Rabu, 08 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (6): Negara Moderen, Cara Primitif

Catatan: Irwansyah Amunu



PENJELASAN Rizal Ramli saat pemaparan begitu cair. Apalagi pada sesi tanya jawab, uraiannya lebih detil lagi. Seolah waktu yang berlalu dua jam lebih terasa singkat.

Menjawab pertanyaan pertama, kenapa Indonesia mem-bailout Bank Century, Rizal menduga tujuan bailout Bank Century hanya untuk pendanaan kampanye pada Pemilu tahun 2009. Soalnya terdapat sejumlah kejanggalan, antara lain penggelontoran dana sebesar Rp 6,7 triliun tidak dilakukan sekaligus, tapi bertahap selama setahun.

Menurutnya, kalau memang ingin menyelamatkan bank, harusnya dicairkan sekaligus, tapi faktanya kebalikannya. Kemudian, bila mau menyehatkan Bank Century, mestinya yang dibayarkan dananya deposan (nasabah deposito) terbesar di Bank Century, yakni Boedi Sampoerna sebesar Rp 1,5 triliun, bukan Rp 6,7 triliun.

Digunakan dana sebesar Rp 6,7 triliun, kata Rizal karena setelah ditelusuri, rupanya Bank Century tidak memiliki aset. Ibaratnya franchise, buka cabang dimana-mana, tapi seluruh gedungnya disewa, bukan itu saja hingga komputer, meja, dan kursi yang digunakan, dirental. Makanya, ketika hendak diselamatkan, pemerintah harus menanggung seluruh biaya tersebut.

Yang membuat Rizal Ramli tidak habis pikir, mengapa pemerintah mempercayai pemilik Bank Century, Robert Tantular. Sementara bapak Robert Tantular bernama Hashim Tantular (Tan Tiong Sim) juga punya raport merah dalam mengelola bank yang dibuka di Makassar, karena banknya juga tutup.  

Lantas mengapa harus Bank Century? Rizal menjelaskan karena saat itu yang dicari hanya "ember bocor" untuk menampung dana tersebut, dan Century siap. Sebab, sebelumnya yang dilirik Boediono adalah Bank Indover.

Dia lantas menceritakan kisah menarik soal percobaan perampokan Bank Indover oleh Wakil Presiden Boediono ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia. Boediono pernah diancam Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, Antasari Azhar. Kejadian ini terjadi sekitar dua pekan sebelum bailout Bank Century.

Menurut Rizal, saat menjabat sebagai Gubernur BI tahun 2008, Boediono pernah meminta izin kepada DPR dan KPK untuk mem-bailout Bank Indover. Bahkan Boediono juga telah mempresentasikan ke DPR soal dampak ekonomi yang bisa melanda Indonesia jika Bank Indover tidak disuntik dana Rp 5 triliun.

Nah, setelah melakukan presentasi di DPR, lanjut Rizal, Boediono menemui Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar untuk menggolkan niatnya mem-bailout Bank Indover. Sayangnya, rencana itu ditolak mentah-mentah Antasari. Sebaliknya yang terjadi, Antasari mengancam akan menangkap Boediono jika BI benar-benar mem-bailout Indover.

Boediono lupa kalau Antasari mantan asisten Jaksa Agung Marzuki Darusman, waktu itu Indover bermasalah, dan Marzuki pergi ke Belanda untuk cek, aspek kriminal. Faktanya, lanjut Rizal, cerita Boediono soal bahaya seandainya Bank Indover kolaps tak sejalan dengan pernyataan gubernur bank Belanda, karena pemerintah Belanda sudah menangani permasalahan Bank Indover dan dipastikan kalaupun bank itu kolaps, tidak akan berdampak pada Indonesia. Gubernur Central Bank Belanda bilang tidak ada apa-apanya karena ini sudah dijamin.

Nah, di balik cerita ini, tegas Rizal Ramli, maka ide mem-bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun hanya kebohongan saja, karena Boediono saat itu pernah gagal merampok Bank Indover.

Terkait ketergantungan Indonesia terhadap asing juga dikritik Rizal Ramli. Sebaliknya, pria berambut ikal ini mengaku pernah mempertemukan Presiden SBY dengan ahli ekonomi dunia, peraih Nobel, Stiglitz. Kebetulan saat itu sedang dilakukan pembahasan UU Investasi di DPR, Stiglitz menyarankan agar Indonesia jangan memasukkan pasal terkait sengketa dengan perusahaan asing dibawa ke arbitrasi internasional. Sebab berdasarkan fakta, selama ini bila negara miskin dan berkembang membawa masalah investasi dengan perusahaan asing ke arbitrasi internasional, sekitar 99,9 persen dimenangkan perusahaan asing.

Hasil pertemuan tersebut, kata Rizal, SBY sepakat dengan saran itu. Namun anehnya ketika UU Investasi disahkan dewan, pasal tersebut masih ada.

Salah satu cara penyelamatan ekonomi Indonesia, menurutnya aset sekitar 180 BUMN seluruhnya dievaluasi. Setelah direvaluasi, hal tersebut bisa menguntungkan nilai aset perusahaan pelat merah tersebut. Ini sangat membantu ekonomi Indonesia utamanya dalam mengerakkan sektor ril.

Hal lain, Rizal menunjuk APBN Indonesia senilai Rp 1800 triliun selama ini tidak begitu dirasakan rakyat. Pasalnya, setengahnya digunakan untuk bayar utang, sepertiganya untuk anggaran rutin, dan Rp 400 triliun untuk modal. Anggaran modal ini digunakan untuk bangun infrastruktur dan beli mobil. Padahal, biaya pemeliharaan satu mobil selama lima tahun sama dengan harga satu mobil.

Menurutnya, pemerintah lebih baik rental mobil dan sewa gedung dari pada beli, karena lebih efisien. Efisiensi dana tersebut selama lima tahun digunakan untuk membangun rel kereta api di Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Anggarannya bisa terkumpul sebanyak USD 20 miliar, tuntas menyelesaiakan pembangunan rel kereta api di Indonesia.

Transportasi massal tersebut juga digunakan untuk mengangkut komuditas pertanian dan pertambangan. Dengan demikian bisa memberikan nilai tambah langsung bagi seluruh rakyat. Bisa lihat contoh seluruh negara Eropa, bahkan China membangun rel kereta api untuk memperkuat ekonominya. Jadi, kalau ingin menjadi negara maju harus membangun sarana transportasi itu bukan hanya di Jakarta, taapi di seluruh Indonesia.  

Dia menyebut fakta, dengan mengandalkan moda transportasi saat ini, biaya untuk mengangkut satu tandan kelapa sawit misalnya, sama dengan satu tandan kelapa sawit (rasio 1:1). Tapi bila menggunakan kereta api, rasionya 20 tandan kelapa sawit, harga angkutanya hanya satu tandan.

Maka itu, jangan heran, saat ini batu bara kita di Kalimantan masih diangkut menggunakan kapal, karena kita belum memiliki rel kereta api di sana. Menurutnya, hal itu adalah cara primitif.(follow twitter: @irwansyahamunu)