Hindari Gesekan, Sara Difungsikan




SEBAGAI daerah yang 97 persen diliputi laut, Wakatobi termasuk daerah yang unik. Kendati tergolong anomali, namun hal ini menjadi kekuatan daerah yang dipimpin duet Hugua-Arhawi bersama kabinetnya.

Laporan: Irwansyah Amunu dan Rusdin, Wangiwangi     

SEKAB Wakatobi Sudjiton menguraikan banyak hal terobosan daerah Kepulauan Tukang Besi tersebut. Berikut petikan lanjutan wawancaranya.   


--Civilisasi, penonjolannya bidang maritim, sudah sejauh mana yang dilakukan pemerintah daerah untuk bidang ini?


Ya, jadi saya kira itu tadi karena wilayah Wakatobi ini 97 persen laut, hanya tiga persen daratannya, oleh karena itu budaya maritim dalam artian luas bagaimana warga masyarakat ini pertama, cinta dengan pesisir dan lautnya. Makna mencintai itu adalah bagaimana mengambil manfaat dari posisi dan laut itu baik manfaat ekonomi maupun sosial secara seimbang, artinya jangan mengeksploitasi sampai dikeruk sedemikian atau diambil manfaatnya diluar ambang batasnya. 

Pasir ini kan kalau tidak ada regulasi, tidak ada kebijakan untuk sedikit mengerem penggunaan pasir, tempo lima tahun ke depan sudah habis pasir-pasir di antar pulau ini. Kalau habis bisa memutus mata rantai kehidupan, memutus keanekaragaman tadi. Karena itu salah satu contoh kecil bagaimana melakukan regulasi agar masyarakat yang menambang pasir mengambil di alur-alur pelayaran. Sehingga juga ada dua fungsi disitu, fungsi untuk mengambil manfaat ekonomi dan fungsi memperdalam arus pelayaran kita di empat pulau ini.

Kemudian kami diakhir tahun kemarin menghasilkan peraturan bupati tentang perusahaan-perusahaan kontraktor yang nanti akan membangun disini menggunakan pasir kali kalau istilah kita. Sehingga regulasinya diharga satuan pasir sudah dinaikan tiga kali, dari 180 kalau saya tidak salah, sekarang kami tetapkan hampir 500.

--Karena dari luar Wakatobi?

Karena dari luar, supaya nanti tidak menjadikan high cost (biaya mahal) buat pengusaha yang nanti melakukan pembangunan disini. Kalau daerah pastilah kalau namanya mensubsidi, supaya ekosistem pesisir dan laut kita tetap terjaga sehingga mata rantai kehidupan pesisir dan laut terjaga. 

Masyarakat juga sudah harus dididik agar bagaimana mereka mulai tidak lagi terlalu mengambil manfaat yang merusak daya dukung pesisir dan lingkungan laut kita. Termasuk juga pemboman ya. Cara-cara tradisional untuk mengambil ikan di laut kan dulu-dulu membom, potas dan sebagainya. Nah ini sudah kita konversi. Kan yang mekukan itu hanya berapa, mungkin hanya 20, 30-an orang. Nah itu dipanggil, kita konversi untuk bagaimana mereka melakukan cara penangkapan ikan dan sebagainya bisa berpindah, ada yang dive master, bahkan dia lebih banyak dapat pendapatan ya dari dulu sebagai pengebom, merusak, berubah menjadi penuntun selam. 


--Benturan kerasnya masuknya perdaban dari luar merupakan salah satu yang tidak bisa dielakkan. Bagaimana dengan kesiapan masyarakat?

Saya kira pastilah yang namanya dampak-dampak ini kan namanya peradaban ini tarik-menarik atau akan terjadi kalau di Huntington akan terjadi gesekan perdaban. Dan biasanya pemenangnya adalah peradaban yang mengandalkan kearifan lokal. Banyak contoh daerah-daerah bahkan negara-negara yang tetap eksis kemoderenannya tapi diletakkan pada kearifan lokal negara itu. Jepang, Korea, kan siapa yang menyangsikan bahwa negara itu negara-negara yang memang menduduki dari kemajuannya adalah negara terkemuka di dunia. Bali misalnya bagaimana perbenturan budaya Barat dan budaya lokal mereka tidak terlalu ditarik untuk mengikuti ke Barat. 

