Selasa, 08 Mei 2012

Pilkada Ulang Pilkada


Catatan: Irwansyah Amunu

SABTU (19/5) pekan depan, rakyat Buton akan kembali memilih pemimpin baru. Setelah sebelumnya hasil Pilkada 4 Agustus 2011 silam yang memenangkan pasangan Agus Feisal-Yaudu Salam Adjo (AYO) dianulir Mahkamah Konstitusi (MK).

Sayangnya, sebelum Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang rencanannya digelar 11 hari lagi, masih banyak suara sumbang dari sejumlah pihak terkait hasil pleno KPU Buton yang melahirkan tujuh pasang calon: Yasin Welson-Abdul Rahman, AYO, IMAM SALEH, MANDIRI, Oemar-Bakrie, Gema Azan, dan Uku-Dani.

Setidaknya tiga orang yang sudah berencana menggugat, Tamrin Tamim, Ali La Opa, dan Djaliman Madi. Pertama, Tamrin menggugat karena merasa dua partai pengusungnya, Gerindra dan PPI dalam PSU mendukung figur lain. Padahal, kedua Parpol tersebut belum menarik dukungan kepadanya. Bukan hanya dua Parpol tersebut disoal, termasuk satu lagi Parpol lagi yang telah dilaporkannya ke Polda Sultra.

Kedua, Djaliman Madi. Mantan Sekab Buton ini berencana menggugat pasca-PSU.

Ketiga, Ali La Opa. Mantan Wabup ini bahkan ancang-ancang memboikot PSU. Dia menyoal verifikasi yang dilakukan KPUD.

Jadi, siapa pun pemenang PSU, pesta demokrasi tersebut masih bakal digugat. Maka itu, di kepala kita terngiang-ngiang: Pilkada, ulang, Pilkada. Atau, ulang, Pilkada, ulang.

Pertanyannya: Kapan selesainya urusan Pilkada? Kapan Buton punya pemimpin definitif? Terpenting, kapan rakyat diperhatikan secara serius melalui sentuhan pembangunan tanpa harus diganggu dengan urusan suksesi?  

Sekadar menganalogikan, bila kita sedang berkendara di jalan, PSU ini sudah merupakan "lampu kuning" bagi penyelengara Pilkada. Betapa tidak, hanya untuk menentukan kapan jadwal PSU, kubu AYO harus menggugat kembali di MK mempertanyakan ihwal pelaksanaannya.

Tak hanya itu, efek samping PSU pun berimbas kepada Bupati Nasruan. Dua kali memutasi pegawai dengan pertimbangan profesionalitas dan efektivitas kerja birokrasi, justru "disemprit" pihak Kementerian Dalam Negeri. Padahal mutasi juga dilakukan Pejabat Bupati Bombana, Hakku Wahab. Termasuk Yusran Silondae sewaktu menjabat Pls Gubernur Sultra.

Terlepas dari itu semua, rakyat Buton tentu hanya menghendaki ketenangan. Toh, hiruk pikuk potitik tidak begitu berimbas kepada mereka secara langsung. Yang "kenyang", mungkin hanya segolongan orang, misalnya Parpol dan Tim Sukses. Kalaupun mereka diberikan sentuhan "gizi" melalui "serangan fajar" nilainya rata-rata Rp 100 ribu per satu suara, sangat tidak sebanding dengan beban hidup yang dipikul selama lima tahun. Jadi, angka Rp 100 ribu kalau dibagi lima tahun, sama dengan Rp 54,79 per hari. Karena mata uang rupiah tidak ada pecahan seperti itu, kita bulatkan saja menjadi Rp 50. Dengan uang tersebut, mau dibelikan apa? Harga gula-gula saja sekarang yang paling murah Rp 100 per biji. Sekali lagi dengan uang tersebut, mau dibelikan apa?

Bandingkan dengan Parpol dan Tim Sukses. Salah seorang teman yang gagal maju di Pilbup mengaku uangnya habis sekitar Rp 2 miliar. Hasilnya, nihil. Dia gagal bertarung di Pilkada Buton. Diakuinya, untuk diusung sejumlah Parpol, dia harus merogoh kocek dalam-dalam. Karena cost politik yang dikeluarkan untuk menggunakan Parpol berfariasi, ada yang Rp 500 juta, Rp 250 juta, atau Rp 200 juta.

Bahkan salah seorang teman yang dekat dengan salah seorang calon yang lolos mengatakan, untuk "mengamankan" pintunya, satu Parpol banderolnya Rp 1 miliar. Dana tersebut disetorkan ke DPP Parpol bersangkutan. Menurut saya, bisa jadi ada Parpol yang memasang banderol lebih tinggi.        

Tapi sudahlah, coba bandingkan, satu suara Rp 100 ribu, sedangkan untuk Parpol Rp 1 miliar. Rasionya, 1:10.000. Hanya saja, rakyat tidak mau tahu itu. Mereka hanya mau hidup tenang, perut kenyang, masa depan terang.

Apakah setelah PSU nanti masih ada kejutan? Apakah Pilkada, ulang, Pilkada, atau ulang, Pilkada, ulang? Kita lihat saja nanti.(one.radarbuton@gmail.com)