Jumat, 26 April 2013

Membaca Visi Misi TAMPIL MESRA dari Bappeda (2)

Penting dan Mendesak, Program 100 Hari Kerja


TIDAK terasa, duet pemerintahan Tamrin-Maasra (TAMPIL MESRA) bakal memasuki hari ke-100. Berikut ini lanjutan wawancara Kepala Bappeda Baubau, Sudjiton dalam memformulasikan visi-misi suksesor Amirul Tamim ini dalam masa 100 hari.

Laporan: Irwansyah Amunu

---Sekarang masyarakat ada yang bertanya, terkait 100 hari kerja. Walaupun pun ini terlalu singkat untuk mengukur, bagaimana memformulasikan  empat hal tadi (instrumen) sehingga masuk dalam program 100 hari kerja ?

Jadi saya kira kalau masayarakat menuntut itu wajar-wajar, dan yang bisa kita lakukan dalam jangka pendek kan ada namanya kegiatan yang sifatnya mendesak. Kegiatan yang sifatnya penting dan mendesak, ada penting tapi belum, mendesak. Kemudian ada gagasan besar beliau yang mungkin nanti baru kita coba masukan dalam kerangka pembangunan tahun pertama ini. Yang mungkin nanti berdampak jangka panjang ke depan.

Yang jangka pendek dulu yang mendesak dan penting, kita ini lagi exercise  bagaimana APBD kota yang sudah ter-APBD-kan bisa kami klusterkan di empat pilar, SDM, ekonomi, infrastruktur, dan budaya. Jadi anggaran kurang lebih 275 miliar, anggaran APBD untuk belanja langsung itu kita sudah kluster semua. Dan nanti akan kita lihat, mana yang betul-betul mendesak dan penting. Mana yang jangka panjang, bagaimana pemeratannya diseluruh wilayah. Nah kita sudah mulai tapi untuk yang fisik saya bilang ini kan barang ini ditender saja belum.

Tapi beliau saya kira sudah mulai menjajaki wilayah-wilayah agar bagaimana program-program yang penting dan mendesak jangka pendek sudah mulai tereksekusi.

--Yang penting mengintrodusikan program jangka panjang itu dalam waktu 100 hari kerja ini. Seperti apa resumenya? Bagaimana mau dibawa Kota Baubau ini ke depan?


Misalnya di infrastruktur, saya kira peletakan dasar dalam dua slot lima tahunan itu, sudah mulai kelihatan. Tapi ini tadi, kita ini main di rangka atap, di atap, dan diplasterannya untuk memperindah kan kita mainnya kan sudah di area itu. Baik infrastruktur, SDM, ekonomi, mainnya di wilayah atas supaya berkesinmabungan, supaya daya ungkitnya besar.

Misalnya diinfrastruktur, contohnya sekarang pengembangan wilayah-wilayah agar kota ini tidak terkonsentrasi di satu tempat dipancing wilayah-wilayah dititik tumbuh di Palagimata, Sorawolio, di kota-kota sataleit sana, ini kan pancingan yang kita lanjutkan dengan sarana jalan, air bersih, lampu, dan seterusnya.

Tapi gagasan beliau dan sudah disampaikan ke saya, dan saya kira ini gagasan brilian, untuk bagaimana
 melihat jangka panjang kota ini ke depan dengan posisi kota ini yang dinamikanya kuat, kota yang trigernya kuat, kota yang layanannya jauh. Kita hindari jangan sampai kota ini sumpek, kota yang tidak beradat, tidak berkeseimbangan.

Kita ingin bagaimana menjaring aksesibilitas, supaya bisa terurai, maka itu, jawabannya jalan lingkar luar. Saya kira tahap awal ini kita mulai lakukan survei, lingkar luar dari Waborobo mungkin akan nyambung ke Batauga sebagai sambungan jalan propinsi mungkin ke Sorawolio masuk ke Bungi. Kemudian kita jadikan jalan pendekat dengan rencana gubernur untuk membuat jalan penyeberangan ke Pulau Muna. Gunanya ini supaya aksesibilitas dari luar tidak langsung menyerbu masuk ke kota tapi bisa diurai di jalan lingkar.

Misalnya dari Pasarwajo masuk masuk ke Betoambari, tidak lagi langsung masuk. Dari Kapontori juga begitu, pasti ada perempatannya, mau ke mana, mau ke Muna seperti itu.

Saya kira dari sisi keinfrastrukturan ini suatu gagasan yang harus kita sambut ini karena pengalaman kota-kota yang tidak memikirkan itu, nah serbuan dari luar masuk barang, masuk kontainer, menjadi sumpek kan tidak baik.

--Terkait kontinuitas, bagaimana dengan Islamic Center? Apakah ini akan diselsaikan?

