubah menjadi penuntun selam. 


--Benturan kerasnya masuknya perdaban dari luar merupakan salah satu yang tidak bisa dielakkan. Bagaimana dengan kesiapan masyarakat?

Saya kira pastilah yang namanya dampak-dampak ini kan namanya peradaban ini tarik-menarik atau akan terjadi kalau di Huntington akan terjadi gesekan perdaban. Dan biasanya pemenangnya adalah peradaban yang mengandalkan kearifan lokal. Banyak contoh daerah-daerah bahkan negara-negara yang tetap eksis kemoderenannya tapi diletakkan pada kearifan lokal negara itu. Jepang, Korea, kan siapa yang menyangsikan bahwa negara itu negara-negara yang memang menduduki dari kemajuannya adalah negara terkemuka di dunia. Bali misalnya bagaimana perbenturan budaya Barat dan budaya lokal mereka tidak terlalu ditarik untuk mengikuti ke Barat. 

Nah kita nanti, kita selalu diskusikan bahwa tidak mungkin juga kita menutup diri, namanya di daerah apalagi kabupaten/kota, propinsi tidak bisa lagi menutup diri, tetapi tentu saja didalam perbenturan peradaban tadi terus terang saja kita juga bagaimana memperkuat nilai-nilai adat-istiadat, kearifan-kearifan lokal tadi agar menjadi budaya, dan peradaban lokal kita. Sehingga ketika ada orang datang nanti, bukan dia membawa peradabannya sendiri, tapi datang kemudian menyesuaikan dengan peradaban lokal yang ada.            

Apa yang kita lakukan hari ini, pertama, dari Pak Bupati sejak saya datang ke sini sebenarnya sementara berjalan kita memfasilitasi lembaga-lembaga institusi-institusi budaya lokal yang dulu pernah eksis. Maka disini dalam proses-proses pengambilan keputusan yang strategis peranan-peranan lembaga adat sudah mulai difungsikan. Disini kan sudah mulai eksis Sara Mandati, Wance, Kapota, dan Liya. Kemudian di Kaledupa, saya kan putra asli Kaledupa, kita sudah diskusikan dengan orang-orang tua kita disana dengan komunitas-komunitas, elemen-elemen masyarakat di sana sebentar lagi ada pengukuhan Sara Barata.

Sara Barata ini bukan bernostalgia bahwa kita pernah ada, tetapi apa yang masih relefan penguatan Sara Barata ini untuk menjadi wadah-wadah pengambilan keputusan masyarakat. Terutama yang terkait langsung dengan masa depan masyarakat kita. Jadi bisa kita bayangkan kalau hari ini kita melarang pengambilan pasir, mereka mengatakan sejak nenek moyang kita dulu kalau melaut kita ambil. Bayangkan kita bilang tidak boleh lagi, kan antara pemerintah dan masyarakat pasti akan gesekan. Tetapi kalau itu sudah diwadahi institusi lokal yang namanya Sara, maka dengan institusi itulah kita coba bangun komunikasi, diskusi, dan kita cari jalan keluarnya yang paling arif. Dan ternyata memang ampuh sekali.

Disini diawal-awal menurut Pak Bupati, meletakkan PLTU Sombu setahun dua tahun susah sekali. Tetapi setelah didudukkan di Sara, tidak ada lagi. Ayo pak untuk kepentingan umum kita bisa. Memang berproses lah, pasti ada kendala disana sini, tetapi keinginan sebagian besar orang-orang tua kita menginginkan bahwa itu tetap eksis lagi. Nah tentu eksisnya institusi-institusi sosial masyarakat ini tidak kita perhadapkan dengan istitusi pemerintah formal. Mereka juga kan sebenarnya diakui dalam undang-undang bahwa kearifan-kearifan lokal diposisikan sebagai institusi yang diakui negara. Nah disni kan namanya tanah-tanah adat masih banyak dikuasai Sara. Tanah adat kan tanah negara, ketika pemanfaatannya untuk kepentingan yang lebih besar maka pemerintah bisa masuk ke sana, bisa berdiskusi kita membangun relasi dengan adat. Jadi, masih banyak kepentingan-kepentingan umum ke depan dimana kalau institusi-institusi sosial ini bisa  utuh di masyatrakat maka inilah nanti yang menjadi wadah, relasi-relasi pemerintah untuk bagaimana membangun terutama diwilayah-wilayah terkait dengan alam, misalnya tanah, pesisir, laut.           


--Di Bali, selain aspek budaya, aspek fisik juga disentuh dengan banguna bercorak budaya Bali, apakah hal itu akan disentuh juga di Wakatobi?


