Minggu, 11 Januari 2015

Menanti Tumbal di Kampus Biru UMB


Menanti Tumbal di Kampus Biru UMB
SAMA dengan Pilrek sebelumnya, suksesi rektor di Universitas Muhammadiyah Buton (UMB) menyisakan polemik. Ceritanya pun hampir sama masih diseputaran kasus dugaan pemalsuan dokumen.
Tak heran bila beberapa hari terakhir demo sempat terjadi di depan kampus biru. Teranyar unjuk rasa akhir pekan lalu yang dilakukan sejumlah mahasiswa.
Suriadi, sang tektor terpilih dilaporkan mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMB ke Polres Baubau tuduhan memalsukan surat pemberhentiannya dari PKP Indonesia. Kasusnya pun mulai bergulir dengan pemanggilan Ketua KPU dan Ketua PKP Indonesia Kota Baubau untuk dimintai keterangan.
Sekadar mengingatkan dalam Pilrek edisi sebelumnya pada masa Syarifuddin Bone, salah seorang civitas akademika UMB, Ibrahim harus duduk di kursi pesakitan. Bahkan harus merasakan pengapnya hotel prodeo. Kasus yang menjeratnya pun berkutat di tengara pemalsuan dokumen.
Nah, pada episode kali ini dugaan pemalsuan dokumen kembali mengemuka. Siapa yang bakal menjadi tumbal? Kita tunggu saja.
Yang jelas, Korps Bhayangkara kini sedang bekerja mengusut kasus tersebut. Semoga dalam waktu dekat aparat dibawah kepemimpinan AKBP Eko Wahyuniawan segera dapat membuka kotak pandora di kampus biru. Dengan demikian kita akan mengetahui siapa lagi yang menjadi tumbalnya.(***)


Read more: http://www.butonpos.com/tajuk-rencana/metro-baubau/tajuk-rencana/menanti-tumbal-di-kampus-biru-umb#ixzz3OZiOKyOY

Lippo to Lipu

Catatan: Irwansyah Amunu


Lipo to Lipu

DEMAM lippo masih terasa di Kota Semerbak. Setelah grand opening Lippo Plaza Buton, Senin (22/12) lalu tradisi belanja masyarakat Baubau mulai berubah.
Sebelumnya untuk mendapatkan barang belanjaan kita harus ke sejumlah pasar tradisional semisal Pasar  Wameo, kini lokasinya berpindah ke Lippo. Aneka kebutuhan dari A sampai Z tersedia. Inilah yang mampu menyihir masyarakat untuk mengganti kiblatnya.
Kehadiran Lippo memang menjadi surga bagi konsumen. Baubau selama ini terkenal sebagai salah satu daerah yang menjual komuditas namun dengan harga selangit. Lippo memberi jawaban.
Benar saja, hari pertama Lipo dibuka, langsung dibanjiri pembeli. Saking banyaknya pembeli, teler yang melayani konsumen betul-betul "teler". Pembeli mengular antri hingga berjam-jam. Bahkan beberapa pembeli meninggalkan belanjannya karena tak kuasa antri.
Bukan hanya itu, ada salah seorang pengunjung yang meninggalkan mobilnya karena tak bisa keluar dihalangi mobil lain. Dia meninggalkan Lippo menggunakan sepeda motor, nanti pagi keesokan hari ia mengambil mobilnya.
Bagaimana perspektif penjual? Jawabannya pasti lain lagi. Masuknya Lippo tentu menjadi pesaing bisnis.
Membicarakan Lippo tentu merupakan hal menarik. Apalagi sejak dibangun, pro kontra mencuat di masyarakat, bahkan tak berhenti hingga kini. Demo juga kerap kali dilakukan sejumlah elemen mahasiswa.
Beruntung saat launching perdana, saya bertemu dengan Fernando Repi, Corporate Communication Dept. Head Hypermart. Dia mengatakan tidak semua barang dagangan di hypermart didatangkan dari luar Baubau. Sayur-sayuran dan ikan misalnya, pihaknya bekerjasama dengan warga lokal untuk menyuplai kebutuhan mereka. Dengan demikian kehadiran Lippo tetap menghidupkan ekonomi lokal.
Begitupun dengan teler dan sejumlah SDM di Lippo dan hypermart banyak mempekerjakan masyarakat setempat. Direncanakan tahun ini akan dibuka lagi 20 gerai di Lippo, diperkirakan membutuhkan 4000 pekerja. Luar biasa, suatu angka yang fantastis.
Kemudian mereka bisa berkarir disana. Tidak yang berposisi sebagai teler, lantas dia abadi sebagai teler. Seraya mencontohkan rekannya, Tunggul Manik, kini menjabat Store General Manager Hypermart Lippo Plaza Buton. Sebelumnya jabatannya biasa saja. Dengan catatan mau berkarir di luar Baubau untuk mengejar karir.
Tentang membanjirnya pembeli dihari pertama operasi, Fernando takjub dengan antusisme warga berbelanja. Dimatanya kehadiran Lipo nantinya akan mengedukasi warga agar dalam berbelanja kebutuhan rumahtangga di hypermart bukan tiap hari, tapi dua kali dalam sebulan.
Hiruk pikuk soal Lippo bukan saja terjadi di dunia nyata, namun di dunia maya melalui sosial media facebook juga ramai menjadi bahan perbincangan. Ditengah aneka opini berkembang, yang menarik menurut saya yang membuat status: Lippo to Lipu? Ada juga menuliskan hastag #LippoToLipu. Dalam bahasa setempat berarti lippo untuk kampung atau daerah. Dengan tanda tanya dan tanpa tanda tanya.
Tanda tanya berarti ingin mengeksplorasi lebih dalam kemanfaatan Lippo bagi masyarakat. Apa plus minusnya kehadiran Lippo bagi warga setempat. Satunya lagi hastag dengan pemaknaan positif.
Ditengah sikap yang ambigu itu, akhir pekan lalu saya bersama keluarga belanja di hypermart. Sebelum masuk ke dalam mata saya menyapu pelataran parkir, saya melihat kendaraan tidak sepadat saat pembukaan. Begitupun dengan yang berbelanja tidak seramai sewaktu baru dibuka.
Inilah yang disebut dengan kesetimbangan pasar. Kehadiran Lippo tidak mematikan pelaku ekonomi lokal. Bahkan menurut Kepala BPS Baubau, Mustari, inflasi bulan ini ditekan dengan kehadiran Lippo. Apakah ini hanya dampak sesaat? Wallahu 'alam. (Follow twitter: @irwansyahamunu)


