Jumat, 10 Januari 2014

Optimisme 2014 dari Batam (8): Visi yang Utama, Popularitas Terakhir

Catatan: Irwansyah Amunu




PADA bagian akhir sesi tanya jawab dalam Raker yang dihadiri ratusan peserta dari media dan non media Jawa Pos Grup dibawah naungan Fajar Grup, mantan Menko Ekuin Rizal Ramli mengulas kesuksesan sejumlah pemimpin dunia. Pertama, mantan Presiden Korea Selatan, Park Chung Hee yang sukses membuat pondasi ekonomi negeri ginseng tersebut kuat sehingga kini menjadi raksasa ekonomi.

Kebijakan ekonomi Park Chung Hee, menyiapkan sekitar 50 pengusaha. Dari sebanyak itu, dibagi-bagi lagi klasifikasinya, antara lain lima orang menekuni industri teknologi elektronik, tiga orang bikin mobil, dan selebihnya bidang spesifikasi lainnya. Mereka diberikan kepercayaan untuk menjual produknya kepada masyarakat Korea selama lima tahun. Setelah itu, produknya dijual ke masyarakat internasional dan harus laku.

Jangan heran dengan kebijakan tersebut kini Korea menjadi salah satu "macan ekonomi" Asia bahkan dunia. Salah satu buktinya, teknologi elektronik merek Samsung bisa mengalahkan merek ternama Amerika dan Eropa, sekaliber Nokia, Blackberry, hingga Apple. Bukan itu saja, banyak merek buatan Korea laris manis  dan bisa ditemukan disejumlah negara lain di dunia.

Mantan Presiden Soeharto, kendati terlambat melakukan industrialisasi, namun sudah berupaya menugaskan kepada kroni pengusahanya untuk membangun sejumlah pabrik di Indonesia. Ditengah sisi negatif Soeharto, kata Rizal Ramli, Soeharto tetap memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil.

Beda dengan penguasa sekarang, yang hanya "terima setoran" dari Sengman, atau Bunda Putri. Termasuk menjadikan karakter ekonomi Indonesia mengarah ke neolib. Padahal mantan Presiden Soekarno sudah berpesan, neoliberal adalah pintu masuk neokolonialisme. Maka itu, kalau banyak merek Korea kita jumpai di dunia, Indonesia yang ada dimana-mana hanya Supermie dan Tolak Angin.

Dampak dari kebijakan ekonomi yang neoliberal, maka struktur masyarakat ibaratnya seperti gelas anggur. Di bagian atas, 200 konglomerat menikmati banyak aset, di tengah, kalangan mengah tidak begitu besar jumlahnya yang merasakan, ironisnya sekitar 80 persen rakyat miskin berada dilapisan bawah menderita. Seharusnya diubah, menggunakan filosofi piramida terbalik, rakyat kecil dibagian terbawah harus lebih banyak menikmati kekayaan Indonesia.

Salah satu caranya, dia teringat dengan sarannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika terpilih sebagai presiden pada 2004 silam untuk membangun proyek perkebunan kelapa sawit. Tekniknya digalakkan kembali program transmigrasi, rakyat diberikan tanah untuk menanam sawit.

Itu yang dilakukan Mahathir Muhammad di Malaysia, masing-masing warganya diberi tujuh hektar tanah dikasih credit cost of living, sehingga dalam lima tahun rakyat Malaysia menjadi kaya. Karena kebijakan Mahatir tersebut, Pemerintah Malaysia akhir membutuhkan dan memanggil jutaan rakyat Indonesia untuk bekerja di kebun-kebun sawit mereka.

Dia hitung pada waktu itu, kalau dilakukan, jutaan tenaga kerja akan bekerja di kebun sawit di seluruh Indonesia. Sehingga kita nggak usah ekspor TKI. Bahkan sebaliknya kita panggil orang Pakistan dan Bangladesh bekerja di Indonesia.

Hal lain dengan meningkatkan nilai tambah komuditas masyarakat. Dia yakin dengan kemampuan rakyat Indonesia dalam bidang seni kerajinan. Ditempuh dengan memperbaiki marketing, produk desain, dan menambah nilai seni. Terbukti, sebelumnya kerajinan batik yang hanya menampilkan warna dasar, kini kreasi dengan aneka warna sudah lebih mendominasi, dan omzetnya meningkat drastis.  


***

Rizal Ramli optimis banyak problem yang menimpa Indonesia, menyelesaikannya tidak butuh dana, tapi keberanian dan kemauan politik yang kuat. Pria berambut ikal ini lalu menceritakan pengalamannya menyelamatkan BII. Pernah bank tersebut kehilangan kepercayaan nasabah, dalam sehari dana yang ditarik sebanyak Rp 500 miliar. Untuk memperbaiki keadaan, dia minta Edi Neloe, pimpinan Bank Mandiri dan Gubernur BI, Anwar Nasution kala itu seolah-olah mengambil alih BII. Padahal modalnya hanya pidato ke publik terkait pengambil-alihan, sementara faktanya kedua bank tersebut tidak menggelontorkan dana sepeser pun ke BII.

Skenario tersebut dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan nasabah kepada bank. Terbukti, enam bulan setelah itu, dana nasabah yang ditarik dikembalikan lagi ke BII.

Terakhir, Rizal Ramli berpesan lahirnya seorang pemimpin tidak bisa direkayasa. Untuk menjadi pemimpin harus memiliki empat kriteria, pertama, visi, kedua, karakter, ketiga, kompetensi, dan keempat, popularitas. Bukannya dibalik, kriteria keempat, popularitas menjadi kriteria pertama. Kalau ini kita lakukan, maka Indonesia: will not the next China, but the next Philipina. (Indonesia tidak akan menjadi China berikutnya, tapi Filipina berikutnya).

Mengapa? Sebab di Filipina memilih pemimpin yang utama adalah popularitasnya. Maka itu, di sana mantan artis, atau petinju bisa menjadi pemimpin, yang penting populer, padahal tidak punya kemampuan.(follow twitter: @irwansyahamunu)