Jumat, 26 Juli 2013

HARAPAN PEJABAT NONJOB DARI IRSUS KEMENDAGRI: Baubau Berlomba dengan Kolaka



Mendagri Minta Plt Bupati Kolaka Batalkan Mutasi

 
JAKARTA - Tindakan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kolaka, Amir Sahaka yang seenaknya melakukan mutasi dan menonjobkan ratusan pejabat, mendapat perhatian khusus dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi..... Lengkapnya baca:
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=183440

Senin, 22 Juli 2013

OPERASI SENYAP

AHMAD Arfa "dikudeta". Meski terlalu berlebihan, namun demikianlah komentar sebagian orang begitu mengetahui Sekot Ahmad Arfa digantikan Muhammad Djudul, Rabu (17/7) lalu.

Mengapa? Soalnya masa jabatan Ahmad sebagai PNS masih terisa enam bulan 13 hari. Namun di tengah usia PNS-nya yang tersisa tersebut, dia digantikan di tengah jalan oleh Djudul.

Walau secara aturan tidak ada dilanggar, namun menjadi suatu hal yang tidak lazim jika dikomparasi dengan pergantian Sekot pada rezim sebelumnya. Pada masa Walikota Amirul Tamim, biasanya Sekot dipercaya menjabat hingga masa pensiunnya. Seperti yang dialami Sekot Sahiruddin Udu, dan Suhufan.

Sahiruddin Udu misalnya, walaupun merupakan Sekot yang menjabat sejak masa Pj Walikota Umar Abibu, tetap dipertahankan Amirul hingga masa pensiun. Tidak digantikan di tengah jalan.  

Bahkan dari masa Sekot Sahiruddin Udu ke masa Sekot Suhufan, di antara waktu itu LM Arsyad Hibali sempat merasakan menjadi Plt Sekot sekitar setahun. Begitupun dari masa Sekot Suhufan ke masa Ahmad Arfa, tidak secara saklek Sekot berganti. Di antara masa itu, Kostantinus Bukide pun sempat menjadi Plt Sekot. Menggambarkan kehati-hatian Amirul dalam menunjuk aparaturnya mengisi kursi strategis Sekot.

Sebab Sekot merupakan pertahanan terakhir untuk mengamankan kebijakan walikota. Bila tidak, walikota akan kebobolan. Terbukti, satu dekade, atau dua periode lima tahun kepemimpinan Amirul bisa dituntaskan. Artinya, tiga Sekot yang ditunjuk Amirul, masing-masing Sahiruddin, Suhufan, dan Ahmad, sukses menjalankan tugas. Amirul tidak salah pilih pembantu.  

Hal lain, pergantian Sekot di masa Amirul bisa dirasakan publik. Nama-nama kandidat yang diusulkan pun diketahui sebelum Sekot definitif dilantik.

Berbeda dengan pergantian Ahmad, hampir bisa dipastikan informasinya tertutup rapat. Publik mulai bisa mengendusnya nanti pada H-1. Jangan heran kalau suksesi Sekot disebut sebagai "operasi senyap" karena dilakukan secara diam-diam.  


Terlepas dari semua itu, Djudul kini bertakhta sebagai Sekot. Jabatan idaman, jabatan tertinggi bagi seorang PNS. Di pundaknya kini dibebankan amanah untuk mengawal jalannya pemerintahan duet Tamrin-Maasra. Semoga hal itu bisa dilakukan hingga periode duet pemimpin yang diusung PAN, PBB, dan PPN tersebut berakhir. Setidaknya, Djudul sudah memiliki modal karir birokrasi, mulai dari camat, dan eselon II di Dinas Pariwisata, DKP, dan Asisten I. 