Read more: http://www.butonpos.com/tajuk-rencana/metro-baubau/lipo-to-lipu#ixzz3OZi6koNb

Minggu, 04 Januari 2015

Kota Buton untuk Siapa?

BELUM selesai persoalan "rapor merah", kini Kota Baubau dihadapkan dengan pergantian nama menjadi Kota Buton.

Tidak main-main, pihak Pemkot bahkan membawanya ke forum seminar yang dihadiri sejumlah eleman masyarakat. Bisa ditebak, hasil forum tersebut kesimpulannya apa. Kota Baubau berubah jadi Kota Buton, dan setuju dengan pemekaran Provinsi Kepulauan Buton Raya.

Terlepas dari isi seminar, pertanyaan kita adalah perubahan nama sebenarnya untuk kepentingan siapa? Apakah kehendak masyarakat Baubau?

Waktu satu hari tentu tidak cukup untuk merefleksikan aspirasi masyarakat. Kalau ingin mengetahui isi hati rakyat mestinya Pemkot melakukan publik hearing dengan melibatkan seluruh masyarakat. Bukan hanya itu, pendekatan survei dan poling harus juga ditempuh untuk mendekatkan hasilnya dengan kebenaran.

Melihat reaksi masyarakat yang masih terbelah, sebetulnya masyarakat Kota Semerbak lebih menginginkan roda ekonominya kembali berputar kencang. Sebab, tren mutakhir sektor ril melambat.

Jadi, lebih baik dana dan energi yang digunakan untuk proyek perubahan nama kota menjadi proyek fisik atau pemberdayaan masyarakat untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Proyek perubahan nama pasti menelan anggaran miliaran rupiah. Prosesnya pun panjang mulai dari eksekutif, legislatif, hingga ke Mendagri.

Setelah nama berubah, pasti tetek bengek dan aneka dokumen lainnya berubah. Logo kota otomatis berubah, begitupun dengan nama dan plank kantor vertikal dan lingkup kota.

Hal lain, sebut saja satu contoh, KTP, yang baru saja selesai diurus menggunakan sistem kependudukan baru, otomatis berubah. Berapa lagi dana terkuras, dan berapa lama lagi waktu yang terbuang.

Dibanding mengurus perubahan nama Kota Baubau, lebih baik dana dan energinya dipakai untuk memperjuangkan pemekaran provinsi lepas dari Sultra. Ini yang lebih dikehendaki rakyat dibanding perubahan nama kota, supaya lebih fokus.

Ingat, perubahan nama kota pasti akan merubah dokumen pemekaran provinsi. Kalau ini terjadi, maka perjuangan pemekaran bakal mengalami stagnasi. Nah, lho.

Alhasil, kalau perubahan Kota Baubau menjadi Kota Buton bukan untuk rakyat, lantas untuk siapa?(***)

Siapa Dibalik Mustari dan Mansur Amila?

