Minggu, 13 Januari 2013

Solusi ala Bupati

Catatan: Irwansyah Amunu



SETELAH melalui polemik di dewan, akhirnya persoalan ibukota Buton Tengah (Buteng) berhenti di bupati.

Ya, ibarat bola panas, kalau tidak cepat diambil alih masalah tersebut tidak akan selesai. Salah satu indikasinya, ketika konsorsium masyarakat tiga kecamatan di Mawasangka plus Talaga Raya yang menghendaki ibukota Buteng di Mawasangka, membawa aspirasi tersebut di dewan, mengalami jalan buntu alias deadlock.

Terbukti ketika DPRD dan eksekutif menggelar rapat kerja (Raker) untuk menemukan jalan keluar persoalan, terhenti. Yang terjadi timbul konflik baru antara sesama anggota dewan. Plus pihak komponen masyarakat yang mengatasnamakan konsorsium empat kecamatan, marah karena merasa tidak dilibatkan dalam rapat yang digelar secara tertutup.

Inilah yang membuat persoalan semakin bertambah. Puncaknya, konsorsium murka, mereka menggelar unjuk rasa minta agar dewan menggelar paripurna untuk memutuskan Mawasangka sebagai ibukota.

Nah, momen inilah yang dijadikan pintu masuk Bupati Samsu Umar Abdul Samiun untuk turun tangan. Dan sebagai pemimpin, diambil alihnya persoalan tersebut oleh bupati merupakan keputusan tepat. Apalagi  persoalan yang memunculkan dua kutub, Wamengkoli atau Mawasangka tersebut memang masuk dalam domain eksekutif sebagai eksekutor.

Komitmen pun sudah dilontarkan Bupati Umar Samiun untuk menyelesaikan masalah dengan cara mulai hari ini berkunjung ke tiga kecamatan lain di luar konsorsium, yakni Gu, Lakudo, dan Sangia Wambulu.

Mawasangka atau Wamengkoli? Entahlah, yang jelas Umar Samiun bersikap netral, ogah masuk pada salah satu kutub, Mawasangka atau Wamengkoli.

Namun demikian, sebagai figur yang sudah mengawali karir di dewan, bahkan pernah menduduki kursi Ketua DPRD Buton, Umar Samiun tentu sudah bisa membaca bagaimana membuka benang kusut pemekaran tersebut. Mulai dari mana dan berakhir di mana. Sehingga akan melahirkan solusi yang elok bagi segenap masyarakat Buteng. Bukan saja bagi kelompok tertentu, tapi untuk semua.

Maka itu, solusi yang digunakan untuk memecahkan problem tersebut harus berdasarkan aturan. Salah satu rujukannya: PP No. 78/2007
tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dalam pasal 12 ayat (1) disebutkan, lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam  pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan
keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten. Ayat (2), penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota. Ayat (3), penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial
ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

Jangan sampai polemik ibukota ini menjadi persoalan yang tak berujung layaknya Buton Utara (Butur) hari ini, Buranga atau Kulisusu? Habis energi hanya untuk membahas masalah yang harusnya sudah tuntas sejak awal.

Perlu diingat, pembahasan pemekaran di Pusat bakal dimulai awal Februari nanti. Tinggal sekitar dua minggu lagi.

Kita berharap waktu dua minggu ini solusi ala bupati bisa melahirkan win win solution. Sehingga ketika dibahas di Pusat tidak ada lagi sandungan bagi lahirnya dua bayi kembar daerah otonom baru (DOB) di Buton, Buton Tengah (Buteng), dan Buton Selatan (Busel).

Ya, Busel. Bisa jadi karena energi kita habis membahas Buteng, akhirnya melupakan Busel. Sebab keduanya ini merupakan embrio bagi harapan akan lahirnya Provinsi Buton Raya.

Alhasil, solusi ala bupati ini diharapkan menjadi buah tangan Umar Samiun yang mampu melahirkan bayi kembar. Layaknya Bupati Sjafei Kahar yang melahirkan tiga DOB sekaligus, Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, dan Bombana.

Walaupun yang dilakukan Sjafei Kahar meneruskan pemekaran yang dirintis Bupati Saidoe. Hal serupa juga akan dilakukan Umar Samiun sekarang.(one.radarbuton@gmail.com)