Nah kita nanti, kita selalu diskusikan bahwa tidak mungkin juga kita menutup diri, namanya di daerah apalagi kabupaten/kota, propinsi tidak bisa lagi menutup diri, tetapi tentu saja didalam perbenturan peradaban tadi terus terang saja kita juga bagaimana memperkuat nilai-nilai adat-istiadat, kearifan-kearifan lokal tadi agar menjadi budaya, dan peradaban lokal kita. Sehingga ketika ada orang datang nanti, bukan dia membawa peradabannya sendiri, tapi datang kemudian menyesuaikan dengan peradaban lokal yang ada.            

Apa yang kita lakukan hari ini, pertama, dari Pak Bupati sejak saya datang ke sini sebenarnya sementara berjalan kita memfasilitasi lembaga-lembaga institusi-institusi budaya lokal yang dulu pernah eksis. Maka disini dalam proses-proses pengambilan keputusan yang strategis peranan-peranan lembaga adat sudah mulai difungsikan. Disini kan sudah mulai eksis Sara Mandati, Wance, Kapota, dan Liya. Kemudian di Kaledupa, saya kan putra asli Kaledupa, kita sudah diskusikan dengan orang-orang tua kita disana dengan komunitas-komunitas, elemen-elemen masyarakat di sana sebentar lagi ada pengukuhan Sara Barata.

Sara Barata ini bukan bernostalgia bahwa kita pernah ada, tetapi apa yang masih relefan penguatan Sara Barata ini untuk menjadi wadah-wadah pengambilan keputusan masyarakat. Terutama yang terkait langsung dengan masa depan masyarakat kita. Jadi bisa kita bayangkan kalau hari ini kita melarang pengambilan pasir, mereka mengatakan sejak nenek moyang kita dulu kalau melaut kita ambil. Bayangkan kita bilang tidak boleh lagi, kan antara pemerintah dan masyarakat pasti akan gesekan. Tetapi kalau itu sudah diwadahi institusi lokal yang namanya Sara, maka dengan institusi itulah kita coba bangun komunikasi, diskusi, dan kita cari jalan keluarnya yang paling arif. Dan ternyata memang ampuh sekali.

Disini diawal-awal menurut Pak Bupati, meletakkan PLTU Sombu setahun dua tahun susah sekali. Tetapi setelah didudukkan di Sara, tidak ada lagi. Ayo pak untuk kepentingan umum kita bisa. Memang berproses lah, pasti ada kendala disana sini, tetapi keinginan sebagian besar orang-orang tua kita menginginkan bahwa itu tetap eksis lagi. Nah tentu eksisnya institusi-institusi sosial masyarakat ini tidak kita perhadapkan dengan istitusi pemerintah formal. Mereka juga kan sebenarnya diakui dalam undang-undang bahwa kearifan-kearifan lokal diposisikan sebagai institusi yang diakui negara. Nah disni kan namanya tanah-tanah adat masih banyak dikuasai Sara. Tanah adat kan tanah negara, ketika pemanfaatannya untuk kepentingan yang lebih besar maka pemerintah bisa masuk ke sana, bisa berdiskusi kita membangun relasi dengan adat. Jadi, masih banyak kepentingan-kepentingan umum ke depan dimana kalau institusi-institusi sosial ini bisa  utuh di masyatrakat maka inilah nanti yang menjadi wadah, relasi-relasi pemerintah untuk bagaimana membangun terutama diwilayah-wilayah terkait dengan alam, misalnya tanah, pesisir, laut.           


--Di Bali, selain aspek budaya, aspek fisik juga disentuh dengan banguna bercorak budaya Bali, apakah hal itu akan disentuh juga di Wakatobi?