Ya, saya kira pastilah karena wujud fisik itu sebenarnya pengungkapan dari nilai, memang kita disini belum terlalu kelihatan secara fisik bagaimana nilai-nilai kearifan itu berwujud, tetapi gagasan-gagasan untuk memfisikkan membentuk fisik dari nilai-nilai kearifan itu, kemarin kita ingin merancang masjid raya, ketika sudah reklamasi, dan saya sampaikan kepada teman-teman yang merancang ini agar bagaimana bangunan itu penuh dengan nilai, makna, karena muatan keindahan bukanlah pada bangunan yang megah secara fisik tanpa ada makna, tetapi akan lebih kuat kalau bangunan itu mencerminkan makna-makna. Makna-makna itu tentu digali dari kekayaan adat istiadat budaya dimiliki daerah kita ini. Misalnya bagaimana simbol kemaritiman, bagaimana simbol masyarakat Wakatobi yang satu kata dengan perbuatan.  
             

---Bentuk fisiknya seperti apa?

Ya, tentu, tapi nuansa-nuansa agamis tetaplah yang namanya masjid. Tapi bentuk fisik yang mau kita internalisasi ke bentuk-bentuk itu pastilah harus. 


---Untuk tahun ini dimensi apa yang lebih dijadikan sebagai penguatan untuk pembangunan karena dana terbatas, kemudian pembangunan jangka panjang, tentu setiap tahun ada penonjolan2. Kalau tahun ini penonjolannya dimana?


Ya jadi dievaluasi akhir 10 tahun Pak Bupati, sudah mengindikasikan sebenarnya kemana ini, pada tahun ke-11, ke-12 nanti, beliau ini kan lagi dua tahun ini, nah tentu dari cara pandang beliau, sekarang ini ibaratnya manusia itu sudah sempurna, ada kepalanya, tangan, kaki, tapi suoaya cantik harus kita bedaki, harus ada gincunya. Jadi kita sudah pada area itu. Karena apa? Karena promosi daerah sudahlah, sudah tersebar kemana-mana, kemudian infrastruktur, saya kira kalau uuntuk orang datang ke sini sudah tidak terlalu susah, sudah ada bandara. Kemudian jalan-jalan lingkar untuk empat pulau ini sudah hampir rampung semua. Nah sekarang ini arahannya Pak Bupati bagaimana ibukota ini sudah mencirikan sedikit kekotaan. kemudian bagaimana warga masyarakat sudah mencirikan perkotaan, nah inilah. Karena nanti akan menyambut tadi masyarakat yang datang dengan peradaban luarnya kalau kelas menengah keatas pasti peradaban kekotaan. Nanti berinteraksi dengan masyarakat sini tentu kita tidak mungkin bertahan terus dengan karakter pedesaan, tapi juga harus dengan karakter kekotaan.     
   
Kita bukan dalam artian ketarik dalam budaya kekotaan, tapi kalau budaya itu misalnya budaya keindahan itu kan sangat universal, nyaman, bersih, budaya kota yang juga sangat universal dan tetap dinginkan siapa saja.



---Artinya cita rasa budayanya ada disana?
  
Ya, jadi asesoris ya melengkapi asesoris kota, ruang-ruang terbuka hijau, bagaiamana persampahannya, drainasenya, kemudian bagaimana pesisir ditata, sehingga istilah kita dulu water front city karena juga bersentuhan dengan pesisir kita. 

---Rumah menghadap ke laut?

Ya, rumah menghadap ke laut kita juga ditahun 2003 di Baubau kan berfikir begitu kita menggagas, orang banyak menyaksikan tapi setelah dari tahun ke tahun, kita juga desainnya sudah ada. Tetapi penzonasian untuk fungsi-fungsi zonasi itu lebih berat nanti untuk fungsi apa, kita sementara diskusikan. Tetapi mulai dari panjang kurang lebih 40 kiloan pesisir ini untuk ibukota ini mulai dari Liyamawi sampai Patuno, jadi zonasi-zonasinya tentu kita lihat sesuai dengan karakter masing-masing karena ini kan eksistingnya tidak dari bleng, tidak dari nol, tetapi eksisting sudah ada aktivitas disana, sudah ada pemukiman, kan tidak mungkin kita gusur. Jadi diposisi ini kita juga membangun, memperbaiki, kemudian menggusur masyarakat tetap kita sesuaikan dari eksisting dari zonasi-zonasi sementara kita kerjakan.(***)


Read more: http://www.butonpos.com/metro-baubau/hindari-gesekan-sara-difungsikan#ixzz2zlijRHV0

Kiat Wakatobi Menata Diri (2)

Modal Pelaut Ulung, Jadikan Titik Triger Pertumbuhan

Kiat Wakatobi Menata Diri (2)

Modal Pelaut Ulung, Jadikan Titik Triger Pertumbuhan
PELAUT ulung di jazirah Buton Raya banyak berasal dari Wakatobi, potensi inilah yang dijadikan salah satu modal membangun daerah. Mereka menjadi SDM penting menopang pembangunan.     

