Senin, 08 Juli 2013

Puasa kenapa Beda?

Catatan: Irwansyah Amunu


TIDAK terasa, kaum muslim di seantero dunia termasuk Baubau akan melaksanakan ibadah puasa Ramadan 1434 H, pekan ini. Hanya saja ketika bertanya kapan dimulainya shaum Ramadan, maka jawabannya pasti akan beragam.

Sungguh ironis. Suatu ibadah ritual yang tiap tahun dilakukan umat Nabi Muhammad namun masih harus beda. Hal itu pun terjadi pada tahun ini.

Terbukti kelompok Naksabandiyah di Padang, Sumbar sudah mulai salat Tarwih Sabtu (6/7) malam. Kemarin, mereka telah menunaikan puasa. Jadi, hari ini bilangan puasanya dua. Mereka memulai puasa berdasarkan kalender turun temurun yang diyakini.

Sementara umat muslim lainnya belum memulai puasa. Ormas Islam seperti Muhammadiyah misalnya, sejak pekan lalu sudah mengumumkan 1 Ramadan jatuh pada besok hari. Mereka memulai puasa berdasarkan hisab, atau hitungan.

Beda dengan Pemerintah melalui Kementerian Agama belum memutuskan kapan dimulainya puasa. Sebab, institusi yang dipimpin Surya Dharma Ali ini biasanya menentukan 1 Ramadan melalui sidang isbat. Dasarnya dengan melakukan pengamatan disejumlah titik di Indonesia memantau kemunculan hilal atau Bulan sabit.

Sayangnya kendati hal tersebut dilakukan, namun polemik perbedaan awal dan akhir Ramadan masih tetap terbuka. Jangan heran, dengan nada apatis, masyarakat mengatakan kalau salah memulai atau mengakhiri Ramadan, biar pemerintah saja yang tanggung dosanya.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, mungkinkah menyatukan dimulainya puasa? Jawabannya, mungkin, pasti bisa dilakukan.

Harus diketahui, Bulan di dunia ini cuma satu. Tidak ada Bulannya orang Arab, Indonesia, Malaysia, China, Inggris, Yordania, Amerika atau Mesir. Bulan di dunia ini cuma satu. Apalagi secara astronomi antara satu negara dengan negara lainnya di dunia ini tidak terjadi perbedaan hari. Yang ada hanyalah perbedaan waktu, bukan hari.

Dengan demikian kalau penentuan awal dan akhir Ramadan ditentukan berdasarkan hilal, maka bisa dipastikan tidak ada lagi perbedaan memulai puasa. Dengan catatan, bila ada negeri kaum muslim tidak melihat hilal, dan dikabari negeri kaum muslim lainnya, wajib bagi mereka memulai puasa. Apalagi sekarang dengan kecanggihan teknologi dan teknologi informasi, hal tersebut mudah dilakukan.

Jangan menggunakan alibi bahwa negara mereka tidak melihat hilal sehingga menunda memulai puasa. Karena bila ditunda, pasti akan terjadi kesalahan dalam memulai puasa. Sebab bila nanti keesokan harinya puasa dimulai, pastilah Bulan sudah tinggi. Dan kita pasti telat memulai puasa.

Untuk mengingatkan, almanak Hijriah mengacu pada peredaran Bulan. Pergantian hari berlaku setiap petang atau waktu Magrib. Beda dengan penanggalan Masehi, mengacu pada peredaran Matahari,  perubahan hari setiap pukul 00.00 tengah malam.

Saya sering katakan: Bulan memang tidak punya mulut, bulan tidak bisa ngomong, tapi bulan tidak bisa bohong. Jadi, ketika telat memulai atau mengakhiri Ramadan, kontrolnya ada di Bulan. Posisi Bulan sudah tinggi.

Lantas, apakah yang menjadikan perbedaan memulai dan mengakhiri Ramadan? Yang paling fundamental adalah faktor nasionalisme. Karena alasan Indonesia belum melihat hilal kita belum puasa.

Padahal, bila kita tak melihat Bulan, dan negeri-negeri di Arab melihatnya, mestinya kita lebih awal memulai puasa. Kenapa, karena antara mereka dengan kita cuma terjadi beda waktu sekitar lima sampai enam jam. Bukan beda hari. Dan kita lebih awal.

Nah, berdarkan fakta ini masihkah kita mau berbeda dalam menentukan awal dan akhir Ramadan? (Follow twitter: @irwansyahamunu)