Minggu, 20 Oktober 2013

Trias Corruptica

MENGENAI tertangkapnya Ketua MK oleh KPK, ada beberapa catatan menarik diseputar ditangkapnya Ketua MK dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam tindak penyuapan.

Menggambarkan korupsi di negeri ini sudah masuk dalam seluruh sendi bernegara. Kalau dimasa lampau Plato dan Aristoteles membagi kekuasaan menjadi tiga, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, agar terjadi keseimbangan kekuasaan. Dikenal dengan teori trias politika.Namun kini yang terjadi sebaliknya, korupsi sudah menimpa semua oknum yang berada di lembaga tersebut. Jadi korupsi merata di tiga lembaga itu. Tidak heran, kalau ada yang memplesetkan, bukan lagi trias politika, tapi trias corruptica.

Mengapa demikian? Karena yang ditangkap KPK oknum dari tiga lembaga tersebut. Akil Muchtar dari yudikatif, Charunnisa (legislatif), dan Bupati Gunung Mas (eksekutif).

Perlu diketahui, MK adalah lembaga tinggi negara. Jadi, dari segi level, Ketua MK selevel dengan Presiden. Artinya, ini penangkapan pelaku korupsi kakap. Dalam penyuapan itu, terlibat pejabat publik dari tiga lini sekaligus, yudikatif (Ketua MK), legislatif (CHN) dan eksekutif (HB, bupati).

HB adalah bupati dari PDIP yang notabene berbeda partai dari Chairun Nisa, juga Akil Muchtar dari dari Golkar (dulunya). Artinya, ini bukti pragmatisme kejahatan. Malam itu CHN diantar suaminya ketika bertandang ke rumah AM. Apakah suaminya tidak tahu? Sama seperti kejahatan lain, pelaku dari keluarga.

MK adalah lembaga yang mengadili sengketa antar lembaga, juga mengadili UU. Bayangkan, apa hasil putusannya bila ternyata hakimnya doyan suap? Luar biasa, Akil Muchtar, Ketua MK, ditangkap dua kasus suap sekaligus. Sengketa Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, dan Kabupaten Lebak, Banten.

Dari sana, semakin nyata bahwa kebenaran milik pemodal. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi keuangan yang berkuasa. Astaghfirullah... Nyata sekali korupsi sudah merambah semua lini. Korupsi telah jadi budaya dari para punggawa di negeri ini. Bedanya cuma ketahuan atau tidak.

Korupsi tumbuh karena lemahnya integritas, ada peluang atau tawaran, dan didorong sistem yang cenderung membuat orang korup. Sistem demokrasi liberal seperti saat ini telah melahirkan pejabat publik yang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan dan kekayaan. Didorong lingkungan yang makin permisif terhadap korupsi. Lahirlah budaya korup. Berbahaya sekali, karena orang korupsi tak lagi sungkan.

Tiadanya teladan pemimpin. Yang ada adalah contoh bagaimana pemimpin lakukan korupsi, walhasil bawahannya juga ikut korup. Jadilah korupsi rame-rame. Yang pasti, lemahnya tauhid. Materialisme telah singkirkan tauhid dari derap kehidupan berbangsa bernegara. Allah hanya diingat ketika salat.

Kehidupan yang serba profan membuat kontrol tauhid makin tipis. Ditambah faktor lingkungan, jadilah apa yang terjadi. Jelas sekali, diperlukan perubahan besar bila diinginkan sebuah baldah Thayyibah wa rabbun ghafur (negeri yang baik dan penuh ampunan Allah).

Kesanalah semestinya perjuangan kita menuju. Bagi lahirnya baldah thayyibah wa rabbun ghafur tadi. Negeri
seperti ini tidak mungkin lahir dari rahim sekularisme karena justru sekularisme itulah yang telah timbulkan kemelut persoalan yang tak berkesudahan.

Negeri saperti ini hanya mungkin lahir dari dasar yang memungkinkan tauhid hidup secara nyata dalam kehidupan masyarakat dan negara. Yang memungkin tercipta sebuah budaya taat, menjauhi maksiat, dimana integritas pribadi akan terpupuk subur oleh lingkungan yang tauhidi.

Sungguh sangat banyak pelajaran dari sekitar kita. Masih kurangkah bukti untuk kita dengan tegas ambil
kesimpulan la izzata illa bil Islam?‬(follow twitter: @irwansyahamunu)