Laporan: Irwansyah Amunu dan Rusdin, Wangiwangi 

SEKAB Wakatobi Sudjiton menjelaskan kita ketahui bersama, siapa sebenarnya pelaut-pelaut ulung di bangsa ini, salah satu etnis atau sukunya, ya Suku Buton sebenarnya yang memerankan kan hanya empat suku di Nusantara ini yang disebut sebagai suku maritim kan. Nah kalau Buton ini sebenarnya kalau fenomenanya siapa kalau ambil entitas yang lebih kecil lagi, lebih banyak orang Wakatobi. Dan sampai hari ini mereka masih eksis, kekuatan inilah yang nanti kami akan dorong, kita akan rumuskan dalam kebijakan ke depan, bagaimana sumber daya manusia Wakatobi sebagai masyarakat maritim ini bisa nanti menjadi unggul. Karena, tiga empat generasi dari masyarakat Wakatobi ini sudah menunjukan bahwa mereka-mereka bangsa pelaut dulu kan, di dalam kesultanan dulu. 

Nah tentu saja kalau seperti itu kita jadikan Wakatobi sebagai titik triger pertumbuhan dikawasan Timur, sumber dayanya mendukung seperti itu, maka tentu bagaimana fisik atau geografis dari Wakatobi yang bisa menjadi tempat akumulasi barang dari pabrikan atau dari Barat sana, kemudian ini disebar ke wilayah-wilayah yang masih membutuhkan itu. Demikian pula sebaliknya, dari pusat-pusat produksi kemudian dikumpul disini, lalu dibawa ke daerah-daerah pusat pabrikan, ini yang kita mau perankan ke depan.

Karena itu, infrastruktur harus diperkuat terutama infrastruktur yang mendukung transportasi, maka itu bandara saya kira Pak Hugua sangat cerdas sekali pada saat tiga empat tahun lalu, pokoknya dengan APBD-pun berani membuka bandara, dan hari ini sudah mau hampir di 2400 Meter. Dan itu sudah bisa didarati pesawat berbadan lebar, kemudian pelabuhan kami nanti secara bertahap kita akan buat seperti itu sebagai moda transportasi laut dengan udara.                

Kita tempatkan sebagai titik strategis untuk meleser ke daerah-daerah konsumen, kemudian yang unggul dari segi produksi, baik produksi hasil-hasil laut maupun perkebunan, kehutanan tapi mereka juga melalui peran transportasi armada laut kita, bisa dibawa lagi ke sini, setelah itu dibawa lagi ke pabrikan untuk menjadi bahan baku. Nah itu saya kira yang akan kita perankan.

Kemudian satu yang tidak kita lupakan, ekonomi yang kita dorong, tapi keunggulan-keunggulan lokal tadi kita lebih titik berat lagi kepada dua landasan kuat yaitu dikeunggulan kelautan dan perikanan dan bio diversity bawah laut tadi dengan budayanya, nah saya kira kami sudah gencar sekali untuk mengkampanyekan bagaimana kekayaan bawah laut dan budaya ini menjadi daya tarik tersendiri oleh masyarakat luar daerah dan kalau data-data yang kita lihat di empat tahun yang lalu, kunjungan-kunjungan wisata ke sini, baik wisata lokal maupun mancanegara main di 5000, 6000 diangka terakhir 2012 pertengahan 2013 sudah mencapai 11 ribu kunjungan.

--Berarti ada kenaikan dua kali lipat?

Ya, hampir dua kali lipat kan. Nah, mereka itu mau datang kesini untuk apa? Dari sisi perdagangan untuk orang-orang lokal kami memang pewarisan dari orang-orang tua kita dulu, tapi dari sisi yang lain kita ingin juga bahwa ke sini bukan saja menstimulasi warga ini di sisi dagangannya, tapi juga objek wisata karena juga kaya akan tadi itu. 

Oleh karena itu kebijakannya bagaimana promosi saya kira sudah cukup nah sekarang bagaimana daerah ini dikemas supaya ketika orang disini transportasi udaranya sudah tidak terlalu susah lagi. Transportasi lautnya sudah bagus, kemudian hotel-hotel juga sudah bisa untuk hotel untuk kelas orang yang datang kesini kelas menangah sudah bisa.

Nah sekarang ada Al-Jimairah, Arab sana yang mulai membangun, bintang lima, ada investasi untuk membangun hotel bintang lima. dan beberapa kawasan-kawasan yang kita peruntukan untuk kawasan wisata sudah mulai dibeli oleh investor-investor itu. Nah kemudian tentu saja masyarakatnya ya saya pikir masyarakat ini kalau istilah saya dari masyarakat yang berorientasi pedesaan tiba-tiba ada satu pergeseran kepada cara berpikir kekotaan, kan ini kan. Nah inikan memang harus ada pergeseran prilaku warga masyarakat kita dari hidup pedesaan, kehidup kekotaan. Ya, inilah yang tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tidak hanya menjual terus-menerus, tapi warga masyarakat kita ini, dari hidup orientasi pedesaan dulu-dulu menjadi hidup kekotaan.

