Kamis, 25 April 2013

Membaca Visi Misi TAMPIL MESRA dari Bappeda (1)

Gunakan Empat Instrumen, Diperkuat Pakta Integritas



SEBAGAI institusi yang "memasak" program Pemkot, Bappeda mendiskripsikan visi misi duet Tamrin-Maasra (TAMPIL-MESRA) dalam dokumen pembangunan. Bagaimana institusi yang dipimpin Sudjiton tersebut meramunya? Berikut petikan wawancaranya.

Laporan: Irwansyah Amunu


SUDJITON menilai dalam pergantian pemimpin-pemimpin politik, slotnya lima-lima tahunan sesuai dengan
amanat Undang Undang. Kemudian melihat periode lima tahun dengan kepemimpinan Tamrin-Maasra, kalau dilihat dari tahapan-tahapan mulai dari Kota Baubau terbentuk, ini masuk lima tahun ke-3.

Di amanah UU 26/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU 32 tentang Otonomi Daerah, jelas diatur pemimpin-pemimpin daerah, adalah pemimpin yang terpilih dalam jangka waktu lima tahunan.

Nah, periode lima tahunan kepemimpinan tentu harus ada landasan untuk kerja. Landasan bekerja kalau
melihat di dokumen 20 tahunan, baik ditingkat kota, kabupaten, propinsi maupun nasional, ada RPJP 20
tahunan.

Sekarang diundangkan mulai 2005-2025. Kenapa harus dilihat 20 tahunan? "Supaya ada kebersinambungan dari pembangunan yang slot-slot pemimpin-pemimpin kita terpilih setiap jenjang lima tahunan," ujar Djiton.

Sekarang, lanjutnya kembali pada duet Tamrin-Maasra mengambil posisi lima tahun ke-3, tentu kalau kita
ingin melihat bagaimana visi misinya mereka berdua yang memang sudah menjadi amanah masyarakat. Mereka terpilih tentu menilai visi misinya, ini baru visi misi walikota, belum jadi visi misi kota.

"Nah kita di Bappeda mencoba menjabarkan, menterjemahkan kedalam kaidah penulisan dokuman yang
nantinya jadi visi misi kota, apa yang menjadi hal penting di dalam menterjemahkan visi misi walikota
menjadi visi misi kota jadinya," bebernya. 

Tentu, lanjut dia, harapan kita setelah menjadi visi misi kota tidak ada seorang pun, kelompok mana pun,
bahkan individu mana pun yang tidak merasa bagaimana bagian dari dirinya untuk memberi kontribusi, itu
yang harus dilakukan.

Karenanya, kaidah penjabarabn penulisan dalam kaidah penulisan RPJMD ini ada beberapa pendekatan.
Pertama, pendekatan top down, buttom up. Top down, ulas pria berkacamata ini, kembali menjaring adspirasi publik. "Karena visi misi dulu beliau dipilih kelompok orang. Supaya menjadi milik kota harus ada publik hearing kembali, kita mencoba menjaring aspirasi masyarakat," terangnya.

Kemudian ada top down, bagaimana melihat posisi kewilayahan, misalnya keprovinsian, dan pusat.
Karena tidak Baubau tersendiri, kita ini Baubau di propinsi, di NKRI, karena itu melihat top down.
Terlebih kebijakan nasional, sudah ada kerangka penganggaran. "Bagaimana anggaran pusat kasih ke kita, kalau tidak ketemu visi misi kita dengan nggaran pusat itu? Makanya ini yang harus kita perhatikan, top down-nya," tukasnya.

Lantas, pendekatan teknokratik, ini yang penting. Bagaimana dilihat visi misi terdokumentasi dalam
RPJM memiliki pendekatan akademik, supaya lebih rasional. Maka itu harus ada teknokrat, pelibatan
profesor-profesor, para ahli dibidangnya masing-masing akan menjadi bahan kontribusi dalam memberi
warna dalam dokumen nanti.

Selanjutnya, terang Djiton, pendekatan politik, bagaimana dengan DPRD, nanti diketok di sana sehingga menjadi milik publik.

Nah, untuk mengawal itu, di dalam mengevaluasi ketajaman dokumen RPJMD, visi misi walikota sudah terinternalisasi di sana, ada panduan yang menjadi alat instrumen yang bagus untuk melihatnya.

