Kamis, 30 Agustus 2012

1000 Pulau, 9 Nyawa

Catatan: Irwansyah Amunu

MINGGU (12/8) lalu, saya bersama keluarga menjadi bagian dari sekian juta rakyat Indonesia yang melakukan tradisi mudik. Ini saya lakukan karena kebetulan istri saya dari Tanah Pasundan, jadi lebaran kali ini di kampungnya di Sukabumi, Jabar.

Mudik kali ini saya menggunakan moda transportasi laut, KM Ciremai, karena anak saya yang bungsu baru berusia empat bulan lebih. Sebelumnya saya pernah berkonsultasi dengan tiga orang dokter, mereka melarang saya menggunakan pesawat. Soalnya berbahaya bagi alat pendengaran untuk anak berusia di bawah satu tahun. Gendang telinganya bisa pecah, karena tuba eustachia-nya, saluran penghubung dari telinga ke organ dalamnya masih sangat rawan.

Berbekal dari itulah, maka saya harus menempuh perjalanan tiga hari, tiga malam dari Baubau ke Tanjung Priok, Jakarta. Suasana arus mudik memang mulai terasa di kapal milik PT Pelni ini. Penumpang yang naik di Pelabuhan Baubau cukup banyak, sehingga membludak sampai ke anjungan kapal hingga ke dek tujuh.

Paling parah, penumpang yang naik dari Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar. Membludak hingga sekitar 2000 orang. Akibatnya ABK kapal tak kuasa melarang penumpang untuk menempati ruangan kapal, hingga ke lorong-lorong kamar kelas I dan II pun disesaki penumpang. Bukan hanya manusia, barang yang dibawa pun jumlahnya banyak.

Jadi, lalu lalang kita di atas kapal harus hati-hati, bila tidak salah satu anggota badan mereka yang terinjak. Ditambah lagi dengan hantaman ombak perjalanan dari Makassar ke Surabaya cukup besar, maka lengkaplah sudah penderitaan.

Sedikit menggambarkan, besarnya ombak yang menghantam kapal pelat merah ini, sehingga saat salat kita harus duduk. Bila berdiri, dan tak kuasa menahan ombak, pasti kita akan terjungkal.

Tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, KM Ciremai seperti disulap. Tadinya penumpang berjubel, menjadi lengang. Memang penumpang yang turun di Surabaya sangat banyak. Ini tergambar saat perjalanan dari Makassar-Surabaya, percakapan penumpang didominasi bahasa Jawa.

Tadinya penumpang memenuhi setiap areal kapal yang lowong, kini  menjadi kosong. Penumpang  ekonomi diarahkan kembali ke ruangan kelas ekonomi, tidak lagi berhamburan di lorong kelas I dan II.

Bertolak ke Jakarta, pikiran saya kita akan tempuh lebih tenang. Rupanya tidak, ombak lebih kencang. Hebatnya guncangan kapal membuat kepala saya pening. Karena tetap menjaga puasa agar tidak batal, saya memutuskan cepat-cepat tidur untuk mengalahkan rasa mabuk.

Alhamdulillah jurus ini ampuh, untuk mengusir mabuk laut. Benak saya membantin, kapal Pelni yang lumayan besar saja rasanya begini, bagaimana dengan perasaan saudara kita yang menggunakan kapal kayu berukuran kecil?

Soalnya sebelum tiba di Jakarta, saya sempat menghubungi rekan yang mudik ke Tomia dan Kaledupa. Mereka mengatakan, ombaknya besar. Hingga membuat kapal nyaris tenggelam.  Itu terjadi ketika ombak menghantam kapal, penumpangnya panik dan serentak bergeser ke satu arah. Air laut pun sudah masuk ke lambung kapal. Membuat kapal nyaris kehilangan keseimbangan.

Syukurnya, mereka masih dalam lindungan Allah. Kendati tiba di Tomia dan Kaledupa telat, namun tiba dengan selamat.

Bedanya dengan saya yang bisa tetap puasa, rekan yang ke Kepulauan Tukang Besi itu karena kuatnya hantaman ombak, tak bisa menahan mabuk laut, hingga harus muntah-muntah. Terpaksa, dua hari tidak shaum.

Dengan nada bergurau, saya mengirim pesan pendek (SMS) ke rekan di Kaledupa: Inilah Nasib Anak 1000 Pulau, Harus Miliki 9 Nyawa. Hehehe.

Ya, untuk mudik lebaran. Apa pun harus kita lakukan, kendati harus mengorbankan nyawa. Modalnya: keberanian bahkan cenderung nekat, bercampur perhitungan plus peruntungan. Seolah-olah kita punya lebih dari satu nyawa, alias nyawa cadangan.

Singkat cerita, saya tiba di Jakarta, sekitar pukul 14.00 WIB, Rabu (15/8). Disini kita sudah disambut anggota Komisi VI DPR RI dan Direksi PT Pelni. Mereka hendak memantau arus mudik lebaran. Saya tidak lagi mengamati kunjungan wakil rakyat dari Senayan ini karena menurut saya ini hanyalah kosmetik politik. Berkunjung atau tidak berkunjung, tidak ada pengaruhnya. Toh pemandangan seperti ini sudah merupakan tradisi tahunan. Tidak bisa berubah dengan hanya melakukan kunjungan yang bersifat seremoni.
Apalagi setelah tiba di Jakarta bukan berarti perjuangan selesai. Karena selanjutnya harus menempuh perjalanan darat sekitar lima jam ke Sukabumi.

Tiba di Sukabumi, penderitaan masih bersambung. Entah karena pengaruh ombak, yang jelas selama tiga hari, kepala masih terasa oleng. Saya kembali teringat kiriman SMS saya: Inilah Nasib Anak 1000 Pulau, Harus Miliki 9 Nyawa. Hhhhh. (one.radarbuton@gmail.com)