Kekotaan ini kan identik dengan kebersihan, keamanan, kenyamanan, nah kemudian tempat ruang-ruang publik interaksi sosial. Dinamika masyarakat itu sudah lebih tercermin pada keamanan, kenyamanannya, keindahan kotanya. Indah kota itu kan tidak harus banyak gedung-gedungnya bertingkat, tidak harus gedung beton-beton dan sebagainya tetapi berkeseimbangan antara pemukiman, rumah-rumah masyarakat dengan ruang-ruang terbukanya jadi konsepnya itu adalah indah, nyaman, aman, dan bersih.        
Nah inilah yang kita coba rubah secara pelan-pelan bertahap dilakukan masyarakat kita untuk menyongsong bagaimana relasi antara masyarakat pendatang tapi selera perkotaan dan masyarakat kami yang tradisional, dia bertemu dengan peradaban kekotaan. Tetapi tetap kita landaskan pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada, karena yang datang ini kan setelah dia mau menyelam dengan keunggulan yang kita unggulkan sebagai surga bawah laut, setelah dia naik pasti mana lagi ini pasti mau ikut lagi acara-acara sosial, acara budaya, habis itu menikmati kuliner-kuliner lokal. Inilah efek rentetan ke masyarakat yang kita harapkan bisa ditangkap untuk memutar dinamika dan roda ekonomi masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.(***)


Read more: http://www.butonpos.com/metro-baubau/modal-pelaut-ulung-jadikan-titik-triger-pertumbuhan--#ixzz2ziZZAm4I

Selasa, 22 April 2014

Kiat Wakatobi Menata Diri (1)

Adopsi Konsep Korea, Investor Arab Masuk

Adopsi Konsep Korea, Investor Arab Masuk
WAKATOBI dibawah kendali duet Hugua-Arhawi memang propagandanya sudah mendunia. Bagaimana perkembangannya kini setelah Drs Sudjiton MM masuk sebagai Sekab di sana? 

Laporan: Irwansyah Amunu dan Rusdin, Wangiwangi 


TANGAN dingin Sudjiton dalam menata daerah tidak diragukan lagi. Pengalamannya menjadi Kepala Bappeda Kota Baubau sudah membuktikan hal itu. Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan koran ini setelah menjabat amanah baru di Kepulauan Tukang Besi.    


--Sebagai orang baru di Wakatobi yang menjabat sebagai Sekda, bagaimana bapak melihat konsep pembangunannya dalam konteks kekinian?

Sebenarnya kalau kita bicara mengenai bagaimana suatu daerah membangun dirinya tentu ada sejarah panjang kebelakang. Agar kita melihat secara utuh bagaimana suatu daerah berproses. Karena pembangunan berproses secara terus menerus untuk memperbaiki, memajukan, dan mengembangkan dirinya secara 
berkelanjutan ke depan. 

Saya baru kurang lebih enam bulanan disini, kita dipercayakan oleh pimpinan untuk menjadi sekretaris daerah, tentu saja kita memahami dulu tentang posisi kita. Posisi sebagai sekretaris daerah sebenarnya tugas pokoknya lebih kepada memformulasi kebijakan apa yang menjadi gagasan-gagasan besar pimpinan daerah yang tertuang dalam RPJMD sebagai visi misi. Kita sebagai sekretaris daerah tentu bagaimana menjabarkan itu, formulasi kebijakannya sampai ke implementasinya. 

Nah peran sekretaris daerah mengkoordinir, mengkoordinasikan tugas-tugas itu dalam implementasinya kepada unit-unit kerja yang ada, baik di badan, dinas, kantor termasuk bagaimana kolaborasi masyarakat. 

Wakatobi dengan visi yang ditetapkan pimpinan daerah, kemudian menjadi visi daerah karena sudah diperdakan, tentu saja seluruh warga daerah siapa pun harus memberi kontribusi bagaimana memerankan dirinya diseluruh sektor. Bidang apa saja warga berada tentu memberi kontribusi dalam penguatan terhadap visi Kabupaten Wakatobi. Visi kabupaten Wakatobi memang sangat filosofis, ideologis yaitu ingin dijadikan Wakatobi sebagai Surga Bawah Laut di Pusat Segitiga Karang Dunia. 

Nah tadinya kita kan orang luaran dulu-dulunya. Hahaha.   Sekarang masuk ke dalam, dari luar dulu kita memaknai begitu jauhnya perspektif visi misi itu untuk suatu daerah. Kemudian apakah tidak sulit nanti untuk dibumikan agar program kegiatan betul-betul nanti secara akumulatif bersinergi dengan kekuatan-kekuatan yang lainnya, bisa berakumulasi kemudian mendekat kepada visi itu. 

Ternyata setelah saya disini bersama-bersama dengan beliua Pak Bupati sebenarnya tidak jauh menjadikan Wakatobi sebagai Surga Bawah Laut di Pusat Segitiga Karang Dunia. Tidak juga terlalu filosofis dan terlalu ideologis karena memang berangkat dari kekuatan yang dimiliki daerah ini. Kekuatannya sangat beralasan 
karena ketika kita sampaikan kata kuncinya Surga Bawah Laut bentuk kongkritnya seperti apa? Surga Bawah Laut artinya bagaimana setiap orang yang memahami konsep visi itu kemudian diturunkan, dijabarkan apa kongkritnya menjadi landasan dari Surga Bawah Laut, ternyata memang salah satu yang kita menjustifikasi itu keanekaragaman hayati yang ada di alam bawah laut Wakatobi. 

