Selasa, 07 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (5): Beda Reaksi, Beda Dampak

Catatan: Irwansyah Amunu


BILA Indonesia hingga kini masih harus menanggung dampak krisis 1998, menurut mantan Menko Ekuin Rizal Ramli, hal itu disebabkan kita sepenuhnya menggunakan resep IMF untuk melakukan penyelamatan ekonomi. Padahal, lembaga donor internasional tersebut punya banyak pengalaman buruk dalam menangani kondisi ekonomi sejumlah negara lainnya di dunia. Bukannya mengeluarkan dari masalah, malah sebaliknya kondisi ekonominya semakin terpuruk.

Maka itu, dia mencontohkan tiga negara yang mengalami krisis, melakukan reaksi yang berbeda, maka dampaknya pun beda. Pertama, Korea, begitu menderita krisis, Gubernur Sentral Bank Korea melakukan restrukturisasi utang swasta. Inilah yang membuah negeri ginseng cepat keluar dari krisis.  

Kedua, Malaysia, mantan Perdana Menteri (PM) Mahatir Muhammad saat itu membuat kebijakan ekonomi agar uang dari luar negeri yang sudah masuk tidak boleh keluar, kecuali setelah kondisi ekonomi stabil. Kebijakan tersebut awalnya menuai hujan kritik, di dalam dan luar negeri. Bahkan dia harus berhadapan dengan Wakil PM Anwar Ibrahim yang kala itu lebih tertarik dengan cara IMF.

Di tengah cacian luar negeri, plus kondisi dalam negeri yang bergejolak karena Anwar Ibrahim terkena kasus, namun setelah berjalan satu sampai dua tahun kondisi ekonomi negeri jiran tersebut kembali stabil. Ringgit normal kembali. Akhirnya yang tadinya Mahatir dicaci, berubah dipuji.

Ketiga, Indonesia, menggunakan cara IMF. Padahal Rizal Ramli sudah mengingatkan IMF bukan dewa penyelamat tapi dewa amputasi yang bikin kolaps. Terbukti, ketika resep IMF yang digunakan dengan menutup 16 bank, rakyat tidak percaya dengan bank. Nasabah rame-rame menarik dananya di bank, akhirnya terjadi rush.

Dampaknya, harga barang naik sampai 80 persen, banyak pengusaha bangkrut, dan pengangguran meningkat 40 juta orang. Setelah itu demo meletus di Makassar, menyusul Medan, dan menjalar hingga ke seluruh kota di Indonesia. Puncaknya, Presiden Soeharto tumbang.  

Ironisnya, saat kondisi ekonomi Indonesia sakit, Surat Utang Negara (SUN) nilainya terjun bebas, dari Rp 10 juta menjadi 10 sen, IMF melakukan pembelian. Setelah keadaan mulai membaik, nailainya naik lagi, lantas dijual kembali ke pemerintah. Jadi, IMF untung lagi. Gambarannya penyelamatan yang dilakukan IMF uangnya tidak keluar, tapi ibaratnya hanya berpindah dari kantung kiri ke kantung kanan.

Rizal yang menjabat Menko Ekuin pada masa Presiden Gus Dur ini mengaku pernah didatangi pejabat IMF untuk menyetujui 160 poin kesepakatan antara RI dengan IMF. Dari sebanyak itu, yang disetujuinya hanya 60 poin, selebihnya dicoret. Ironisnya, ketika Boediono menggantikan posisinya, seluruh poin yang pernah dicoretnya, diterima. Akibatnya kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk.

Mengakhiri pemaparannya, pria berkacamata tersebut menyatakan saat ini kondisi ekonomi Indonesia sedang berada pada "lampu kuning" karena menderita quatro-deficits, bila dikelola tidak tepat bisa jadi bakal berubah menjadi "lampu merah". Namun demikian dia mengingatkan, jangan anggap krisis sebagai ancaman, tapi gunakan sebagai peluang.

Ia juga berpesan, yang bisa menyelamatkan bangsa kita, hanya bangsa kita sendiri.(follow twitter: @irwansyahamunu)