Kamis, 18 Oktober 2012

Amirul: Sultra Harus jadi Daerah Depan


KOTA Baubau merupakan daerah depan bagi sejumlah daerah belakangnya. Amirul Tamim memandang posisi strategis tersebut sama dengan Sultra. Bagaimana kiatnya merubah peran Sultra dari daerah belakang menjadi daerah depan? Berikut petikan wawancaranya dengan wartawan Radar Buton Irwansyah Amunu.  




--Sekarang bapak masuk dalam bursa Pilgub berpasangan dengan Buhari Matta (BM). Episodenya bersambung dari Baubau menuju provinsi. Sejauh mana rumusan dari Baubau dibawa ke provinsi. Apalagi ada yang mengatakan memimpin provinsi tidak semudah memegang kota/kabupaten, kalau kabupaten/kota hanya beberapa kecamatan. Sementara di provinsi ada 12 kabupaten/kota?

Sebenarnya kalau pengalaman, lebih sulit mengendalikan kabupaten atau kota, karena langsung berhadapan dengan sekian ribu kepentingan bila dibanding provinsi. Karena kami ini (BM-Amirul) pernah menjadi orang provinsi. Walaupun saat itu kita sebagai staf pembantu gubernur, tapi jalan pikiran maupun langkah startegis dirumuskan dan dijalani birokrat provinsi.

Sebenarnya tinggal fungsi koordinasi, karena peran-peran kewilayan itu diperankan banyak pihak, mulai dari bawah, desa/lurah, camat, bupati, walikota, kemudian gubernur dengan segala perangkatnya, juga pusat. Jadi, seharusnya mengelola provinsi harus melihatnya sebagai totalitas. Dalam arti sebagai totalitas harus dilihat utuh, harus kita mengidentifikasi wilayah-wilayah dan berbagai karakter dan peran yang sebenarnya dimiliki daerah itu.

Dengan asumsi semua wilayah punya karakter tersendiri. Baubau jangan samakan dengan Bombana, tidak bisa disamakan dengan Kendari, demikian juga sebaliknya. Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sehingga memang peran-peran itu agar tidak memainkan peran-peran kedaerahan kewilayahan yang tidak sesuai potensinya maka provinsi yang harus turun tangan.  



--Jadi lebih mudah mengelola provinsi daripada kabupaten/kota?

Kalau menurut hemat saya dengan pengalaman saya, lebih mudah.


--Pengalaman apa yang bisa dibawa ke provisni dari Baubau?

Jadi kalau kita lihat Sultra ini kaya dengan segala potesninya, penduduknya sedikit. Kemudian secara geoargafis berada di kaki depan Sulawesi. Daerah masa depan Indonesia ini di Indonesia Tiimur. Ada berapa provinsi di sekitar Sultra, mari kita lihat potensi sumber daya, kita ingin mengatakan dengan berani, kita bisa mensuplai daerah-daerah yang berada disekitar kita.

Untuk itu kita menjadikan mereka daerah belakang. Kita harus jadikan Sultra daerah depan. Kenapa saya berani katakan daerah depan? Semua kabupaten/kota di Sultra ini berada di posisi pesisir, berarti siap memberikan layanan.
 Mungkin cuma Unaaha yang tidak punya pesisir. Tapi semua mempunyai posisi pesisir, berarti ini mempunyai kesiapan layanan. Hanya pertanyannya, seberapa jauh fasilitas pendukung pesisirnya untuk meraih efisiensi, itu yang pertama.

Kedua, lapangan terbang menyebar di berbagai kabupaten di Sultra ada berapa? Selain Kendari, Wakatobi, Kolaka, Baubau, Muna. Mungkin akan menyusul lagi Buton Utara, Bombana, Kolaka Utara, ini kekuatan untuk memberikan layanan. Pemprov harus mendukung.

Dan harus ada satu fasilitas yang kategori Lapter internasional, dimana? Apa Kendari atau Wakatobi.

Nominasinya dua, nanti kita lakukan kajian mana yang lebih unggul, yang tingkat resikonya katakanlah mana yang lebih unggul sehingga menjadi lapangan terbang alternatif, tidak harus lari ke Bali, Balikpapan. Menurut saya, Kendari dan Wakatobi jadi lapangan terbang alternatif, bisa jadi bertaraf internasional.

Karena sumber daya alam kita adalah bahan baku kebutuhan global, maka perlu didukung
 fasilitas global. Fasilitas global selain pelabuhan yang berkapasitas besar, lapangan udara berkapasitas besar
.
Jangan sumber daya alam, kita angkut ke daerah lain, namanya daerah lain. Dia harus keluar melalui lapangan udara kita yang berkapasitas internasional. Kenapa kita tidak bisa? Kalau saya melihat potensi itu dimiliki Kendari dan Wakatobi.