Jadi, pertama, dari 850 jenis terumbu karang di dunia, 750 jenis ada di Wakatobi. Di Laut Merah hanya kurang lebih 300, Karibia mungkin tidak sampai 100-an. Dan di mana-mana saya kira keaneragaman hayati di bawah laut kita termasuk yang paling kaya di dunia.      

Yang kedua, kita bulan Juli 2013 lalu oleh badan dunia PBB melalui UNESCO telah ditetapkan sebagai cagar biosfer bumi. Apa artinya itu, artinya keanekaragaman hayati tadi harus menjadi konsen dunia bahwa keunikan, ada endemik terhadap biota-biota yang 750 itu harus kita pertahankan. Dan itu bukan hanya menjadi 
tanggungjawab Wakatobi tapi juga nasional dan dunia. 

Ketiga, secara nasional kita ditetapkan sebagai taman nasional, karena keanekaragaman hayati tadi. Kemudian disekitar Wakatobi penuh karang-karang atol, konon terbesar di dunia. 

Kemudian kalau kita lihat dari posisi strategisnya, Wakatobi ini daerah lintasan ALKI 3 yang dari Australia sampai ke Asia Timur, ke China, Korea, Jepang. Dan dikaki ALKI 3 ini ada sub-sub tiga ALKI-nya lagi ke Arafura, kemudian di atasnya Timor, lalu ke selat antara Pulau Timor dengan pulau-pulau lain disitu, jadi kayak kakinya tiga itu.

Apa artinya semua ALKI ini? Artinya kalau diibaratkan aksesibilitas ini kan lalu lalang, kemudian Wakatobi ada di pas titik kaki tiganya. Nah ini, kemudian dari sisi pergerakan arus, diantara Wangiwangi dan ujung Lasalimu arusnya paling kencang, dan paling banyak memproduksi plankton. Plankton makanan ikan, jadi sampai kapan pun ikan disekitar perairan Wakatobi tidak akan pernah habis. Artinya keanekaragaman bawah laut yang makna surga bawah laut harus kita dudukan disitu. 

Nah, kedua, tentunya yang didarat yah, saya kira eks Kesultanan Buton ini kaya dengan nilai-nilai adat istiadat norma-norma nilai-nilai sosial yang juga harus kita letakkan pada landasan paling dasar agar untuk bagaimana konsep-konsep pembangunan yang kita bangun. Karena dunia sekarang ini era kapitalis sudah lewat, era teknologi saya kira juga sudah mulai pada titik sudah mulai menurun, era informasi juga saya kira. Sekarang ini era civilisasi yang nanti akan membentuk peradaban baru dan dudukannya dipengangkatan mengagungkan nilai-nilai atau kearifan-kearifan lokal dan itulah nanti yang akan memperpanjang kehidupan manusia ke depan. Karena itu hakekak manusia hidup sebenarnya dinilai-nilai dan adat istiadat tadi yang menjadi civilisasi kemudian menjadi peradaban. Nah ketika ini duduk dan menjadi kekuatan membangun suatu daerah, maka ekonomi nanti akan ikut di belakangnya. 

Jadi kita konsepnya sekarang bukan membangun ekonomi dulu kemudian bagaimana sosial budaya ditarik, itu pasti akan mengalami hambatan-hambatan. Tapi kalau civilisasi membentuk suatu peradaban, ekonomi pasti akan ikut. Contoh-contoh itu sudah kita lihat misalnya bagaimana Korea, India sekarang dia letakkan dalam konsep kearifan lokal mereka, teknologinya, sumber daya manusianya terbentuk dari peradaban yang berlandaskan kepada kearifan lokal yang dimiliki bangsa itu.

Kita di Wakatobi, saya kira Pak Ir Hugua secara arif sudahmenggiring ke situ dan meletakkan bagaimana bio diversity, kekayaan alam dan sosial budaya menjadi landasan di bawah, inilah yang nantinya membentuk civilisasi dan peradaban. Pada saat itu daerah ini akan bergerak maju. 

Nah tentu kita melihat fenomena masyarakat hari ini dan eksploitasi kekayaan, tentu saja tidak bisa kita elakan bahwa memang kalau kita posisikan ini dalam posisi strategis, kemudian mempunyai link-link koneksivitas dengan daerah lain, pelaku-pelaku yang sebenarnya warga masyarakat Wakatobi.(***) 




Read more: http://www.butonpos.com/metro-baubau/adopsi-konsep-korea-investor-arab-masuk---#ixzz2zcicBUYE

Minggu, 20 April 2014

Tuyul Pemilu




AKHIRNYA pleno penghitungan suara naik ke level KPU. Bukannya masalah semakin kecil, malah sebaliknya persoalan semakin banyak.

