Minggu, 20 April 2014

Tuyul Pemilu




AKHIRNYA pleno penghitungan suara naik ke level KPU. Bukannya masalah semakin kecil, malah sebaliknya persoalan semakin banyak.

Tengok saja sejumlah Caleg dan Parpol kontestan Pemilu keberatan karena merasa perolehan suaranya tidak sesuai dengan data yang mereka miliki. Tak heran kalau Arifuddin, Caleg Gerindra di Dapil Baubau I merasa dicurangi, atau PDIP yang berencana membawa persoalan hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Isu mengenai hilangnya suara memang sudah terdengar sejak perhitungan suara ditingkatan TPS. Karena sulit menemukan siapa yang bermain hingga suara hilang, maka ada yang mengatakan hal tersebut dilakukan "Tuyul Pemilu". Sebab sudah menjadi pakem masyarakat, mahluk halus jenis tuyul kerjanya mencuri atau menghilangkan uang secara gaib.

Nah itu kalau berkaitan dengan materi, namun di Pemilu berhubungan dengan perolehan suara. Makanya disebut sebagai "Tuyul Pemilu".

Maka itu, beberapa Caleg atau Parpol yang mengkalkulasi bisa duduk di kursi dewan, tiba-tiba kursinya hilang jatuh ke tangan orang lain. Bisa sesama Caleg disatu Partai, bahkan yang lebih parah diambil Caleg dipartai lain.

Menariknya, untuk praktek seperti ini, sejumlah Caleg dimintai dana hingga ratusan juta rupiah untuk mengamankan suaranya. Jika tidak menyetor, bisa bernasib apes, sebab harapan untuk menjadi anggota dewan terancam hilang.

Kalau seperti ini tabiatnya, kita patut bertanya sudah sedemikian parahkah sistem demokrasi Indonesia? Lantas dimana KPU? Kemana Panwas? Apakah mereka buta, tuli, dan bisu sehingga tidak bisa berbuat apa-apa?

Bila "Tuyul Pemilu" tetap dipelihara, maka jangan berharap pesta demokrasi menghasilkan legislator berkualitas. Sebab inputnya sudah dimulai dengan transaksional, maka outputnya pun demikian.(follow twitter: @irwansyahamunu)