Kamis, 09 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (7): Filosofi Anak Kos

Catatan: Irwansyah Amunu


SELANJUTNYA ketika mantan Menko Ekuin Rizal Ramli menjelaskan soal berkah ketika rupiah melemah, maka yang diuntungkan pula adalah para politikus dan bakal calon presiden. Sebab kebanyakan mereka menyimpan uangnya dalam bentuk dolar, ketika mata uang kita lemah, cadangan dananya dalam bentuk rupiah, naik. Hal tersebut secara otomatis meringankan anggaran politiknya pada 2014 ini.

Di hadapan ratusan peserta Raker akhir tahun Jawa Pos Grup, di bawah naungan Fajar, Rizal Ramli juga membeberkan pengalamannya ketika meningkatkan produktifitas sejumlah BUMN. Diantaranya saat memperbaiki kinerja Semen Tonasa dan Gresik. Mulanya dalam setahun kegiatan produksinya hanya 250 hari, namun pada masanya dinaikan menjadi 300 hari. Termasuk melakukan kompetisi harga antara keduanya, akibatnya keuntungan dua perusahaan tersebut naik 20 kali lipat dari semuala. Bahkan Semen Gresik mulanya berada diperingkat 20-an, saat itu pernah menembus BUMN urutan ke-4 nasional, mengalahkan sejumlah BUMN lainnya.

Bukan hanya itu, PLN juga pernah diselamatkan dengan cara melakukan restrukturisasi. Mulanya menderita utang Rp 9 triliun, namun setelah ditempuh mekanisme tersebut, PLN berubah untung, karena lebih besar jumlah asetnya dibandingkan utang.

Namun demikian, dia menyatakan tugasnya belum selesai soal terkait pembagian dana dari pusat ke daerah. Mengacu UU Desentralisasi, hitungan pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. Kalau ini yang terus digunakan, maka daerah di luar Pulau Jawa menerima gelontoran dana dari pusat, kecil. Sebab, Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar dibandingkan dengan pulau lainnya di nusantara.

Mestinya UU Desentralisasi diubah, luas daerah bukan hanya menghitung daratan, tapi juga wilayah laut. Kedua, daerah penghasil mineral juga memiliki hitungan persentase tersendiri. Dengan demikian, Sultra sebagai salah satu penghasil mineral bisa mendapatkan alokasi DAU yang lebih banyak lagi.

Terkait hal itu, dia minta kepada media di bawah naungan Fajar bisa memperjuangkannya. Diakui, sebagai salah satu pencetus UU Desentralisasi, rancangan pertama masih banyak kekurangan karena saat itu disusun dengan asumsi untuk disempurnakan di kemudian hari. Karenanya, saat ini harus segera dibenahi.

***

Yang menarik, saat Rizal Ramli menceritakan pengalamannya ketika menjabat Kepala Bulog. Mengawali penjelasannya dengan menyebut semua mantan Kepala Bulog karirnya berujung di jeruji besi. Hanya dua yang bisa selamat dari penjara, dia dan Jusuf Kalla (JK).

Dia mengulas, pada era Orde Baru, dua BUMN yang merupakan tempat basah, disebut sebagai Raja di Indonesia, Bolog dan Pertamina. Khusus di Bulog, Rizal mengaku dalam setahun bisa mendapatkan keuntungan sampai USD 10 miliar atau setara Rp 10 triliun. Menariknya, ada dana non-budgeter Bulog hanya diketahui dua orang, Kepala Bulog dan presiden setahun sebanyak Rp 2 triliun.

Peserta Raker semakin terperangah ketika Rizal Ramli menyebut istilah beras "Spanyol" alias Sparuh Nyolong. Ia menggunakan istilah tersebut karena diduga praktek ini terjadi di Bulog. Caranya membeli beras petani Indonesia dengan harga murah, lantas tiba-tiba terjadi kelangkaan pangan dalam negeri. Kemudian dikeluarkan kebijakan impor beras dari luar negeri. Jadi, seolah-olah berasnya dibeli dari luar negeri, namun kenyatannya sudah ada beras tadi yang disimpan, lantas dibeli lagi dengan harga berlipat dari pembelian awal.

Di matanya, impor beras sebetulnya tidak perlu dilakukan. Untuk membuat basis pangan, salah satunya dengan membangun lima waduk di Sulsel, ini bisa menghasilkan beras sebanyak empat juta ton per tahun. Belum lagi dengan daerah lainnya di Indonesia yang tergolong sentra beras.

Bulog, kata Rizal harus dibenahi. Sebab sejarah 20 konglomerat top di Indonesia tidak ada yang hebat tanpa bantuan Bulog. Kedua, di Bulog, ada "daerah basah" dan ada "daerah kering". Ketika menjabat Kabulog, Rizal lantas melakukan pertukaran antara tempat basah dan kering. Salah satunya, ia mutasi Kabulog Jabar "daerah basah" menjadi Kabulog Sultra "daerah kering", sebaliknya dari Kabulog Sultra ke Jabar. Begitupula antara Kabulog Jatim dengan salah satu Kabulog di Kalimantan. Hasilnya, terjadi signifikansi peningkatan pendapatan Bulog. Buktinya, dana keuntungan dari terobosannya tersebut digunakan pemerintah untuk membeli pesawat Sukhoi buatan Rusia.        

Terkait "daerah basah" dan "daerah kering", Rizal Ramli mengaku menyampaikan rumus tersebut kepada Gubernur DKI, Jokowi ketika minta pendapatnya untuk menata Jakarta. Dari ilmunya itu, Jokowi lantas memutasi Walikota Jaksel menjadi Kepala Perpustakaan, termasuk Kasat Pol PP, dari "daerah basah" ke "daerah kering".  

Kembali ke persoalan beras, kendati Rizal Ramli mengaku pernah dipenjarakan Presiden Soeharto selama satu setengah tahun, tapi dia salut kepada mantan Presiden RI ke-2 tersebut dari aspek perhatian terhadap petani. Sebab, rasio antara harga pupuk dan gabah selalu dijaga, 1 : 1,5. Dengan begitu petani masih bisa untung. Namun yang terjadi sekarang, rasionya 1 : 1, dengan kata lain keuntungan petani tidak ada.

Jadi, menyelamatkan Indonesia sebetulnya tidak perlu ilmu hebat, tapi yang dibutuhkan adalah keberanian dan komitmen untuk rakyat.

Dia lantas mengkritik pinjaman utang Indonesia sebesar Rp 300 triliun untuk melakukan penyelamatan ekonomi dengan melakukan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Apalagi, utang tersebut dananya justru banyak yang masuk ke bank-bank asing. Bandingkan dengan Jepang dan China yang menjadi raksasa ekonomi dunia tanpa modal asing, tapi menggunakan keberanian politik.

Beda dengan Indonesia, kata Rizal, diibaratkan seperti mahasiswa yang indekos. Kalau tidak ada uang, utang. Kalau sudah habis uangnya, dia jual apa yang menjadi miliknya, mulai dari hanphone, baju, bahkan celana. Sama dengan negeri kita yang juga sudah menjual aset-aset berharganya kepada asing.(follow twitter: @irwansyahamunu)