Kamis, 15 Maret 2012

Buton Raya Spring


Catatan: Irwansyah Amunu


JUMAT (9/3) lalu, saya melakukan perjalanan melelahkan ke Jakarta. Menggunakan pesawat pagi, saya tiba di sana nyaris pukul 11.00 WIB.

Keluar dari Bandara Soekarno-Hatta hingga ke lokasi tujuan di Cibubur, banyak baliho, stiker, dan pernak-pernik Pilgub DKI Jakarta menghiasi wajah ibukota. Termasuk ketika saya menyusuri Kantor KPU DKI Jakarta.

Jakarta memang dalam suasana Pilgub. Kondisi yang sama dengan Kota Baubau, dan Kabupaten Buton. Dua daerah yang menjadi inti politik di jazirah Buton Raya.

Keduanya pun sama, pasti akan melahirkan kepala daerah baru. Soalnya Walikota Baubau, Amirul Tamim dan Bupati Buton, Sjafei Kahar telah dua periode menjabat. Tidak bisa lagi maju untuk kali ketiga.

Bedanya, kalau rakyat Buton melakukan kocok ulang karena hasil Pilbup 4 Agustus silam dianulir MK, Baubau tidak. Agenda Pemungutan Suara Ulang (PSU) Buton, 15 Juli, sedangkan Pilwali kemungkinan bersamaan dengan Pilgub Sultra, 4 November.

Saya melihat karena faktor tidak ada incumbent inilah yang membuat cuaca politik di Baubau dan Buton, memanas. Salah satu buktinya, Pilbup Buton berujung PSU. Korban yang jatuh pun banyak, diantaranya semua Komisioner KPU Buton dipecat dengan tidak hormat. La Biru, La Ode Endang, Abdul Salam, Sumarno, dan Agus Salim diberhentikan sebelum waktunya.

Akibatnya, Nasruan mengambil alih tampuk kepemimpinan di Buton sebagai pejabat bupati karena belum ada bupati definitif yang dihasilkan Pilbup.

Saya melihat hal tersebut terjadi karena kerasnya gesekan pesta demokrasi. Walaupun jadwalnya berlangsung secara alami, namun benturan politiknya sangat luar bisa kerasnya. Kendati incumbent tidak ada, tapi secara terselubung perannya cenderung condong kepada salah satu figur pewaris takhta.

Dari sudut pandang politik hal tersebut tidak salah. Semua warga negara punya hak yang sama, dengan catatan memenuhi syarat untuk maju sebagai kandidat kepala daerah.

Sayangnya hal ini menjadi salah satu faktor yang menimbulkan resistensi bagi kandidat lain. Terlepas dari plus minusnya kandidat tersebut.

Inilah menjadikan suasana Buton Raya Spring semakin terasa. Ya, musim semi politik di Buton dan Baubau. Sekarang, seolah semua dinamika dimaknai sebagai sesuatu yang tidak luput dari interest dan intrik politik.

Pertanyaannya sekarang, dari semua itu, apakah keinginan rakyat sudah terpenuhi? Mungkinkah hiruk pikuk politik yang terjadi dapat merubah nasib mereka? Apakah proses suksesi kepemimpinan dapat membuat kenyang perut rakyat?

Banyak pertanyaan yang perlu dijawab untuk mendekatkan harapan rakyat terhadap pemimpinnya. Kalau mau jujur, diantara aneka pertanyaan yang muncul, harapan rakyat cuma satu, kesejahteraan. Lebih rinci, lapangan kerja terbuka, perut tidak lapar lagi, kebutuhan pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan terpenuhi, dan masa depannya cerah.

Figur yang mampu mewujudkan hal tersebut pasti lebih diinginkan rakyat. Siapa pun dia. Bahkan dari latar belakang apa pun ia. Rakyat membutuhkan pemimpin seperti itu, ketimbang figur yang hanya mampu memberikan "angin surga", namun programnya sulit terealisasi. Ketimbang program yang hanya menjadi lipstik politik, melangit, berangan-angan tinggi, tidak membumi sesuai realitas kebutuhan masyarakat. Kasihan rakyat, sampai kapan dibodohi, harus melarat seraya mengutuk nasib yang tak kunjung berubah.

Rakyat butuh figur pemimpin yang mampu melakukan edukasi, representasi, artikulasi, dan agregasi hak-hak mereka. Dengan demikian, mereka tidak merasa sunyi dalam keramaian. Namun sebaliknya, menikmati berkah politik yang bertujuan untuk mengatur dan mengurusi semua kebutuhannya agar terpenuhi.

Walhasil, siapakah yang bakal dipilih rakyat dalam Buton Raya Spring di Buton, 15 Juli, dan Baubau, 4 November nanti? Kita tunggu.(one.radarbuton@gmail.com)