Saya kira konsep Baubau bahhwa Baubau Kota Budaya, dan budaya Islam, sentuhan-sentuhan stimulan Baubau sebagai basis perdaban Islam ya tetap akan memberi warna kota ini ke depan. Saya kira Islamic Center ini salah satu simbol, kita ingin meletakkan sebagai simbol fisik bahwa Baubau ini sebagai sumber peradaban Islam yang harus kita jaga.

Ke depan kita akan jaga, tapi masih banyak simbol-simbol keislaman lain di masa beliau ini kita akan sentuh. Terutama dimensi kaitannya dengan Kota Pusaka, saya kira Islamic Center ini sudah menjadi bagian, tapi nanti ada pendidikan Islamnya. Ada nilai-nilai keislaman yang bisa mewarnai seluruh kehidupan kita. baik secara fisik maupun non fisik.

Kemudian sudah harus ada dimensi kreatifnya. Karena kalau benda-benda pusaka kita, yang ada pusaka saujana, pusaka alam, pusaka tanjibel, intanjibel. Kalau kita tidsak lihat dari dimensi kreatifnya. Akan menjadi benda mati, benda statis yang orang melihat apaan ini?

Tapi kalau di negara-negara maju, di daerah lain seperti Surabaya, dimensi kreatif dari karya budaya kota sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya, tanpa harus melunturkan nilai-nilai budayanya. Saya kira Kota Baubau juga dengan sekian banyak peninggalan, harus kita kemas menjadi Kota Pusaka yang kreatif.

--Dimensi ketiga, ekonomi kerakyatan, kaitannya dengan sejahtera, bagaimana bentuknya secara ril?

Ekonomi kerakyatan tentu kita harus dekati dari beberapa segi. Tidak harus semata-semata hanya didekati ini kelompok masyarakat miskin, kemudian individu, head to head kita lihat mereka, kasih mereka. Nanti itu bukan hal yang terlalu mendidik untuk mereka, karena mendekati kelompok-kelompok marginal, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah harus didekati dari semua sisi. Misalnya kita lihat dari sisi sosial budayanynya, bagaimana pendidikan dah kesehatan. Karena itu pangkal dasar masyarakat kelas masyarakat rendah untuk berkualitas bagus hidupnya.

Maka itu, namanya program-program semuanya kita himpun, jadi bukan hanya programnya Pak Wali dengan ekonomi kerakyatannya, hanya itu toh. APBD kita menjadis sesuatu yang terintegrasi dari pendidikan dan kesehatannya, tentu ada stimulan-stimulan langsung seperti itu.

--Orang selama ini mengasosiasi dengan bahasa uang?

Saya kira terlalu kecil kalau kita kalau kita maknai bagaimana UKM hanya uang-uang saja yang kita kasih. Saya kira terlau kecil. Misalnya bagaimana kita selama ini membangun secara spasial, membangun Pantai Kamali, Kotamara, agar mereka masuk, dinamika lebih bagus sehingga omzet mereka lebih besar.

--Jadi konsep besarnya seperti itu?

Saya kira konsep besarnya terintegrasi, kalau diperkotaan, UKM-UKM ini bagaimana ruang dulu. Bagimana ruang ini bisa kondusif untuk mereka bisa berdinamika. Karena pelaku-pelaku usaha kecil itu kan, tidak harus bergantung dari demand-nya, pembelinya. Pembeli ini disamping mau makan, kalau kuliner UKM-UKM kecil kita, dia juga berekreasi menikmati pemandangan dan seterusnya.


--Iklim investasi tetap ditumbuh kembangkan?

Jangan lupa, eknomi kerakyatan memang kata kunci keberpihakan terhadap kelompok di bawah, jangan sampai ini semakin banyak jumlahnya tapi kue besar ekonomi, kecil mereka peroleh. Oleh karena itu kaitannya dengan kelompok ekonomi menengah ke atas harus dijaga. Oleh karena itu ada kemitraan-kemitraan. Ini harus dalam posisi supaya regulasi pemerintah bisa dimainkan, agar ketemu pelaku ekonomi kuat dengan pelaku ekonomi kecil, lemah.

Karena kalau bukan pemerintah yang melakukan regulasi, yang namanya prilaku orang berekonomi kan nafsi-nafsi, prinsipnya sebanyak-banyaknya mendapat keuntungan, tidak ada urusan dengan orang lain. Nah, gunanya negara, pemerintah yang bikin iklim tadi dan regulasi agar yang kuat tetap tumbuh, karena yang menerik lokomotif utama yang besar-besar, tapi jangan maju sendiri, juga harus menggiring yang kecil.

Apa yang harus kita lakukan? Harus ada regulasi, iklim yang kondusif harus diperankan pemerintah.(bersambung)