Senin, 19 Maret 2012

Sensasi Empat Dimensi


Catatan: Irwansyah Amunu



BELUM lama ini, saya melakukan roadshow di empat daerah di jazirah Buton Raya. Terdiri dari, Wakatobi, Buton, Butur, dan Muna. Dari kunjungan tersebut saya bisa merasakan sensasi empat dimensi.

Kendati seluruhnya sama, daerah otonom berstatus kabupaten, namun masing-masing memiliki karakter berbeda. Hal tersebut terpola berdasarkan kondisi geografis masing-masing wilayah, dan kejelian sang kepala daerah dalam memanfaatkan potensi yang dimilikinya.

Saya mengawali roadshow di Wakatobi. Karena ingin menghemat waktu, saya ke Kepulauan Tukang Besi tersebut menggunakan "kapsul besi". Butuh waktu 25 menit untuk sampai ke Wangiwangi, sebelumnya kalau naik kapal selama 9-10 jam. Suatu penghematan waktu yang sangat luar biasa.

Tarifnya pun cukup terjangkau, hanya sekitar Rp 200 ribu, sementara bila naik kapal, Rp 130 ribu. Selisih Rp 70 ribu tapi waktu diperpendek sampai sembilan jam lebih.

Menariknya, saat mengudara menuju Bandara Matahora, Wakatobi, kita melintas di atas pelangi. Pemandangan yang baru pertama kali saya alami. Saking tidak percaya dengan fenomena alam tersebut, saya menanyakan kepada penumpang yang duduknya berada tepat di belakangku. Dia membenarkan.

Bukan itu saja, panorama alam Wakatobi dari atas sangat eksotis, membuat kita tidak sabar untuk menikmatinya secara langsung. Pepohonan hijau, laut biru, dan pasir putihnya sangat menggoda.

Sayangnya, pemandangan dari langit tersebut laksana fatamorgana. Tiba di Wangiwangi, saya melintasi jalan yang belum teraspal. Taksi yang saya tumpangi meliuk-liuk di jalan menghindari jalan berlubang, dan mencari badan jalan yang baik diantara jalan yang belum tersentuh aspal. Ingatan saya langsung menerawang kecelakaan lalulintas yang dialami mobil dinas Ketua DPRD Wakatobi, beberapa waktu lalu. Korbannya, satu orang tewas dan beberapa lainnya harus dirawat di RSUD. Dalam hati saya, pantas saja Lakalantas itu terjadi.

Tidak berhenti sampai di situ, di pinggir jalan ada bangunan sekolah yang konon bertaraf internasional, namun kondisinya tidak sesuai namanya. Lebih parah lagi, ketika berada di dalam Kota Wangiwangi kondisi jalannya memprihatinkan. Kata teman, karena menghindari jalan buruk yang berlubang, kerap kali terjadi Lakalantas. Kasihan sekali.

Belakangan, jalan itulah yang menjadi sasaran unjuk rasa beberapa demonstran. Sebab direncanakan bakal dihotmiks, namun belum terealisasi. Semoga momentum MTQ tingkat provinsi ke-24 yang bakal digelar di daerah bermoto Surga Nyata di Bawah Laut ini akan merubah sejumlah infrastruktur tadi layaknya surga bagi kafilah dari 12 kabupaten/kota di Sultra.

Dari Wakatobi, saya melanjutkan perjalanan ke Butur menggunakan kapal. Berangkat pukul 10.00 Wita, tiba di Dermaga Sara Ea, Butur pukul 15.30 Wita.

Untuk Butur, saya angkat topi. Meski tergolong daerah yang paling bungsu di jazirah Buton Raya, namun perkembangnya pesat. Dari dermaga ke pusat kota, kita melewati jalan yang teraspal mulus. Sejumlah infrastruktur pemerintahan juga terlihat megah.

Teman yang mengantar dengan bangga memperlihatkan bangunan RSUD Butur. Megah. Apalagi itu baru bagian kecilnya, karena rencananya disekitarnya bakal dibangun ruang perawatan lainnya. Fantastis.

Di dalam kota, jalannya pun lebar. Kendati baru sepintas, saya menangkap kesan positif di Butur. Walaupun jaringan komunikasi telepon seluler masih menjadi kendala. Namun demikian, sudah ada tower BTS yang sementara di bangun. Tidak salah bila daerah yang dipimpin Ridwan Zakariah ini disiapkan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Porda ke-13.

Dari Butur, pagi hari saya menggunakan mobil untuk kembali ke Baubau. Karena kelelahan, saya memanfaatkan perjalanan balik ini untuk istirahat. Menariknya, di tengah perjalanan ada salah seorang penumpang yang bertanya ke sopir,"Apakah ini sudah masuk Buton." Karena harus berjibaku menantang medan berat, sang sopir tidak menjawab, dia hanya menganggukan kepala pertanda benar.

Inilah "PR" yang harus diselesaikan. Akses jalan di daerah perbatasan Butur-Buton perlu mendapat sentuhan. Termasuk di Lasalimu, Lasalimu Selatan, dan Kapontori.

Betapa tidak, tiba di Baubau, akibat "ombak darat" yang begitu kencang, membuat kepalaku pening. Nyaris tidak masuk kantor.

***

Sepekan setelah ke Wakatobi dan Butur, saya melanjutkan perjalanan ke Raha. Miris juga hati saya, karena belum banyak perubahan di daerah yang dipimpin dr Baharuddin ini. Namun demikian, direncanakan Raha menjadi tuan rumah HUT Sultra pada April nanti. Semoga hajatan ini mampu menyihir wajah Kota Raha. Sebab dengan momentum yang sama, tahun lalu Pemkot Baubau menggunakan penyelenggaraan HUT Sultra di Kota Semerbak untuk menyulap Kotamara. Hasilnya, sesuai harapan.

Itulah sensasi empat dimensi di masing-masing kabupaten di jazirah Buton Raya. Tiga diantaranya bakal menjadi tuan rumah hajatan level provinsi. Muna (penyelenggaraan HUT Sultra), Butur (Porda), dan Wakatobi (MTQ). Buton kehilangan momentum karena sementara mengalami transisi politik menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang (PSU), 15 Juli nanti. Bila tidak, saya yakin daerah yang dipimpin Nasruan ini mampu menjadi event organiser (EO) untuk salah satu hajatan.

Sepenggal asa bergelayut di hati, jazirah Buton Raya tidak bisa di pandang sebelah mata. Terlepas dari sisi positif dan negatif masing-masing. Semoga.(one.radarbuton@gmail.com)