Catatan: Irwansyah Amunu


JELANG tutup tahun 2014, Bupati Buteng Mansur Amila, dan Bupati Busel Mustari melantik pembantunya masing-masing. Membaca komposisi kabinetnya, kita berharap dua pejabat bupati tersebut mampu meletakkan pondasi yang kokoh bagi daerahnya.

Mengapa? Sebagai daerah otonom baru (DOB), kabinet merupakan perangkat lunak yang akan membawa Buteng dan Busel bergerak. Maju, mundur, atau diam, semuanya sangat ditentukan para kebinet yang ditunjuk bupati.

Maka itu, pejabat yang dilantik harus menjawab kepercayaan tersebut dengan kerja. Karya adalah bukti nyata yang dapat berbicara banyak, sebaliknya bicara banyak tanpa karya sama dengan tong kosong nyaring bunyinya. Maka itu filosofi dasar yang harusnya ada di dada mereka adalah: apa yang saya bisa berikan pada daerah, bukan apa yang saya dapatkan dari daerah.

Nah, bicara soal pejabat, mungkin kita sudah bisa menyimpulkan kabinet Mustari dan Mansur Amila secara umum relatif menggambarkan rekonsiliasi politik dari sejumlah kekuatan di jazirah Buton Raya. Dikatakan demikian karena keduanya merekrut alumni pejabat dimasa Walikota Baubau Amirul Tamim, dan Bupati Buton Sjafei Kahar. Plus sejumlah nama yang diorbitkan sekarang oleh Bupati Buton Umar Samiun, dan Walikota Baubau Tamrin.

Hanya saja, warna kabinet Mansur Amila belum terlalu nampak karena eselon II yang dilantik lebih sedikit dibanding Mustari. Bisa dikatakan Mustari lebih berani karena sejumlah nama yang direkrut merupakan "ring satu" dari kekuatan birokrat masa lalu. Saya melihat hal ini sangat dipengaruhi dengan keikutsertaan Mustari secara langsung dalam kontestasi politik di Baubau selama dua periode terakhir.

Namun begitu, kita tidak meragukan kemampuan Mansur Amila dalam meracik timnya. Soalnya, Mansur dan Mustari adalah birokrat senior. Bukan hanya itu mereka juga teknokrat karena mampu membuat terobosan di sektornya masing-masing. Keduanya juga pernah berkarir di lever propinsi yang memberikan rekam jejak baik, dan jam terbangnya pun sudah lama.

Ya, pengalaman tersebut harus menjadi kunci sukses dalam memimpin daerah. Jangan sampai pengalaman hanya menjadi pemanis curiculum vitae tanpa arti apa-apa.

Hal tersebut harus menjadi garansi bagi masyarakat Buteng dan Busel untuk kemajuan daerahnya. Walaupun hasilnya nanti kita akan lihat diakhir kepemimpinan mereka, apakah dua "bayi kembar" tersebut mendapatkan "rapor merah" atau "rapor biru".

Perlu diingat, godaan di daerah pemekaran sangat banyak. Saya biasa berceloteh, kalau di DOB, pusing untuk menghabiskan uang (baca: APBD), sedangkan di daerah yang sudah lama pening cari uang. Karenanya persoalan akut yang menimpa DOB, pejabatnya banyak dijerat kasus korupsi. Bisa kita lihat contohnya di Bombana, dan Wakatobi ketika baru dimekarkan. Pejabatnya antri duduk di kursi pesakitan hingga berujung masuk ke Hotel Prodeo.

Variabel lain yang membuat hal tersebut terjadi karena pejabat yang diangkat belum berpengalaman, akibatnya tidak memahami mekanisme pengelolaan anggaran secara akuntabel. Akibatnya terjadi kebocoran dan penyimpangan anggaran yang merugikan negara.

Untuk itu, profesionalitas, dan kapabilitas harus menjadi ukuran mutlak dalam bekerja. Dengan demikian pejabat pembantunya merupakan figur pilihan yang kompoten, bukan yang "impoten" tak bisa menghasilkan karya. Soal ini saya setuju dengan prinsip Mustari yang kukuh tidak ingin merekrut guru menjadi pejabat struktural. Selain karena jumlah guru minim, pejabat struktural memiliki Tupoksi yang berbeda dengan guru.

Memang profesionalitas, dan kapabilitas harus berada dibalik 2M (Mustari dan Mansur). Dengan demikian menjawab pertanyaan: Siapa Dibalik Mustari dan Mansur Amila? Kita akan sama menjawab: kepentingan rakyat dan daerah, bukan kepentingan figur atau kelompok tertentu. Bila prinsip ini dipegang, maka Buteng dan Busel bakal bergerak maju, dan akan tumbuh semakin tinggi meski angin badai menerpa.(follow twitter: @irwansyahamunu)