Apakah tugas Sekot dapat di pikul Djudul seperti tiga pendahulunya? Hanya waktu yang bisa menjawab.(***)

Selasa, 16 Juli 2013

KEBELET MEKAR

Catatan: Irwansyah Amunu


SUHU di Buton belakangan kembali memanas. Tensinya naik karena masyarakat di Buton Tengah (Buteng) dan Buton Selatan (Busel) kebelet mekar. Sementara harapan tersebut tersumbat dengan surat keterangan yang diteken camat di dua wilayah calon daerah otonom baru (DOB) tersebut.

Bukti kebelet mekar ini bisa dilihat dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan dua hari berturut-turut, Kamis dan Jumat (4-5/7) di depan Rujab bupati dan eks Kantor Bupati Buton di Baubau. Masyarakat Busel menuntut agar daerahnya secepatnya dimekarkan. Meski harus menghadapi hadangan aparat Sat Pol PP, aksi demonstrasi mereka tidak bisa dipadamkan.

Mungkin, masyarakat di Buteng dan Busel gregetan, sebab beberapa kali putaran pembahasan pemekaran DOB, selalu menuai kegagalan. Kali pertama, di Sultra, DOB yang dikabulkan hanya Kabupaten Kolaka Timur. Kedua, hanya Kabupaten Konawe Kepulauan. Terakhir, belum lama ini Kabupaten Muna Barat sudah diberikan "lampu hijau".

Padahal, publik mengetahui, dari tiga daerah tersebut yang paling sering dibicarakan, Buteng dan Busel. Ironisnya, yang lahir lebih awal justru Kolaka Timur, dan Konawe Kepulauan.

Tak pelak hal tersebut langsung melahirkan reaksi dari masyarakat Sampolawa, Siompu dan Siompu Barat yang menyegel sejumlah fasilitas pemerintah setempat yang membuat layanan pemerintahan sempat lumpuh. Menyusul kemudian Batauga. Walaupun kemudian pelayanan kembali normal.

Perlu diketahui, polemik pemekaran di Buteng soal ibukota sudah coba diselesaikan. Caranya dengan menunjuk Lakudo sebagai ibukota.

Hambatan pemekaran di Busel menurut Bupati Buton, Umar Samiun sudah pula dituntaskan. Dijelaskan, persoalan aset sudah selesai sejak April lalu. Ketua PAN Buton ini mengatakan masalah aset sudah sampai di dewan. Jadi "bola panas" itu kini berada di DPRD. Bahkan suksesor Sjafei Kahar ini menyatakan pihaknya sejak awal komitmen dengan pemekaran.

Walau demikian, emosi masyarakat masih sempat tersulut. Menariknya, pihak esksekutif selalu dijadikan kambing hitam. Terbukti dengan penyegelan sejumlah fasilitas pemerintah.

Namun begitu, secercah harapan kini dimunculkan pihak legislatif. Wakil Ketua DPRD Buton, Saleh Ganiru telah bertemu dengan pihak Komisi II DPR RI di Senayan. Dia menyatakan nasib Buteng dan Busel akan ditentukan Agustus, bulan depan.

Apakah status Buteng dan Busel berubah atau tidak, semuanya tergantung pada usaha yang maksimal dari semua pihak. Bukan hanya pemerintah dan legislatif, tapi juga masyarakat. Dengan begitu, perasaan "kebelet mekar" masyarakat di dua daerah tersebut bisa tersalurkan. (Follow twitter: @irwansyahamunu)

Vonis 20 Tahun dan Rasa Keadilan

PEKAN lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Baubau telah memutuskan 20 tahun penjara bagi Wa Ode Aminah. Pembunuh Arnold itu terbukti secara sah dan meyakinkan membunuh suaminya sendiri sekitar setahun lalu di Pasar Wameo.

Sontak putusan tersebut membuat ibu dan istri pertama alharhum pingsan. Sebab keduanya mengharapkan agar Aminah divonis hukuman mati atau seumur hidup.

Ya, mereka menilai hukuman mati atau seumur hidup memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut dengan melihat kenyataan, Arnold tewas dengan cara mengenaskan, tubuhnya dimutilasi. Penilaiannya, satu nyawa yang melayang tidak bisa ditukar dengan 20 tahun penjara. Satu nyawa tidak setara dengan 20 tahun.

