Senin, 09 Juli 2012

Rintihan Wakinamboro


Catatan: Irwansyah Amunu


"LEENA WAKINAMBORO." (Kencingnya Wakinamboro). Demikian salah satu kalimat yang sering digunakan orang tua saya dulu ketika saya masih kanak-kanak untuk menggambarkan hujan lebat. Ungkapan tersebut digunakan untuk mangagitasi agar kita tidak mandi hujan. Kenapa? Soalnya Wakinamboro merupakan nama raksasa. Jadi, kalau hujan lebat, berarti Raksasa Wakinamboro sedang kencing.

Rupanya bukan saya saja yang pernah mendengar dongeng tersebut. Sejumlah rekan di kantor yang orang Buton saat kecil juga pernah mendengar dongeng itu. Dan saya yakin, orang Buton umumnya saat kecil pernah mendengar cerita tersebut dari orang tuanya.

Saya mengingat kembali cerita masa kecil ini karena, Kamis (5/7) lalu, saya ke Desa Ngula-Ngula, berbatasan langsung dengan Desa Wakinamboro, Kecamatan Siompu Induk, Kabupaten Buton.

Ingatan tentang Wakinamboro semakin menebal karena dari rumah, menuju Dermaga Sulaa, kita dihantam hujan. Begitupun dari Dermaga Sulaa menuju Pulau Siompu, satu jam melawan ombak, kita juga diterpa hujan.

Dalam hati saya, kalau bukan karena undangan teman dekat yang menikah, mungkin saya belum menginjakkan kaki di sana. Apalagi Kamis pekan lalu, cuaca tidak bersahabat. Dari pagi sampai malam, langit Baubau dan Buton dipayungi awan hitam, dan terus diguyur hujan.

Tiba di dermaga Desa Tongali, Siompu, juga masih hujan.
Karena acara segera dimulai, menggunakan sepeda motor, kita menerjang hujan. Kesan pertama begitu menggoda, sebab sekitar 3 KM aspalnya mulus. Namun setelah itu, mulai kelihatan aslinya, rekan yang mengendarai "kuda besi" harus mengeluarkan banyak jurus untuk menghindari lubang.


***
Usai mengikuti prosesi pernikahan. Saya banyak mendapatkan informasi pedih seputar daratan Siompu yang saya datangi. Rupanya sejak Indonesia merdeka, belum ada aliran listrik dari PLN yang masuk di Kecamatan Siompu Induk. Begitupun air dari PDAM.

Betapa tidak, dari 10 desa di Siompu Induk, hanya dua yang mendapatkan sentuhan listrik, Desa Biwinapada, dan Tongali. Itu pun bukan dari PLN, tapi dari PNPM Pedesaan. Baru dua tahun mereka menikmatinya.

Lantas, listrik dari mana yang digunakan selama prosesi pernikahan. Rupanya dari genset.

Memang selain listrik dari PNPM, dan genset, beberapa warga juga memiliki fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun kalau hujannya seperti Kamis pekan lalu, hampir seharian tidak terlihat Matahari, dipastikan PLTS-nya tak menyimpan energi. Alhasil, malam hari warga harus menggunakan lampu templok.

Fakta itu begitu mengiris hati. Apalagi ketika meminta pendapat salah seorang warga soal kondisi yang manimpa mereka, hanya dijawab,"Kita berharap bupati yang baru ini bisa merubah keadaan desa kita." Mendengar jawaban tersebut saya hanya bisa tertegun.
Dalam hati saya, banyak "PR" yang harus diselesaikan segera oleh pemimpin di negeri ini, ketimbang ribut dengan urusan politik. Salah satunya kondisi yang dialami warga yang mendiami Pulau Siompu.

Itulah Rintihan Wakinamboro: Butuh air, listrik, dan perbaikan jalan. Semoga pemimpin Buton yang baru bisa menyentuh mereka dengan pembangunan, sehingga kondisinya lebih baik. Semoga.(one.radarbuton@gmail.com)