Minggu, 17 Juni 2012

"Salah Makan"


Catatan: Irwansyah Amunu



APAKAH benar sistem Islam mampu mengeluarkan Indonesia dari keterpurukan? Demikian tanda tanya besar yang selalu muncul ketika berdialog dengan sejumlah pihak di tengah banyaknya persoalan yang mendera negeri ini.

Pertanyaan tersebut jika diturunkan dengan kondisi negeri kita akan melahirkan banyak jawaban. Bagi yang belum paham dengan Islam sebagai suatu idiologi, tentu jawabannya bernada mencibir. Sebab, Islam selama ini hanya dipandang sebagai suatu agama suci, tidak bisa diterapkan dalam kehidupan manusia moderen seperti sekarang. Apalagi, persoalan kini semakin kompleks, berbeda dengan kehidupan manusia tempo dulu.

Namun bagi yang paham, optimis menjawab: pasti.  

Optimisme itu semakin menjadi kenyataan ketika saya menghadiri acara Konferensi Tokoh Umat (KTU) bertajuk Khilafah, Model Terbaik Negara yang Mensejahterakan digelar DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sultra di Kendari, Sabtu (16/6) lalu. Acara yang dihadiri 2000 lebih tokoh di Sultra tersebut memberikan gambaran bagaimana kita mengelola negara secara Islam.

Tidak tanggung-tanggung, penjelasannya langsung diberikan Prof Dr Ing. Fahmi Amhar. Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial di Bakosurtanal yang juga salah seorang anggota DPP HTI tersebut memberikan penjelasan panjang lebar bagaimana Islam mengelola negara.

Ada hal yang menarik dikatakan Fahmi, Indonesia berpotensi untuk menjadi negara kuat dan berdaulat. Namun, mengapa kita belum bisa mewujudkannya? Karena kita menggunakan cara lain mengelola Indonesia.

Potensi minyak misalnya, produksi minyak Indonesia 950.000 barrel per hari, nilai nett profitnya di atas Rp 280 triliun per tahun. Saat ini kebutuhan minyak 1,2 juta barrel per hari, akibat politik energi selama ini tertumpu pada minyak, seperti PLTGU yang “salah makan”, tata kota yang tak efisien, hingga tak terbangunnya transportasi massal. Akibatnya minyak lebih banyak “diminum” sendiri, tidak banyak yang untuk mensejahterakan rakyat.

Kemudian, gas dan batubara, produksi gas (LNG) setara 5,6 juta barrel minyak per hari, nilai nett profitnya sekitar Rp 268 triliun per tahun. Produksi batubara setara 2 juta barrel minyak per hari, nilai nett profitnya sekitar Rp 191 triliun per tahun. Kedua sumber energi besar ini lebih banyak diekspor murah ke Cina. Indonesia mensubsidi energi Cina lebih besar daripada mensubsidi rakyatnya sendiri.

Kelautan, karena sektor kelautan terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan baik kecil maupun besar, agak sulit memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut KKP, nilai potensi lestari laut Indonesia-hayati, non hayati, wisata sekitar Rp 738 triliun. Bila ada BUMN kelautan memiliki ceruk 10 persen, pendapatan kita sekitar Rp 73 triliun.

Hutan, luas hutan kita 100 juta hektar, 60 juta ha hutan produksi. Agar lestari-siklus 20 tahun, setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, minimalisnya 400 pohon, hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun nilai pasarnya Rp 2 juta (nett profitnya Rp 1 juta), nilai ekonomis dari hutan kita adalah 60 juta ha x 20 pohon per ha x Rp 1 juta, setara Rp 1.200 triliun per tahun.

Kita belum menghitung potensi penerimaan dari sumber daya manusia, infrastruktur, informasi, kapital, dan produksi. Potensi penerimaan dari sumber daya alam (SDA), pertambangan Rp 789 triliun, kelautan Rp 73 triliun, kehutanan Rp 1.200 triliun. Total jenderal Rp 2.062 triliun. Sementara, APBN-P kita tahun ini hanya Rp 1.500 triliun, masih lebih besar potensi penerimaan dari SDA.

Sayangnya, sumber daya alam kita realitas penerimaan sangat kecil, disebabkan pencurian, konsesi, transfer-pricing, korupsi. Sumber daya manusia, mayoritas berkemampuan rendah. Infrastruktur, tidak dibangun atau dirawat serius. Informasi, didominasi paten atau copyright asing. Kapital, didominasi utang LN ribawi. Produksi, didominasi investor asing. Ternyata semua belum jadi sumber kekayaan.

Realitasnya, berkah sumber daya alam itu belum mampu menghapus kemiskinan di negeri ini. Penduduk miskin di Indonesia setiap tahun meningkat. Negeri ini perlu cara-cara baru. Cara baru dalam mendidik orang. Cara baru dalam membentuk budaya. Cara baru dalam merancang peraturan. Cara baru dalam memandang kehidupan. Cara baru dalam mewujudkan kesejahteraan. Kita wajib berpikir diluar konteks atau out of the box.

Kita rupanya selama ini "salah makan". Kita hidup menggunakan cara hidup asing  yang dianggap normal. Memisahkan agama dari kehidupan publik (sekulerisme). Menjadikan kebebasan sebagai doktrin kehidupan (liberalisme). Menjadikan materi sebagai alat ukur kemajuan (materialisme). Menganggap distribusi barang dan jasa akan optimal cukup dengan mekanisme pasar (kapitalisme). Semua ini harus kita ubah.

Contoh out of the box, luas laut Indonesia 5,8 juta Km persegi. Panjang perbatasan laut kita 15.000 Km. Jumlah kapal perang yang dibutuhkan sekitar 600. Jumlah KRI hanya ada 152. Harga kapal yang ocean-going sekitar Rp 15 miliar. Bagaimana bila bailout Century yang Rp 6,7 trilun dibelikan kapal?  Dapat 446 kapal! Kapal ini dapat untuk memberdayakan dan mensejahterakan nelayan. Lengkapi kapal ini dengan marinir dan senjata, maka pencurian ikan (illegal fishing) akan jauh berkurang.

Kalimat akhir yang dinyatakan Prof Fahmi Amhar: Tak ada perbaikan tanpa perubahan. Tak ada perubahan ke arah kebaikan tanpa mengacu kepada syariah.Tak akan sempurna penerapan syariah tanpa dalam kerangka sistem khilafah.Tak akan tuntas upaya penegakan syari’ah kecuali dilakukan secara berjamaah.

Setelah itu pemaparan dilanjutkan DPP HTI lainnya, ustaz Abu Zaid yang membahas politik ekonomi Islam Untuk pertumbuhan ekonomi yang stabil dan menyejahterakan. Praktis acara yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut memberikan kepuasan berpikir dan pemahaman para hadirin. Tidak rugi mereka datang dari Pasarwajo, Sampolawa, Wakatobi, Buton Utara, Baubau, Muna, Kolut, Kolaka, Bombana, Konawe menghabiskan waktu dan dana untuk menghadiri acara tersebut. Acara tesebut bisa menjadi obat dari "salah makan" otak kita dari masuknya pemahaman asing yang sekularistik dan sosialistik.(one.radarbuton@gmail.com)