Meneropong putusan PN Baubau beberapa tahun terakhir, tampaknya 20 tahun penjara merupakan vonis tertinggi majelis hakim. Walau kasusnya tergolong sadis dan menyita perhatian publik, 20 tahun merupakan pilihan terakhir.

Secara teori, fungsi hukum positif salah satunya adalah mencegah orang lain untuk tidak melakukan kejahatan. Tentu keengganan berbuat disebabkan oleh kekhawatiran hukuman yang bakal dijatuhkan bila mereka berbuat kejahatan serupa. Namun jika putusan yang dijatuhkan tidak memenuhi fungsi hukum tersebut, maka bisa dipastikan kejatahan serupa bakal kembali terulang.

Parahnya kalau hal tersebut juga menginspirasi orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Jangan heran, acap kali kita temukan di masyarakat karena ketidak percayaan terhadap hukum, masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menghukumi pelaku kriminal yang di tangkap tangan. Masyarakat main hakim sendiri.

Fenomena tersebut menggejala di masyarakat. Alhasil, kejahatan dari aspek kuantitas dan kualitasnya terus meningkat. Seolah hukum tidak bisa membuat tobat pelakunya dan orang lain untuk bebuat pelanggaran hukum.

Maka itu, hendaknya majelis hakim menimbang hal tersebut salah satu dasar untuk menjatuhkan putusan. Dengan demikian rasa keadilan bisa dipenuhi. Pada akhirnya hukum bisa berfungsi preventif, mencegah orang lain berbuat kejahatan.

Bila tidak, rasa keadilan bakal menjadi barang langka. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum positif semakin menipis, sebaliknya kepercayaan terhadap hukum Islam kian menebal.(Follow twitter: @irwansyahamunu)

Senin, 08 Juli 2013

Puasa kenapa Beda?

Catatan: Irwansyah Amunu


TIDAK terasa, kaum muslim di seantero dunia termasuk Baubau akan melaksanakan ibadah puasa Ramadan 1434 H, pekan ini. Hanya saja ketika bertanya kapan dimulainya shaum Ramadan, maka jawabannya pasti akan beragam.

Sungguh ironis. Suatu ibadah ritual yang tiap tahun dilakukan umat Nabi Muhammad namun masih harus beda. Hal itu pun terjadi pada tahun ini.

Terbukti kelompok Naksabandiyah di Padang, Sumbar sudah mulai salat Tarwih Sabtu (6/7) malam. Kemarin, mereka telah menunaikan puasa. Jadi, hari ini bilangan puasanya dua. Mereka memulai puasa berdasarkan kalender turun temurun yang diyakini.

Sementara umat muslim lainnya belum memulai puasa. Ormas Islam seperti Muhammadiyah misalnya, sejak pekan lalu sudah mengumumkan 1 Ramadan jatuh pada besok hari. Mereka memulai puasa berdasarkan hisab, atau hitungan.

Beda dengan Pemerintah melalui Kementerian Agama belum memutuskan kapan dimulainya puasa. Sebab, institusi yang dipimpin Surya Dharma Ali ini biasanya menentukan 1 Ramadan melalui sidang isbat. Dasarnya dengan melakukan pengamatan disejumlah titik di Indonesia memantau kemunculan hilal atau Bulan sabit.

Sayangnya kendati hal tersebut dilakukan, namun polemik perbedaan awal dan akhir Ramadan masih tetap terbuka. Jangan heran, dengan nada apatis, masyarakat mengatakan kalau salah memulai atau mengakhiri Ramadan, biar pemerintah saja yang tanggung dosanya.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, mungkinkah menyatukan dimulainya puasa? Jawabannya, mungkin, pasti bisa dilakukan.

