Senin, 14 Mei 2012

PSU: Ajal Demokrasi?


Catatan: Irwansyah Amunu

MINGGU ini, kita memasuki hari-hari paling menentukan bagi rakyat Buton. Sebab lima hari lagi atau Sabtu (19/5) nanti pemilih di Buton akan menyalurkan hak politiknya untuk memilih siapa yang akan memimpin Buton lima tahun mendatang.

Hajatan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Buton ini boleh dikatakan paling banyak menyerap energi. Bila dibandingkan dengan Konsel pun yang mengalami nasib sama menggelar Pilkada ulang, Buton masih lebih banyak.

Indikatornya, pertama, Konsel tidak sampai mengganti komisioner KPUD-nya, Buton semua penyelenggara Pilkadanya diganti. La Biru Cs "out" diganti La Rusuli Cs. Kedua, Konsel tak berbuntut ditunjuknya carateker bupati, Buton harus melahirkan carateker, Nasruan.

Ketiga, dana yang digelontor di Konsel lebih sedikit dibanding Buton. Pasalnya, jumlah pemilih di Buton lebih banyak, dan dari aspek geografis lebih luas. Ini mempengaruhi pundi-pundi dana yang digunakan lebih besar.

Keempat, kontestan Pilkada Buton lebih banyak dibandingkan Konsel. Dengan begitu, dana yang keluar dari kantung kandidat lebih banyak mengalir di Buton. Informasi tidak resmi yang saya peroleh dari setiap kandidat, atau orang dekat mereka, bila ditotal dananya mendekati Rp 100 miliar.

Kelima, jelang Pilkada Buton 4 Agustus 2011 silam, menelan "korban" dengan kecelakaan yang dialami helikopter milik Polda Sultra di Lakudo. Capung besi milik korps Bhayangkara tersebut jatuh ketika Polisi melakukan pemantauan lebih dekat jalannya Pilkada. Kerugiannya tentu tidak kecil.

Keenam, PSU Buton menyita perhatian Jakarta. Bukan hanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus dua kali menggelar sidang gugatan dan Kementerian Dalam Negeri juga dua kali melayangkan surat ke Bupati Nasruan. Tapi termasuk media nasional sekaliber MetroTv dua kali menayangkan acara Genta Demokrasi, dua pekan berturut-turut pula, berjudul Konspirasi dari Kendari dan Skenario Politik ala Buton.

Karena itu, jangan heran bila jelang hari H PSU, dari tujuh pasang kandidat peserta Pilkada beberapa diantaranya sudah "lempar handuk" dengan berbagai macam alibi. Umumnya soal KPUD yang belum bekerja secara profesional dalam melakukan verifikasi bakal calon.

Alhasil, ada yang tanpa malu-malu menampakkan "aurat politiknya" merger dengan kandidat lain. Ada yang malu-malu kucing. Ada pula yang memilih pasif.

Mereka sadar tidak bisa menang dalam PSU. Bahkan terlalu sentimentil kalau saya menganalisis dalam PSU nanti, lebih banyak perolehan suara tidak sah dibandingkan dengan suara mereka.

Inilah yang saya sebut dengan ajal demokrasi. Setahu saya, kontestan maju di panggung Pilkada sebagai aktor, bukan penonton. Kalau naik panggung hanya untuk jadi penonton, lebih baik dari awal mundur teratur. Toh antara kontestan dan penonton sama terhormatnya yang penting bisa menempatkan diri secara elegan.

Kini hari-hari penantian semakin dekat. Menurut saya, tidak banyak kejutan dalam PSU, yang bersaing hanya tiga pasang, OEMAR BAKRIE, AYO, atau GEMA AZAN? Siapa yang menjadi kampium? Rakyat Buton yang memutuskan.(one.radarbuton@gmail.com)