Minggu, 06 April 2014

Elektabilitas: Kualitas atau Isi Tas?


Catatan: Irwansyah Amunu

MASA kampanye berakhir. Tahapan Pileg kini memasuki masa tenang.

Setelah fase jual diri melalui program selesai, sekarang semua Caleg saatnya menyusun strategi terakhir untuk bisa dipilih pada hari H, Rabu (9/4), lusa. Yang menarik, kini perbincangan bergeser dari hiruk pikuk kampanye menjadi berapa banderol yang disiapkan para Caleg untuk menggoda iman pemilih.

Ada yang terjun langsung, ada pula menggunakan peluncur di lapangan. Angka yang disebut beragam, mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu per kepala.

Kenapa "pasali" atau "serangan fajar" yang dijadikan standar? Sebab, belajar dari kecenderungan politik selama ini yang diyakini publik dan politisi, kalau ingin dipilih, maka tidak cukup dengan omong doang, tapi yang terpenting adalah "tanda jadi".

Jangan heran kalau ada politisi yang kebetulan menguji peruntungan dengan maju dalam bursa Pilcaleg kali ini sempat mengeluh ke saya. Dia mengaku telah melakukan blusukan ke pemilih di daerah pemilihannya. Apa aspirasi yang diserap? Bukan harapan dan program yang dititipkan tapi rata-rata pemilih menanyakan berapa dana yang disiapkan untuk hari H nanti. Inilah yang membuatnya lesu, sebab dia mengaku modalnya pas-pasan.

Mengapa hal tersebut menjadi tradisi? Sebab selama ini budaya tersebut terpelihara. Sayangnya kendati hal tersebut sudah menggejala, namun terkondisi terus karena sulit disentuh oleh KPU, Panwaslu, dan stakeholder Pemilu lainnya. Ibarat orang buang angin, bau busuknya tercium namun tidak bisa dipegang.

Praktek inilah yang membuat banyak orang menilai elektabilitas atau keterpilihan seseorang di dewan sebetulnya bukan ditentukan oleh kapasitas, kualitas, dan kapabilitas. Tapi yang menentukan adalah isi tas alias faktor duit. Sehingga yang terpilih menjadi Aleg (anggota legislatif) umumnya yang paling banyak modal, kalau kere jangan mimpi. Kalaupun ada yang berhasil duduk, hanya keruntungan saja, peluangnya sangat kecil.

Padahal, kalau diukur dengan bayaran, sebetulnya transaksi politik ini sangat murah. Harga pemilih per kepala hanya Rp 55 (kalau dibanderol Rp 100 ribu) dan Rp 137 (banderol Rp 250 ribu). Lebih mahal harga sepotong roti dari ongkos pemilih.

Selain itu, modus lain yang digunakan untuk merebut kursi dengan cara memanfaatkan celah mulai dari pembagian surat panggilan hingga penghitungan suara. Pada wilayah ini yang digoda penyelenggara Pemilu.

Teknik yang digunakan dengan memanfaatkan surat suara yg tidak terpakai biasanya surat suara sisa dicoblos untuk Caleg tertentu. Caranya, bisa menggunakan penyelenggara Pemilu atau pemilih siluman yang bergerak ke mana-mana ditugaskan untuk menggunakan surat suara sisa.

Jurus lain, Caleg yang merasa tidak bisa duduk di dewan, ditengarai "menjual" suaranya kepada Caleg tertentu yang separtai dan se-Dapil dengannya untuk mengatrol suara Caleg tersebut. Hal ini juga tidak mudah, kuat dugaan melibatkan elemen penyelenggara Pemilu.

Pendek kata, modus inilah yang paling lazim digunakan setiap kali pesta demokrasi. Jadi, kalau semuanya berjalan terus tanpa kontrol dan monitoring ketat dari rakyat dan setiap pemangku kepentingan, maka yang terjadi Aleg yang akan kembali bertakhta adalah yang bermodal kuat.

Maka jika muncul pertanyan, elektabilitas: kualitas atau isi tas? Jawabannya pasti kita sudah mafhum bersama. Dan kalau ini terus terjadi, kasihan lembaga legislatif, jauh dari mutu yang diharapkan. (Follow twitter: @irwansyahamunu)