Selasa, 14 Januari 2014

Cara Singapura Merawat Devisa (2-Habis): 25 Menit, "Tarif" Wakatobi Rp 750 Juta

Catatan: Irwansyah Amunu


SELAIN mengunjungi sejumlah areal wisata, seperti tahun 2005 silam, kali ini kita pun diarahkan pemandu untuk menguras isi dompet. Caranya, dengan menghantarkan kita ke lokasi perbelanjaan untuk beli souvenir di China Town, coklat di Arab Street, dan di Shooping Mall, Mustafa Centre yang buka 24 jam.

Setelah itu, hampir satu jam rombongan diturunkan di Orchard Road untuk melihat kesibukan masyarakat Singapura dan pelancongnya dari seantero dunia yang melapas kepenatan disana. Disini juga merupakan pusat perbelanjaan yang menjual aneka produk bermerek, antara lain Emporio Armani, dan Louis Vuitton.

Berikutnya kita menuju Pulau Sentosa. Sebelum makan malam, disini rombongan menyempatkan diri mengambil gambar di Universal Studios Singapura. Wahana bermain Universal Studios ini dibuka pada bulan Januari 2010, pertama kali dibuka di wilayah Asia Tenggara, dan merupakan yang kedua di wilayah Asia setelah Universal Studios Japan. Kali pertama saya ke Singapura, wahana ini belum ada.

Disini juga terdapat taman bermain bertema film-film terkenal Hollywood produksi Universal Studios. Ada beberapa wahana yang telah dibuka, diantaranya The Lost World, Far and Away, New York, Sci-Fi City, Hollywood Boulevard, Madagascar, Ancient Egypt. Taman ini dilengkapi 30 restoran dan konter makanan, serta 20 kios cendera mata. Harga tiket mulai S$ 32 (untuk manula), S$ 48 (anak-anak) S$ 66 (tiket satu hari dewasa) hingga S$ 118 (dewasa, untuk dua hari kunjungan). Beberapa fasilitas hotel, termasuk Hard Rock Hotel tersedia di sekitar lokasi wisata berkelas dunia ini.

Petualangan di Singapura berakhir dengan pertunjukan spektakuler songs of the sea di dipinggiran pantai Pulau Sentosa. Menurut pemandu, dalam sehari pertunjukan tersebut dua kali pada malam hari, pukul 7.40 pm, dan 8.40 pm. Kalau Sabtu tambahan pukul 9.40 pm. Saat itu kami mendapatkan giliran nonton pukul 8.40 pm.


Durasi sekali pertunjukan hanya 25 menit, tapi penontonnya mencapai 5000 orang. Harga tiketnya S$ 15 (sekitar Rp 150 ribu). Jadi dalam semalam, sekali pertunjukan Rp 750 juta, bila dua kali, omzetnya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Itu dalam semalam, bagaimana kalau sebulan, setahun, dua tahun, dan seterusnya, tentu menembus angka yang fantastis.

Padahal, pertunjukan ini modalnya 12 rumah gubuk, seperti rumah masyarakat bajo yang tinggal di pinggir laut. Suasananya mirip dengan pemandangan rumah masyarakat bajo di Wakatobi. Diramaikan tujuh penari anak-anak. Hanya saja pertunjukannya memadupadankan antara seni teatrikal, pertunjukan air dan kembang api serta lightning yang begitu memukau.

Walaupun hujan, pertunjukan tetap berjalan. Sayangnya tribun penonton tidak dilengkapi atap. Mungkin dimaksudkan agar pandangan kita leluasa melihat pertunjukan yang megah. Soalnya mengkombinasikan antara seni tradisional dan IT super moderen.

Pertunjukan dimulai dengan nyanyian empat bahasa yang didendangkan berturut-turut, masing-masing Bahasa Inggris, Melayu, India, dan China. Dalam bahasa Melayu syairnya mirip lagu berjudul Anak Kambing Saya. Tapi setelah itu kita dibuat kagum dengan tampilan permainan cahaya memukau, gambar kartun diudara yang seolah layarnya terbuat dari air yang dipancurkan, plus suara dentuman disertai nyala api berkali-kali.  

Dalam hati saya berkata, pertunjukan ini "raw material-nya" ada di Indonesia, lebih spesifik lagi di Wakatobi. Sekali tayang durasi 25 menit di Singapura, harganya Rp 750 juta, luar biasa.

Mungkinkah Indonesia atau Wakatobi juga bisa membuat hal yang serupa dan lebih dahsyat?  Suatu hari.(follow twitter: @irwansyahamunu)