Harus diketahui, Bulan di dunia ini cuma satu. Tidak ada Bulannya orang Arab, Indonesia, Malaysia, China, Inggris, Yordania, Amerika atau Mesir. Bulan di dunia ini cuma satu. Apalagi secara astronomi antara satu negara dengan negara lainnya di dunia ini tidak terjadi perbedaan hari. Yang ada hanyalah perbedaan waktu, bukan hari.

Dengan demikian kalau penentuan awal dan akhir Ramadan ditentukan berdasarkan hilal, maka bisa dipastikan tidak ada lagi perbedaan memulai puasa. Dengan catatan, bila ada negeri kaum muslim tidak melihat hilal, dan dikabari negeri kaum muslim lainnya, wajib bagi mereka memulai puasa. Apalagi sekarang dengan kecanggihan teknologi dan teknologi informasi, hal tersebut mudah dilakukan.

Jangan menggunakan alibi bahwa negara mereka tidak melihat hilal sehingga menunda memulai puasa. Karena bila ditunda, pasti akan terjadi kesalahan dalam memulai puasa. Sebab bila nanti keesokan harinya puasa dimulai, pastilah Bulan sudah tinggi. Dan kita pasti telat memulai puasa.

Untuk mengingatkan, almanak Hijriah mengacu pada peredaran Bulan. Pergantian hari berlaku setiap petang atau waktu Magrib. Beda dengan penanggalan Masehi, mengacu pada peredaran Matahari,  perubahan hari setiap pukul 00.00 tengah malam.

Saya sering katakan: Bulan memang tidak punya mulut, bulan tidak bisa ngomong, tapi bulan tidak bisa bohong. Jadi, ketika telat memulai atau mengakhiri Ramadan, kontrolnya ada di Bulan. Posisi Bulan sudah tinggi.

Lantas, apakah yang menjadikan perbedaan memulai dan mengakhiri Ramadan? Yang paling fundamental adalah faktor nasionalisme. Karena alasan Indonesia belum melihat hilal kita belum puasa.

Padahal, bila kita tak melihat Bulan, dan negeri-negeri di Arab melihatnya, mestinya kita lebih awal memulai puasa. Kenapa, karena antara mereka dengan kita cuma terjadi beda waktu sekitar lima sampai enam jam. Bukan beda hari. Dan kita lebih awal.

Nah, berdarkan fakta ini masihkah kita mau berbeda dalam menentukan awal dan akhir Ramadan? (Follow twitter: @irwansyahamunu)

Puasa dengan Keprihatinan

PUASA kali ini bakal dijalani berbeda oleh warga, khususnya kaum Muslim. Mengapa? Karena kita telah "dihadiahi" kenaikan harga BBM oleh pemerintah.

Kontan saja puasa bakal dijalani dengan keprihatinan. Pasalnya, di tengah lemahnya daya beli masyarakat, BBM dinaikkan. Suatu kebijakan yang tak berpihak ke rakyat.

Rakyat hanya diberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) senilai Rp 150 ribu sebulan. Penerimaan perdana, diberikan untuk dua bulan, Rp 300 ribu.

Mungkinkah dengan uang sebanyak Rp 300 ribu bisa menangkal dampak kenaikan BBM yang langsung mengerek kenaikan semua komuditas? Mustahil. Sebab dana tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kurang dari seminggu.
Padahal, kenaikan harga BBM akan berlaku terus menerus. Harga komuditas yang terlanjur naik, tidak mungkin turun lagi.

Persoalan lain, masih banyak warga miskin yang tidak tersentuh BLSM. Sebab, kenaikan BBM langsung menambah orang miskin baru. Sementara, rumah tangga sasaran (RTS) secara nasional hanya dibatasi 15,5 juta.

Jangan heran, bila disejumlah daerah, warga miskin yang tidak tersentuh BLSM langsung mencak-mencak mendatangi pemerintah daerah setempat. Seperti yang terjadi di Kantor Kelurahan Kaobula, Kecamatan Batupoaro, Kota Baubau, Sultra.

