Minggu, 22 Desember 2013

MANTRA PEMEKARAN

Catatan: Irwansyah Amunu


AKHIRNYA pemekaran di jazirah Buton Raya kandas. Buton Tengah (Buteng) dan Buton Selatan (Busel) tinggal kenangan.

Dua calon daerah otonom baru (DOB) yang selama ini diperjuangkan tidak masuk dalam agenda masa sidang terakhir di DPR RI. Gagalnya Buteng dan Busel "merdeka" dari Buton seolah menunjukkan rencana  pemekaran keduanya selama ini hanyalah mantra atau guna-guna untuk menarik simpati rakyat demi kepentingan pribadi atau kelompok yang sifatnya pragmatis.

Tengok saja, ketika Pilkada atau Pileg, pemekaran menjadi lagu wajib yang dinyanyikan setiap kontestan untuk menarik simpati rakyat. Namun apa yang terjadi setelah kuasa diraih, mereka lupa dengan janji. Tiba-tiba terjangkiti penyakit amnesia, tidak ingat pernah cuap-cuap berucap.

Walaupun memang, diantara mereka ada yang tulus memperjuangkan pemekaran. Namun ada juga yang berwatak culas untuk mempermainkan kehendak rakyat. Ada pula memilih ambigu, meletakkan kakinya pada dua kutub sekaligus, tulus dan culas. Ketika dipertanyakan keseriusannya, maka jawabannya tergantung kondisi.

Nah, dari pengalaman kegagalan perjuangan pemekaran Buteng dan Busel ini harusnya rakyat sudah bisa mengidentifikasi seperti apa sebenarnya karakter asli para figur yang selama ini mengaku memperjuangan pemekaran. Apakah mereka pahlawan sejati, pahlawan bertopeng, pahlawan kesiangan, atau pahlawan tanpa tanda jasa.

Apalagi, tahun depan merupakan tahun politik. Setidaknya itu merupakan panggung untuk menghukum. Kalau memang mereka selama ini lihai dalam mempermainkan perasaan rakyat, maka saatnyalah kini rakyat mengadili.

Syaratnya, masyarakat harus melek politik. Jangan mau lagi diguna-guna dengan mantra pemekaran. Toh hasilnya sudah ada, nihil alias nol besar.

Kedua, rakyat harus memiliki ketahanan mental dan ekonomi, jangan mau tergadai dengan pragmatisme politik sesaat yang membuai pada saat hari H Pemilu. Namun yang lebih dikedepankan adalah kepentingan ideologis.

Sebab, walaupun mereka yang ada di eksekutif, atau legislatif mulai dari daerah sampai di pusat saling tuding mencari "kambing hitam" dibalik kegagalan, namun "kotak hitam" pemekaran tidak bisa bohong. Inilah kompas atau petunjuk arah bagi rakyat dalam menentukan pilihan, tergolong aliran mana mereka: politikus pragmatis atau politikus ideologis.(follow twitter: @irwansyahamunu)