Margin Error 80 Persen



PEMILU legislatif (Pileg) telah selesai, namun masih banyak menyisakan cerita menarik. Diantaranya terkait perolehan suara para Caleg yang erat kaitannya dengan dugaan politik uang.

Meski Kesbang dan Panwaslu menyatakan tidak menemukan politik uang, namun banyak pemilih, Caleg, dan Parpol yang mengungkapkan dana besar untuk meraih suara.

Kisah menariknya, ketika saya bertemu dengan seorang rekan di Pelabuhan Murhum Baubau, berujar Pileg lalu ada temannya yang bagi-bagi uang kepada pemilih disekitar rumah sang Caleg sebesar Rp 8 juta. Lalu teman ini bertanya ke saya, berapa suara sang Caleg?

Mendengar itu saya lantas mengibaskan tangan kepadanya, seraya berkata: biarkan saya menebak perolehan suaranya. Sebelum menjawab saya bertanya, apakah satu suara Rp 100 ribu? "Ya," katanya.

Setelah itu saya mengolah di otak, tidak sampai semenit saya menjawab, suaranya 16. Teman ini mengatakan, suaranya 14, bukan 16. Karena sebelumnya saya belum berkomunikasi dengannya, rekan saya ini heran mengapa tebakan saya nyaris tepat, hanya beda dua suara dengan faktanya.

Saya mengatakan untuk mengetahui perolehan suara Caleg bila berbasis kepada dana yang digelontor, maka suaranya berkisar pada 10 sampai 20 persen dari uang yang dibagi. Nah, tadi saya mengatakan suaranya 16 karena menggunakan batas atas 20 persen. Sehingga rumusnya: Rp 8 juta dibagi Rp 100 ribu dikali 20 persen sama dengan 16 suara.

Dia lantas tersenyum seraya geleng-geleng kepala mengetahui analisis saya ini. Namun demikian Ia belum kehilangan pertanyaan, dari mana rumus itu saya peroleh.
Saya jelaskan, rumus itu saya dapatkan dari sejumlah cerita sejumlah Caleg, keluarga Caleg, orang dekat Caleg, atau warga yang cerita terkait perkiraan dana mengalir saat Pileg. Misalnya, Caleg yang mengeksekusi data plasma 6000 sampai 8000, suaranya plus minus 2000. Atau yang cerita serangan fajar sampai Rp 1 miliar, namun suaranya hanya sekitar 1000-an. Ada juga yang bilang data plasmanya 4000 lebih (suaranya sekitar 700), juga plasmanya 1000-an, tapi suaranya lebih kurang 300.

Makanya saya berani menyebut margin error-nya 80 persen. Pendek kata, dana yang digelontor dengan suaranya antara 10-20 persen.

Berkaca dari analisis ini, untuk mengamankan satu kursi DPRD Baubau ditengarai butuh dana sampai Rp 1 miliar. Pertanyaannya, apakah dana ini bisa kembali dalam waktu lima tahun? Bila diasumsikan gaji anggota dewan sebulan Rp 9 juta, maka dalam waktu satu periode uang yang dikumpulkan hanya sekitar Rp 540 juta. Lantas bagaimana modal tadi bisa kembali? Bukankah besar pasak dari pada tiang? Jadi kekurangannya ditutup dari mana?

Hal ini, saya sempat ungkap dalam Diskusi Politik yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Baubau di Aula SKB Buton, akhir pekan lalu. Salah seorang pembicaranya DR H Andi Tenri, akademisi dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) mendengar penuturan saya soal margin error 80 persen sempat tanya, apakah hal tersebut merupakan hasil riset? Saya katakan, rumus tersebut berdasarkan analisis dari sejumlah cerita kontestan Pemilu, dan masyarakat yang berseliweran.

Maka itu, dalam forum tersebut Andi Tenri mengatakan apa yang kita mau banggakan dalam sistem demokrasi? Terkait Pemilu legislatif, demokrasi menjustisfikasi kapitalisme. Apa yang bisa kita harapkan dari dewan? Karena setelah itu cerita korupsi yang terdengar. Kapan mereka mau jadi anggota dewan?

Dia mengkritisi, kebanyakan Caleg sekadar mencari pekerjaan, bukan karena ekspektasi pada dirinya, dan mewakili rakyat. Indonesia mayoritas Islam, seharusnya ekspektasi ini menjadi kekuatan.

Andi Tenri menyebut, Khilafah harapan. Menurutnya, demokrasi, liberalisme, kapitalisme tidak pernah menyinggung akhirat, selesai di dunia. Tidak ada yang dipentingkan akhirat, padahal disana kita akan bertemu kehidupan yang sesungguhnya. Itu bagi kita yang tidak bisa diabaikan.

Dia berharap sisitem khilafah, dapat berdiri negara, pemerintahan berdasarkan syariat Islam.(Follow twitter: @irwansyahamunu)