Tengok saja sejumlah Caleg dan Parpol kontestan Pemilu keberatan karena merasa perolehan suaranya tidak sesuai dengan data yang mereka miliki. Tak heran kalau Arifuddin, Caleg Gerindra di Dapil Baubau I merasa dicurangi, atau PDIP yang berencana membawa persoalan hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Isu mengenai hilangnya suara memang sudah terdengar sejak perhitungan suara ditingkatan TPS. Karena sulit menemukan siapa yang bermain hingga suara hilang, maka ada yang mengatakan hal tersebut dilakukan "Tuyul Pemilu". Sebab sudah menjadi pakem masyarakat, mahluk halus jenis tuyul kerjanya mencuri atau menghilangkan uang secara gaib.

Nah itu kalau berkaitan dengan materi, namun di Pemilu berhubungan dengan perolehan suara. Makanya disebut sebagai "Tuyul Pemilu".

Maka itu, beberapa Caleg atau Parpol yang mengkalkulasi bisa duduk di kursi dewan, tiba-tiba kursinya hilang jatuh ke tangan orang lain. Bisa sesama Caleg disatu Partai, bahkan yang lebih parah diambil Caleg dipartai lain.

Menariknya, untuk praktek seperti ini, sejumlah Caleg dimintai dana hingga ratusan juta rupiah untuk mengamankan suaranya. Jika tidak menyetor, bisa bernasib apes, sebab harapan untuk menjadi anggota dewan terancam hilang.

Kalau seperti ini tabiatnya, kita patut bertanya sudah sedemikian parahkah sistem demokrasi Indonesia? Lantas dimana KPU? Kemana Panwas? Apakah mereka buta, tuli, dan bisu sehingga tidak bisa berbuat apa-apa?

Bila "Tuyul Pemilu" tetap dipelihara, maka jangan berharap pesta demokrasi menghasilkan legislator berkualitas. Sebab inputnya sudah dimulai dengan transaksional, maka outputnya pun demikian.(follow twitter: @irwansyahamunu)  

Siap Menang, (tidak) Siap Kalah

PENCOBLOSAN sudah berakhir, nama-nama yang bakal menduduki kursi legislatif sudah bisa diprediksi. Kendati beberapa TPS ada yang melakukan penghitungan suara ulang, namun figur yang bakal melenggang di kursi dewan sudah bisa ditebak.

Alhasil, pasca-pemungutan suara ini, kontestan Pemilu yang terpilih sudah ada yang berpesta, sedangkan bagi yang kalah mengelus dada. Memang dalam sebuah pertandingan, tidak mungkin semua peserta menang, tapi ada juga yang kalah.

Nah, untuk menjunjung nilai-nilai sportifitas, sebelum hari H Coblosan Rabu (9/4) lalu, semua kontestan Pemilu sudah mentasbihkan deklarasi Pemilu damai, siap menang, siap kalah. Sayangnya hal itu hanya terpatri di atas kertas, tapi realisasinya masih sulit terwujud.

Terbukti, saat ini oknum Caleg yang kalah, depresi karena banyak modal yang digelontor, tapi suaranya gembos. Lebih parah lagi, ada yang stres hingga gila karena uang habis, bahkan minus sedangkan kursi tak bisa diraih.

Dari fenomena ini, kita jadi geli kalau misalnya Kesbang dan Panwaslu Baubau menyatakan tidak menemukan politik uang. Sementara, rata-rata Caleg yang berkompetisi diduga menyiapkan amunisi untuk "serangan fajar".

Jadi, bila setelah pesta demokrasi usai, nilai-nilai deklarasi siap menang, siap kalah sulit diwujudkan karena memang dari awal prosesnya dilakukan secara negatif. Jika inputnya negatif, prosesnya negatif, jangan mimpi hasilnya positif. Sebab hasil positif diraih bila proses dan inputnya juga positif.(follow twitter: @irwansyahamunu)

Minggu, 06 April 2014

Perubahan Bisa Diraih Bila Berasaskan Islam

BAUBAU-Lembaga Studi Islam (LSI) FKIP Unidayan bekerjasama denga Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan Kota Baubau menggelar Dialog Perubahan di kampus Istanah Ilmiah Unidayan, Minggu (6/4).

Dalam dialog yang mengangkat tema 'Pro Kontra Pesta Demokrasi Ala Pilcaleg 2014 di Indonesia, Solusi atau Ilusi' ini menghadirkan tiga pemateri, yakni, Caleg PBB Dapil II, Harubali, Caleg PKPI Dapil I, La Ode Arifudin, dan LKM Hizbut Tahrir Indonsesia (HTI) Kota Baubau, Adi Kus Iyut. Dialog perubahan tersebut juga dihadiri puluhan mahasiswa dari perguruan tinggi se Kota Baubau.