Nah, ditengah suasana keprihatinan tersebut, umat muslim bakal melakukan puasa Ramadan. Tak pelak, Ramadan kali ini akan dijalani dengan penuh keprihatinan.

Pendek kata, "hadiah" Ramadan yang diberikan pemerintah melalui kenaikan harga BBM,  sungguh terlalu. (Follow twitter: @irwansyahamunu)

Senin, 01 Juli 2013

"Bom Waktu" BLSM

HINGGA kini Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di jazirah Buton Raya belum juga disalurkan. Mengantisipasi kemungkinan negatif terkait peluang masyarakat miskin yang tidak tercantum namanya dalam data rumah tangga sasaran (RTS) penerima BLSM, pihak Kantor Pos Indonesia Cabang Baubau telah berkoordinasi dengan sejumlah pemerintah daerah setempat.

Bahkan Kepala Kantor Pos Indonesia Cabang Baubau, Saharudin SE telah buru-buru mengatakan agar masyarakat tidak menuntut kepada pihaknya bila tidak mendapatkan BLSM. Ungkapan ini bisa diterjemahkan sebagai bentu antisipasi terhadap "bom waktu" yang tersimpan dalam program kompensasi pengurangan subsidi BBM ini.

Inilah problem yang kurang dihitung pihak Pemerintah Pusat ketika menaikkan harga BBM. Sebab kebijakan tersebut langsung berimbas kepada pemerintah daerah setempat. Resikonya akan langsung dirasakan pihak Pemerintah Kabupaten/kota sebagai otoritas yang bersentuhan dengan masyarakat.

Apalagi, program BLSM tidak menyentuh seluruh rumah tangga miskin (RTM). Sebab dananya hanya diperuntukkan bagi sekitar 15,5 juta warga. Padahal, angka kemiskinan lebih tinggi dari bilangan tersebut. Belum lagi jumlah orang miskin baru yang lahir dengan kebijakan menaikkan harga BBM.

Maka itu, "bom waktu" BLSM ini merupakan keniscayaan.

Lantas bagaimana cara mengatasi letupan amarah masyarakat yang tidak puas? Satu-satunya jurus yang bisa diambil adalah dengan melakukan defensif apologetik. Seperti yang dilakukan pihak PT Pos dengan menyebut pemerintah daerah setempat, level camat dan lurah.

Lalu kalau camat dan lurah didatangi warganya, apa argumentasinya? Pastilah yang dilakukan "bersilat lidah" dengan menimpakan kesalahan kepada pemerintah pusat.

Alhasil rakyat bisa apa?  Rakyat hanya bisa "gigit jari" seraya pasrah melihat melonjaknya semua harga komuditas.(follow twitter: @irwansyahamunu)

"Jual Diri" ala Bacaleg

Catatan: Irwansyah Amunu



STIKER, poster, dan baliho bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) mulai mengotori wajah Kota Baubau. Baru beberapa bulan Baubau bisa "bernafas lega" dari serbuan pernak-pernik serupa terkait Pilwali, kali ini wajah Kota Semerbak kembali tak beraturan.

Gambar-gambar sejumlah Bacaleg yang "jual diri" berharap bisa dipilih dalam pesta demokrasi 9 April 2013 nanti ini memang bukan hanya di Baubau. Karena musim Pemilu Legislatif (Pileg) berlaku nasional, maka gambaran serupa berlaku umum di seluruh Indonesia.

Hanya saja, yang menjadi kritikan, mengapa pemandangan itu merupakan tradisi seremoni lima tahunan terus-menerus miskin kreasi dan inovasi. Apa yang bisa diukur rakyat dari gambar wajah, nama, Parpol, dan nomor urut dialat peraga kampanye tersebut? Tidak ada, selain informasi bahwa orang tersebut merupakan salah satu Bacaleg.

Tidak bisa berpengaruh terhadap elektabilitas. Tidak bisa memancing selera pemilih untuk mengunci pilihannya dengan melihat seabrek gambar bertebaran di pingggir jalan, rumah, pagar, bahkan tempat terlarang yang seyogyanya tidak bisa dimasuki seperti fasilitas pemerintah dan rumah ibadah.