Wakatobi ada keunggulannya lagi, dia harus diperkuat juga dengan perikanan, kelautan dan pariwista. Ikan hasil laut Wakatobi pasti kebutuhan dunia. Alamnya kebutuhan dunia, jadi memenuhi syarat.


--Yang terjadi sekarang potensi dunia, tapi pemainnya kampung? Bagaimana kita merubah ini agar selevel?

A.....Justru itu, cara pandang kita melihat melihat, jangan cara pandang administratif dalam cara pandang pemerintahan.


Seperti umpama melihat Kabaena. Kabaena itu beberapa kecamatan kabupaten Bombana. Ketika anda melihat Kabaena sebagai wilayah pemerintahan status kecamatan, maka yang ada dibenak kepala pengambil keputusan fasilitasnya kecamatan.

Seharusnya kita meihat Kabaena itu wilayah kecamatan, tapi peran kewilayahannya mari kita lihat. Dia interaksinya ke Baubau, ke Mawasangka, itu wilayah administratof pemerintahan yang beda, berarti lintas kabupaten. Ada feri dari Bira, kapal-kapal dari Bajoe, ada provinsi lain, berarti lintas provinsi.



--Intinya fasilitas bukan berdasarkan status daerahnya, tapi perannya?

Perannya. Sumber daya alamnya diangkut kapal besar ke luar negeri, antar negara. Tapi (sayangnya) fasilitasnya (Kabaena) kecamatan.


--Berarti minset itu harus dirubah?

Harus dirubah dan yang memperankan itu harus provinsi. Karena dia bicara lintas.

Kalau bicara antar kecamatan dalam wilayah kabupaten, cukup urusannya bupati. Tapi bila kecamatan perannya lintas kabupaten, sudah bicaranya gubernur.

Lintas provinsi tetap gubernur, karena dia wakil pemerintah pusat. Jadi apa susahnya? Semua kapasitas itu ada uangnya. Sisa kapasitasnya kita menjualnya, memanejnya.


--Semua potensi itu dimiliki Sultra?

Coba identifikasi, sumber kekayaan kita, itu bukan kebutuhan pasar regional, tapi kebutuhan pasar internasional. Hasil laut, hutan, pariwisata, pertambangan, laku dijual di luar negeri. Hanya saja selama ini melalui lapangan udara lain, pelabuhan lain. Ini tidak boleh.

Akhirnya brandingnya orang lain, itu sama dengan ungkapan: Sapi punya susu kambing punya nama. Itu yang selama ini kita alami. Ke depan tidak boleh, sapi harus sapi, Sulawesi Tenggara harus Sulawesi Tenggara.


--Merubah Sultra dari daerah bekalang jadi daerah depan, kita-kira mulai dari mana? .

Jangan Kendari sebagai ibukota provinsi sebagai daerah tujuan, buntu. Dia harus daerah transit. Yang pertama, semua pesawat masuk ke Kendari, dari Kendari bisa ke Wakatobi, bisa ke Baubau, bisa ke Kolaka, kalau perlu ke Ambon.

 Instrumennya sudah ada. Presiden, Wapres kalau ke Papua, singgah bermalam di Kendari. Seharusnya instrumen itu yang dimainkan sebagai kondisi yang memposisikan Sultra bukan daerah akhir, tapi transit.

Maka itu, harus memperkuat fasilitas pendukung, arah pembangunan Kota Kendari harus menyatu dengan kawasan bandara, wilayah Konsel, harus sinergis. Pemkan KOnsel juga harus sinergis dengan Kota Kendari. Oleh sebab itu jangan terjebak dengan administratif. Gubernur jangan terjebak dengan administratif. Melakukan koordinasi, sehingga kalau kita bicara bandara sama bicara Jakarta, sama dengan Cengkareng. Tidak terkesan memisahkan, kehidupannya sama. Sehingga kalau jadi daaerah transit, bukan daerah transit di pedesaan.


--Apakah ini yang akan dilakukan BM-Amirul ketika diberikan amanah memimpin Sultra?

Ya, insya Allah seperti itu.


--Intinya menaikkan level Sultra, dari daerah belakang menjadi daerah depan?

Karena kita punya semua. Jangan sampai adagium Sapi punya susu kambing punya nama terus terjadi. Padahal kita punya semua potensi. Masa agar-agar kita punya, coklat kita punya, eh... mereknya orang lain.

Padahal cuma bandara dan pelabuhan. Pelaku, kita tidak sedikit toke-toke juga. Tidak sedikit pelaku ekonomi yang bisa, semua bank ada di Sultra. Pelaku-pelaku ada semua.

Perlu diketahui, selama ini juga Baubau seperti itu, sebagai daerah depan bagi sejumlah daerah belakangnya. Ini, sudah dimainkan, jadi kalau mau "naik kelas" tidak susah lagi, sudah ada prakteknya.(***)