Mengawali pemaparan dari LKM HTI, Adi Kus Iyut atas pertanyaan yang dilontarkan host atas tema yang diangkat, apakah perubahan bisa didapatkan dalam Pilcaleg dalam sistem demokrasi tahun ini, dia menjelaskan, perubahan bisa diraih bilamana partai yang berjuang di parlemen konsisten dari perjuangan yang dilakukan, dan perjuangan tersebut tidak asal perjuangan, tapi perjuangan yang berasaskan islami.

Faktanya saat ini kata Adi, tidak ada partai yang konsisten dalam memperjuangkan syariat islam secara menyeluruh ketika duduk di kursi parlemen untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Dia mengatakan, untuk melakukan perubahan yang dilakukan ialah mengganti sistem demokrasi saat ini dengan sistem yang bersumber dari sang pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan yakni Allah SWT dalam bingkai daulah khilafah islamiyah.

Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan yang dilontarkan salah seorang mahasiswa UMB, Suharjo, yang menanyakan melihat fenomena yang terjadi setiap pergantian pemimpin tidak ada perubahan, contohnya, pengangguran masih melimpah, dan biaya hidup yang mahal, dimana pemimpin katanya memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

"Kita ketahui bahwa salah satu tugas legislatif ialah membuat hukum untuk diterapkan di masyarakat. Hal ini bertentangan dengan firman Allah dalam al-Quran surat Yusuf ayat 40, yang artinya yang berhak membuat atau menetapkan hukum adalah Allah. Di sini manusia sudah mengambil peran Allah membuat hukum untuk diterapkan dalam kehidupan manusia," jelasnya.

Sementara Caleg PBB dapil II Harubali menjelaskan, perubahan bisa dicapai dengan mengedepankan kriteria yang sesuai dengan islam. "Kesadaran individual dulu yang harus dibangun untuk menerapkan syariat islam," katanya.

Ia juga menjelaskan, untuk membuat Perda kita harus mendengar aspirasi rakyat, sehingga perda yang dibuat bukan keinginan individu atau kelompok, tapi murni atas aspirasi rakyat.

Membuat Perda ada beberapa sudut pandang yang harus dilihat, tentunya harus sesuai dengan ajaran islam yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan, Haris salah seorang mahasiswa STAI Baubau yang menanyakan peran manusia membuat hukum, padahal dalam QS Yusuf ayat 40, artinya yang berhak membuat atau menetapkan  hukum ialah Allah.

"Pilcaleg pada tahun ini merupakan solusi, tapi asalkan kita jalankan dengan tidak hura-hura, namun harus mempunyai konsep yang jelas. Solusi ke depan adalah bukan dilihat dari caleg yang mempunyai ekonomi yang banyak, tapi dilihat dari kecerdesanya," kata Harubali.

Sementara Caleg PKPI, La Ode Arifudin menjelaskan, proses demokrasi di Indonesia saat ini harus dibangun dengan pemikiran politik yang baik, sesuai dengan pemikiran   akidah islam.

"Yang menjadikan kehancuran negeri ini karena kesejahteraan tidak dirasakan oleh masyarakat. Perubahan bisa dihasilkan dengan membangun kecerdasan masyarakat, karena ketika masyarakat sudah cerdas, maka kesejahteraan akan dirasakan masyarakat," jelasnya.(p5)

Lagu Lama Jualan Pemekaran



SELAMA masa kampanye Caleg, hampir kita tidak mendengar program yang disampaikan para kontestan Pemilu. Entah karena sudah terlalu banyak janji diumbar dan belum ada yang terealisir, namun yang terjadi  keramaian paling terasa hanya dalam bentuk konvoi kendaraan, dan goyang artis.

Kalaupun ada janji diberikan, paling banter yang dilontarkan adalah pemekaran. Mulai dari Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Buton Selatan (Busel), hingga Provinsi Buton Raya. Ya, inilah lagu wajib yang kerap kali didendangkan mereka untuk menarik simpati pemilih agar berjoget bersamanya.

Memang pemakaran menjadi jualan paling laku untuk dihembuskan kepada pemilih di jazirah Buton Raya. Dan segala macam bumbu juga digunakan mereka untuk membuat racikannya dikonsumsi rakyat.

Sayangnya jualan pemekaran ini seolah menjadi lagu lama yang hanya dinyanyikan setiap para politisi punya syahwat untuk berkuasa. Entah itu melalui Pilkada maupun Pileg.

Namun setelah kursi direngkuh mereka mengidap penyakit amnesia. Lupa bahwa mereka pernah berucap. Lupa bila mereka sebanarnya punya kuasa untuk menggolkannya ketika duduk di singgasana kekuasaan, namun tuah itu tidak digunakan.

Malah yang terjadi, selama masa kampanye ini sesama mereka, para Caleg atau antar partai saling menuding. Menyalahkan memang mudah dilakukan, yang sulit kerja nyata untuk mewujudkannya. Sebab menyalahkan tidak butuh tenaga sementara bekerja perlu energi banyak.