Apalagi, dalam media kampanye tersebut rata-rata tidak disertakan visi misi, dan program yang hendak diberikan kepada masyarakat. Hal ini semakin membuat alat peraga tersebut terasa hambar, sia-sia belaka. Bahkan yang lebih banyak muncul dampak negatifnya, mengotori pemandangan kota.

Hitung saja, untuk Baubau, jumlah Bacaleg yang maju di tiga daerah pemilihan (Dapil) sekitar 300-an. Di tingkat provinsi, Dapil Sultra III (Buton, Baubau, dan Wakatobi) sekitar 130-an. Di Senayan, kurang lebih 60 orang. Belum lagi dengan Balon anggota DPD jumlahnya puluhan. Praktis untuk Baubau saja 500 lebih.

Nah, bayangkan bila 500 lebih tersebut masing-masing membuat alat peraga. Belum lagi, dari sekarang menuju hari H coblosan, masih makan waktu lama, sekitar 10 bulan lagi. Sudah bisa dipastikan paras Baubau akan kehilangan kecantikannya.

Melihat kenyataan ini sudah sepatutnya dipikirkan untuk membuat regulasi yang ketat bagi Bacaleg. Toh nantinya mereka akan menjadi anggota dewan yang terhormat, mestinya sejalan dengan itu melakukan cara terhormat pula untuk bisa dipilih. Bukan dengan cara yang merusak pemandangan kota.

Misalnya, dengan membuat lokasi khusus untuk pemasangan pernak pernik kampanye. Kemudian, tindak tegas harus diambil terhadap siapa saja yang melanggar. Sebab, jika kelonggaran diberikan, pastilah dampaknya seperti sekarang. Apalagi ditambah dengan tidak ada regulasi yang jelas. Membuat seolah-olah setiap inci tanah di Kota Baubau layak untuk dipasangi alat peraga kampanye.

Terbukti sekarang, apa yang bisa dilakukan aparat? Seperti biasa, hanya bisa mengelus dada. Pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa.

Maka itu, melalui momentum ini mestinya Bacaleg melakukan perubahan fundamental dalam "jual diri". Kalau mereka sudah memiliki dasar yang kuat di masyarakat, stiker, poster, dan baliho bukanlah pilihan pertama. Yang terpenting, bagaimana cara "mencuri" hati rakyat dengan program yang nyata bagi konstituen.

Bukan mendekati rakyat sekali dalam lima tahun. Bukan mendekati rakyat hanya kalau ada maunya. Bukan mendekati rakyat cuma bila ingin dipilih jadi wakil rakyat.

Kalau cara itu yang dilakukan, yakinlah kalaupun terpilih jadi wakil rakyat, umurnya pendek. Lima tahun berikutnya, anda pasti akan terdepak, dari wakil rakyat, menjadi rakyat kembali.

Jadi, jangan heran kalau kecenderungan pemilih selalu tertuju kepada figur baru, bukan incumbent. Mengapa? Karena satu periode di dewan, bisa menunjukkan warna asli para legislator. Antar janji dan realisasi terlalu lebar deviasi.

Diperparah lagi, bila hubungannya dengan konstituen hanya bersifat transaksional. Tergantung dari besarnya "gizi" yang diberikan kepada pemilih melalui serangan fajar. Pastilah hal ini akan membuat ikatan batin antara wakil rakyat dan rakyat, lemah. Hubungannya bersifat instan, bukan ideologis.   

Alhasil, pemilih sekarang sudah cerdas. Terbukti, setiap kali pesta demokrasi kecenderungan peningkatan angka golongan putih (Golpot) semakin tinggi. Jangan sampai "jual diri" ala Bacaleg yang dilakukan sekarang tidak laku, tidak dibeli, alias tidak dipilih.(follow twitter: @irwansyahamunu)