Ya, saya kira pastilah karena wujud fisik itu sebenarnya pengungkapan dari nilai, memang kita disini belum terlalu kelihatan secara fisik bagaimana nilai-nilai kearifan itu berwujud, tetapi gagasan-gagasan untuk memfisikkan membentuk fisik dari nilai-nilai kearifan itu, kemarin kita ingin merancang masjid raya, ketika sudah reklamasi, dan saya sampaikan kepada teman-teman yang merancang ini agar bagaimana bangunan itu penuh dengan nilai, makna, karena muatan keindahan bukanlah pada bangunan yang megah secara fisik tanpa ada makna, tetapi akan lebih kuat kalau bangunan itu mencerminkan makna-makna. Makna-makna itu tentu digali dari kekayaan adat istiadat budaya dimiliki daerah kita ini. Misalnya bagaimana simbol kemaritiman, bagaimana simbol masyarakat Wakatobi yang satu kata dengan perbuatan.  
             

---Bentuk fisiknya seperti apa?

Ya, tentu, tapi nuansa-nuansa agamis tetaplah yang namanya masjid. Tapi bentuk fisik yang mau kita internalisasi ke bentuk-bentuk itu pastilah harus. 


---Untuk tahun ini dimensi apa yang lebih dijadikan sebagai penguatan untuk pembangunan karena dana terbatas, kemudian pembangunan jangka panjang, tentu setiap tahun ada penonjolan2. Kalau tahun ini penonjolannya dimana?


Ya jadi dievaluasi akhir 10 tahun Pak Bupati, sudah mengindikasikan sebenarnya kemana ini, pada tahun ke-11, ke-12 nanti, beliau ini kan lagi dua tahun ini, nah tentu dari cara pandang beliau, sekarang ini ibaratnya manusia itu sudah sempurna, ada kepalanya, tangan, kaki, tapi suoaya cantik harus kita bedaki, harus ada gincunya. Jadi kita sudah pada area itu. Karena apa? Karena promosi daerah sudahlah, sudah tersebar kemana-mana, kemudian infrastruktur, saya kira kalau uuntuk orang datang ke sini sudah tidak terlalu susah, sudah ada bandara. Kemudian jalan-jalan lingkar untuk empat pulau ini sudah hampir rampung semua. Nah sekarang ini arahannya Pak Bupati bagaimana ibukota ini sudah mencirikan sedikit kekotaan. kemudian bagaimana warga masyarakat sudah mencirikan perkotaan, nah inilah. Karena nanti akan menyambut tadi masyarakat yang datang dengan peradaban luarnya kalau kelas menengah keatas pasti peradaban kekotaan. Nanti berinteraksi dengan masyarakat sini tentu kita tidak mungkin bertahan terus dengan karakter pedesaan, tapi juga harus dengan karakter kekotaan.     
   
Kita bukan dalam artian ketarik dalam budaya kekotaan, tapi kalau budaya itu misalnya budaya keindahan itu kan sangat universal, nyaman, bersih, budaya kota yang juga sangat universal dan tetap dinginkan siapa saja.



---Artinya cita rasa budayanya ada disana?
  
Ya, jadi asesoris ya melengkapi asesoris kota, ruang-ruang terbuka hijau, bagaiamana persampahannya, drainasenya, kemudian bagaimana pesisir ditata, sehingga istilah kita dulu water front city karena juga bersentuhan dengan pesisir kita. 

---Rumah menghadap ke laut?

Ya, rumah menghadap ke laut kita juga ditahun 2003 di Baubau kan berfikir begitu kita menggagas, orang banyak menyaksikan tapi setelah dari tahun ke tahun, kita juga desainnya sudah ada. Tetapi penzonasian untuk fungsi-fungsi zonasi itu lebih berat nanti untuk fungsi apa, kita sementara diskusikan. Tetapi mulai dari panjang kurang lebih 40 kiloan pesisir ini untuk ibukota ini mulai dari Liyamawi sampai Patuno, jadi zonasi-zonasinya tentu kita lihat sesuai dengan karakter masing-masing karena ini kan eksistingnya tidak dari bleng, tidak dari nol, tetapi eksisting sudah ada aktivitas disana, sudah ada pemukiman, kan tidak mungkin kita gusur. Jadi diposisi ini kita juga membangun, memperbaiki, kemudian menggusur masyarakat tetap kita sesuaikan dari eksisting dari zonasi-zonasi sementara kita kerjakan.(***)