Senin, 01 Juli 2013

"Jual Diri" ala Bacaleg

Catatan: Irwansyah Amunu



STIKER, poster, dan baliho bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) mulai mengotori wajah Kota Baubau. Baru beberapa bulan Baubau bisa "bernafas lega" dari serbuan pernak-pernik serupa terkait Pilwali, kali ini wajah Kota Semerbak kembali tak beraturan.

Gambar-gambar sejumlah Bacaleg yang "jual diri" berharap bisa dipilih dalam pesta demokrasi 9 April 2013 nanti ini memang bukan hanya di Baubau. Karena musim Pemilu Legislatif (Pileg) berlaku nasional, maka gambaran serupa berlaku umum di seluruh Indonesia.

Hanya saja, yang menjadi kritikan, mengapa pemandangan itu merupakan tradisi seremoni lima tahunan terus-menerus miskin kreasi dan inovasi. Apa yang bisa diukur rakyat dari gambar wajah, nama, Parpol, dan nomor urut dialat peraga kampanye tersebut? Tidak ada, selain informasi bahwa orang tersebut merupakan salah satu Bacaleg.

Tidak bisa berpengaruh terhadap elektabilitas. Tidak bisa memancing selera pemilih untuk mengunci pilihannya dengan melihat seabrek gambar bertebaran di pingggir jalan, rumah, pagar, bahkan tempat terlarang yang seyogyanya tidak bisa dimasuki seperti fasilitas pemerintah dan rumah ibadah.

Apalagi, dalam media kampanye tersebut rata-rata tidak disertakan visi misi, dan program yang hendak diberikan kepada masyarakat. Hal ini semakin membuat alat peraga tersebut terasa hambar, sia-sia belaka. Bahkan yang lebih banyak muncul dampak negatifnya, mengotori pemandangan kota.

Hitung saja, untuk Baubau, jumlah Bacaleg yang maju di tiga daerah pemilihan (Dapil) sekitar 300-an. Di tingkat provinsi, Dapil Sultra III (Buton, Baubau, dan Wakatobi) sekitar 130-an. Di Senayan, kurang lebih 60 orang. Belum lagi dengan Balon anggota DPD jumlahnya puluhan. Praktis untuk Baubau saja 500 lebih.

Nah, bayangkan bila 500 lebih tersebut masing-masing membuat alat peraga. Belum lagi, dari sekarang menuju hari H coblosan, masih makan waktu lama, sekitar 10 bulan lagi. Sudah bisa dipastikan paras Baubau akan kehilangan kecantikannya.

Melihat kenyataan ini sudah sepatutnya dipikirkan untuk membuat regulasi yang ketat bagi Bacaleg. Toh nantinya mereka akan menjadi anggota dewan yang terhormat, mestinya sejalan dengan itu melakukan cara terhormat pula untuk bisa dipilih. Bukan dengan cara yang merusak pemandangan kota.

Misalnya, dengan membuat lokasi khusus untuk pemasangan pernak pernik kampanye. Kemudian, tindak tegas harus diambil terhadap siapa saja yang melanggar. Sebab, jika kelonggaran diberikan, pastilah dampaknya seperti sekarang. Apalagi ditambah dengan tidak ada regulasi yang jelas. Membuat seolah-olah setiap inci tanah di Kota Baubau layak untuk dipasangi alat peraga kampanye.

Terbukti sekarang, apa yang bisa dilakukan aparat? Seperti biasa, hanya bisa mengelus dada. Pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa.

Maka itu, melalui momentum ini mestinya Bacaleg melakukan perubahan fundamental dalam "jual diri". Kalau mereka sudah memiliki dasar yang kuat di masyarakat, stiker, poster, dan baliho bukanlah pilihan pertama. Yang terpenting, bagaimana cara "mencuri" hati rakyat dengan program yang nyata bagi konstituen.

Bukan mendekati rakyat sekali dalam lima tahun. Bukan mendekati rakyat hanya kalau ada maunya. Bukan mendekati rakyat cuma bila ingin dipilih jadi wakil rakyat.

Kalau cara itu yang dilakukan, yakinlah kalaupun terpilih jadi wakil rakyat, umurnya pendek. Lima tahun berikutnya, anda pasti akan terdepak, dari wakil rakyat, menjadi rakyat kembali.

Jadi, jangan heran kalau kecenderungan pemilih selalu tertuju kepada figur baru, bukan incumbent. Mengapa? Karena satu periode di dewan, bisa menunjukkan warna asli para legislator. Antar janji dan realisasi terlalu lebar deviasi.

Diperparah lagi, bila hubungannya dengan konstituen hanya bersifat transaksional. Tergantung dari besarnya "gizi" yang diberikan kepada pemilih melalui serangan fajar. Pastilah hal ini akan membuat ikatan batin antara wakil rakyat dan rakyat, lemah. Hubungannya bersifat instan, bukan ideologis.   

Alhasil, pemilih sekarang sudah cerdas. Terbukti, setiap kali pesta demokrasi kecenderungan peningkatan angka golongan putih (Golpot) semakin tinggi. Jangan sampai "jual diri" ala Bacaleg yang dilakukan sekarang tidak laku, tidak dibeli, alias tidak dipilih.(follow twitter: @irwansyahamunu)