Padahal, bicara soal perwujudan pemekaran begitu mudahnya. Sebab, sudah ada surat yang diteken Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan Buteng dan Busel prioritas. Harus tuntas sebelum pembahasan 65 daerah otonom baru (DOB) yang belum lama ini disodorkan DPR RI. Bayangkan, sekaliber 01 RI sudah turun tangan. Namun kenapa keduanya begitu sulit terwujud?

Maka itu, Pileg kali ini pemilih harus cerdas menggunakan hak konstitusinya. Kepada siapa mereka wakilkan suaranya. Apakah memang ada Caleg yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat? Memilih atau tidak? Ingat, hanya keledai yang terperosok di lubang yang sama untuk kedua kalinya. (follow twitter: @irwansyahamunu)

Elektabilitas: Kualitas atau Isi Tas?


Catatan: Irwansyah Amunu

MASA kampanye berakhir. Tahapan Pileg kini memasuki masa tenang.

Setelah fase jual diri melalui program selesai, sekarang semua Caleg saatnya menyusun strategi terakhir untuk bisa dipilih pada hari H, Rabu (9/4), lusa. Yang menarik, kini perbincangan bergeser dari hiruk pikuk kampanye menjadi berapa banderol yang disiapkan para Caleg untuk menggoda iman pemilih.

Ada yang terjun langsung, ada pula menggunakan peluncur di lapangan. Angka yang disebut beragam, mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu per kepala.

Kenapa "pasali" atau "serangan fajar" yang dijadikan standar? Sebab, belajar dari kecenderungan politik selama ini yang diyakini publik dan politisi, kalau ingin dipilih, maka tidak cukup dengan omong doang, tapi yang terpenting adalah "tanda jadi".

Jangan heran kalau ada politisi yang kebetulan menguji peruntungan dengan maju dalam bursa Pilcaleg kali ini sempat mengeluh ke saya. Dia mengaku telah melakukan blusukan ke pemilih di daerah pemilihannya. Apa aspirasi yang diserap? Bukan harapan dan program yang dititipkan tapi rata-rata pemilih menanyakan berapa dana yang disiapkan untuk hari H nanti. Inilah yang membuatnya lesu, sebab dia mengaku modalnya pas-pasan.

Mengapa hal tersebut menjadi tradisi? Sebab selama ini budaya tersebut terpelihara. Sayangnya kendati hal tersebut sudah menggejala, namun terkondisi terus karena sulit disentuh oleh KPU, Panwaslu, dan stakeholder Pemilu lainnya. Ibarat orang buang angin, bau busuknya tercium namun tidak bisa dipegang.

Praktek inilah yang membuat banyak orang menilai elektabilitas atau keterpilihan seseorang di dewan sebetulnya bukan ditentukan oleh kapasitas, kualitas, dan kapabilitas. Tapi yang menentukan adalah isi tas alias faktor duit. Sehingga yang terpilih menjadi Aleg (anggota legislatif) umumnya yang paling banyak modal, kalau kere jangan mimpi. Kalaupun ada yang berhasil duduk, hanya keruntungan saja, peluangnya sangat kecil.

Padahal, kalau diukur dengan bayaran, sebetulnya transaksi politik ini sangat murah. Harga pemilih per kepala hanya Rp 55 (kalau dibanderol Rp 100 ribu) dan Rp 137 (banderol Rp 250 ribu). Lebih mahal harga sepotong roti dari ongkos pemilih.

Selain itu, modus lain yang digunakan untuk merebut kursi dengan cara memanfaatkan celah mulai dari pembagian surat panggilan hingga penghitungan suara. Pada wilayah ini yang digoda penyelenggara Pemilu.

Teknik yang digunakan dengan memanfaatkan surat suara yg tidak terpakai biasanya surat suara sisa dicoblos untuk Caleg tertentu. Caranya, bisa menggunakan penyelenggara Pemilu atau pemilih siluman yang bergerak ke mana-mana ditugaskan untuk menggunakan surat suara sisa.

Jurus lain, Caleg yang merasa tidak bisa duduk di dewan, ditengarai "menjual" suaranya kepada Caleg tertentu yang separtai dan se-Dapil dengannya untuk mengatrol suara Caleg tersebut. Hal ini juga tidak mudah, kuat dugaan melibatkan elemen penyelenggara Pemilu.

Pendek kata, modus inilah yang paling lazim digunakan setiap kali pesta demokrasi. Jadi, kalau semuanya berjalan terus tanpa kontrol dan monitoring ketat dari rakyat dan setiap pemangku kepentingan, maka yang terjadi Aleg yang akan kembali bertakhta adalah yang bermodal kuat.

Maka jika muncul pertanyan, elektabilitas: kualitas atau isi tas? Jawabannya pasti kita sudah mafhum bersama. Dan kalau ini terus terjadi, kasihan lembaga legislatif, jauh dari mutu yang diharapkan. (Follow twitter: @irwansyahamunu)