Senin, 30 Juli 2012

Galau PLTU


Catatan: Irwansyah Amunu


JELANG Ramadan, sejumlah warga ribut soal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan aktivitas penambangan yang dilakukan PT Bumi Inti Sulawesi (BIS). Tak ayal, aksi tersebut berbuntut pengrusakan Kantor Kelurahan Lowu-Lowu, Kecamatan Lea-Lea. Akhirnya Polisi mengamankan delapan orang yang diduga menjadi motor penggerak massa.

Kemarahan massa diduga karena PLTU dan PT BIS tidak mengindahkan rekomendasi dewan ihwal penghentian sementara aktivitas keduanya. Massa beralasan kegiatan dilakukan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Walaupun belakangan pihak PT BIS mengklaim telah menghentikan aktivitasnya. Bahkan hal itu dilakukan sebelum rekomendasi diterbitkan.

Memang kita semua mengharapkan aktivitas keduanya dilakukan tanpa membahayakan masyarakat. Apalagi mengancam kelangsungan dan kehidupan warga setempat. Maka itu, Amdal dibutuhkan. Namun, bukankah Amdal kawasan sudah ada?

Di tengah polemik ini, saya ingin mempersempit fokus soal PLTU. Terkait hal ini, banyak yang galau. Galau PLTU.

Mengapa? Rupanya kelebihan daya listrik yang dimiliki Baubau tidak bersifat permanen. Memang saat ini daya listrik yang dimiliki PLN Cabang Baubau lebih, total daya sekarang sekitar 18 MW. Namun, setahu saya yang dimiliki pembangkit PLN Baubau hanya sekitar 3 MW. Selebihnya, sekitar 15 MW bersumber dari mesin yang disewa PLN dari daerah lain untuk menutupi defisit daya listrik Baubau. Jadi, kalau mesin yang disewa tersebut ditarik dari Baubau, habislah kita. Baubau bisa jadi akan kembali gelap gulita. Hal ini pernah terjadi pada 2006.

Pengalaman waktu itu, listrik byar pet (sering padam), akibatnya menyala secara bergilir. Bila pembangkit yang dimiliki PLN drop, maka jadwal giliran kacau balau. Inilah pula yang membuat masyarakat Baubau sering panas. Akibatnya PLN kerap kali jadi bulan-bulanan demonstran. Nyaris tiap hari terjadi unjukrasa, sarannya satu, PLN. Padahal, hal tersebut diluar kuasa mereka.

Saking parahnya Kantor PLN Cabang Baubau pun lampunya harus padam. Mereka juga berempati dengan kondisi daya listrik yang minus. Bahkan pernah terjadi, satu Kota Baubau padam total.

       
Kebetulan saat itu, saya masih menjadi koresponden. Karena buruknya kondisi listrik, kerap kali berita tidak naik cetak karena jadwal deadline pengiriman berita lewat. Akibatnya berita yang dikirim ke Kendari berita basi.

Tak hanya itu. Untuk mengisi baterai handphone, saya harus mencari rumah rekan yang listriknya tidak terkena giliran pemadaman. Itu jurus pertama. Jurus kedua, saya harus beli baterai HP baru agar ketika satu yang satu low-bath, maka sudah siap baterai cadangan. Dua jurus itu bukan hanya saya yang gunakan, beberapa rekan juga mengamalkannya.

Perlu diingat, saat itu kebutuhan daya listrik bagi warga Baubau belum sebesar sekarang. Ruko belum seberapa tumbuh subur. Perumahan belum seberapa menjamur. Belum ada Terminal Suplai BBM. Belum ada Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).

Maka itu, PLN mengambil langkah penyelamatan dengan menyewa mesin dari luar Kota Semerbak. Setahu saya, jika disewa, sifatnya hanya sementara, bukan permanen.

 

Nah, jika mesin sewa ini ditarik, kira-kira bagaimana listrik Baubau? Apalagi saya mendengar dari sumber yang bisa dipercaya, bila di Baubau terus ribut, PLTU akan dipindahkan lokasi pembangunannya. Dan ratusan kabupaten/kota sudah siap menampung.

Padahal, pembangunan PLTU di Kolese penuh dengan

perjuangan. Bahkan harus mengundang tokoh sekaliber Dahlan Iskan (saat masih menjabat Dirut PLN) pada 2011, ke Baubau untuk melihat dari dekat kondisi kelistrikan kita. Keputusannya pun diambil di tengah laut, karena perjalanan melihat lokasi pembangunan PLTU menyusuri laut menuju Kolese.

Hasilnya berbuah manis. PLTU kini sementara dibangun dan ditargetkan tahun depan beroperasi. Daya yang dihasilkan kurang lebih 10 MW. Daya tersebut bukan hanya melayani kebutuhan warga Baubau, tapi juga daerah belakang antara lain Muna, Buton, dan Buton Utara. Karena PLN Cabang Baubau memiliki interkoneksitas dengan daerah tersebut.

Termasuk daya listrik tersebut juga sebagai suplai energi bagi bidang industri. Sebab sudah ada payung hukum yang diterbitkan pemerintah agar hasil tambang tidak lagi dipasarkan dalam kondisi mentah, tapi harus sudah diolah menjadi bahan jadi. Dengan demikian energi listrik tersebut akan menjadi pemasok energi bidang industri.

Tumbuhnya industri, secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan. Dengan demikian, warga setempat tidak harus merantau ke luar daerah untuk mencari nafkah. Tapi bisa mengais rezeki di kampung sendiri.
Efek lainnya, kita juga bisa menghasilkan generasi unggul, karena anak-anak dibesarkan dengan orang tua yang lengkap. Tidak hanya dibesarkan oleh seorang ibu, sementara ayahnya meninggalkan rumah karena mencari nafkah di negeri orang.

Terlepas dari itu semua, kita berharap persoalan PLTU secepatnya selesai. Gesekan, pro-kontra dalam pembangunan, lumrah. Dengan catatan, diselesaikan secara elegan. Hati boleh panas asal kepala tetap dingin.(one.radarbuton@gmail.com)