"Misalnya kita melihat keterkaitan, keterkaitan antara jabaran di dokumen kita dengan dokumen-dokumen di atasnya. Di propinsi juga pasti ada visi misi gubernur, di nasional ada visi misi presiden. tentu keterkaitan ini menjadi satu kesatuan harus kita hitung," beber Djiton.

Ukuran keterkaitan ini nanti dibuktikan, akan diuji dikerangka pendanaan. Bagaimana dana propinsi
diberikan ke kota, dana pusat kasih ke Baubau. "Tentu dana itu mengikuti arah kebijakan. Money velue function, uang mengikuti fungsi atau kebijakan. Kalau provinsi kebijakannya beda dengan kita untuk apa dia turunkan anggarannya ke kita. Oleh karena itu, kita daerah harus tahu diri merespon kebijakan propinsi dan pusat," paparnya.

Kedua, lanjut Djiton, konsistensi. Bagaimana melihat kebersinambungan, berarti mereview ke belakang, yang sudah dilakukan sebelumnya, kemudian kebersinambungan dengan apa yang akan dilakukan dari tahun pertama sampai lima tahun kedua.

Tentu variasi karakter penajaman itu, lima tahun ke depan berikutnya akan ada exercise. "Oh dia sudah lebih condong ke mana? Misalnya dulu dua slot lima tahun itu diinfsatruktur. Sekarang masuk ke tiga, infrasturktur juga tapi lebih menekan, lebih fokus dimananya? Sehingga kebersinbambungannya jelas-jelas, istilahnya kalau kita menyusun batu dari pondasi kemudian pasang atap, sehingga 20 tahunan mencapai rumah yang utuh," Djiton menggambarkan.

"Kita ini mungkin sudah sampai pada posisi rangka atas. Pondasi, susun batu, kuseng-kuseng mungkin di
lima tahun ke dua. Kita ini sudah main di kuseng di atas, di halaman supaya cantik ini daerah," sambungnya.

Ketiga, keterukuran, kadang diabaikan selama ini. Keterukuran menjamin bagaimana rupiah per rupiah anggaran bisa tepat sasaran, karena disasaran sudah letakkan kinerjanya. "Misalnya ada 1 miliar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sekarang pertumbuhan konomi kita misalnya rata-rata 7 persen, mau kita ingkatkan berapa persen lagi sehingga bisa mengangkat PDRB kita dari 2,1 miliar menjadi 2,8. Ini kan target-target yang menjadi indikator ukur. Tanpa ada indikator ukur, kita akan susah menilai kinerja pemerintah dengan anggaran yang sudah digunakan. Kemudian berpola pada dokumen-dokumen perencanaan. Jadi penting indikator kerja keterukuran," terangnya.

Terakhir, kedalaman. "Ini saya kira sangat akademik sekali. Bagaimana menjustifiksai urgensi prioritas-
prioritas pembangunan ini. Itu kan harus banyak informasi, harus banyak data, bagaimana kita memilih ini betul-betul prioritas, menjadi kesinambungan dari program-program berikutnya," bebernya.

Nah, empat ini yang dimainkan Bappeda, untuk bagaimana mewarnai dokumen, yang sekarang dibikin, agar visi misi sudah terjabarkan tapi dari ukuran yang empat tadi terinternalisasi. "Kami sudah dapat arahahan dari Pak Wali. Dan memang ini sudah amanah UU. Nanti akan ada pakta integritas antara penyelenggara-penyelenggara pemerintahan di masing-masing institusi-institusi SKPD," tukas pria berkacamata ini.

Nantinya ada kinerja-kinerja utama dititipkan ke unit-unit kerja sesuai dengan Tupoksinya. Inilah yang terukur itu, jadi bagaimana seorang kepala unit kerja dengan Tupoksinya dia menyumbang kontribusi untuk pencapaian visi misi kota secara keseluruhan.

"Ini nanti Pak wali sudah perintahkan saya untuk menyusun konsep pakta integritas dengan unit kerja.

Berati itu mendiplikasi seperti di provinsi? Ya saya kira seperti ini, dan itu amanah, amanah Undang-Undang. (bersambung)