Minggu, 04 Januari 2015

Siapa Dibalik Mustari dan Mansur Amila?

Catatan: Irwansyah Amunu


JELANG tutup tahun 2014, Bupati Buteng Mansur Amila, dan Bupati Busel Mustari melantik pembantunya masing-masing. Membaca komposisi kabinetnya, kita berharap dua pejabat bupati tersebut mampu meletakkan pondasi yang kokoh bagi daerahnya.

Mengapa? Sebagai daerah otonom baru (DOB), kabinet merupakan perangkat lunak yang akan membawa Buteng dan Busel bergerak. Maju, mundur, atau diam, semuanya sangat ditentukan para kebinet yang ditunjuk bupati.

Maka itu, pejabat yang dilantik harus menjawab kepercayaan tersebut dengan kerja. Karya adalah bukti nyata yang dapat berbicara banyak, sebaliknya bicara banyak tanpa karya sama dengan tong kosong nyaring bunyinya. Maka itu filosofi dasar yang harusnya ada di dada mereka adalah: apa yang saya bisa berikan pada daerah, bukan apa yang saya dapatkan dari daerah.

Nah, bicara soal pejabat, mungkin kita sudah bisa menyimpulkan kabinet Mustari dan Mansur Amila secara umum relatif menggambarkan rekonsiliasi politik dari sejumlah kekuatan di jazirah Buton Raya. Dikatakan demikian karena keduanya merekrut alumni pejabat dimasa Walikota Baubau Amirul Tamim, dan Bupati Buton Sjafei Kahar. Plus sejumlah nama yang diorbitkan sekarang oleh Bupati Buton Umar Samiun, dan Walikota Baubau Tamrin.

Hanya saja, warna kabinet Mansur Amila belum terlalu nampak karena eselon II yang dilantik lebih sedikit dibanding Mustari. Bisa dikatakan Mustari lebih berani karena sejumlah nama yang direkrut merupakan "ring satu" dari kekuatan birokrat masa lalu. Saya melihat hal ini sangat dipengaruhi dengan keikutsertaan Mustari secara langsung dalam kontestasi politik di Baubau selama dua periode terakhir.

Namun begitu, kita tidak meragukan kemampuan Mansur Amila dalam meracik timnya. Soalnya, Mansur dan Mustari adalah birokrat senior. Bukan hanya itu mereka juga teknokrat karena mampu membuat terobosan di sektornya masing-masing. Keduanya juga pernah berkarir di lever propinsi yang memberikan rekam jejak baik, dan jam terbangnya pun sudah lama.

Ya, pengalaman tersebut harus menjadi kunci sukses dalam memimpin daerah. Jangan sampai pengalaman hanya menjadi pemanis curiculum vitae tanpa arti apa-apa.

Hal tersebut harus menjadi garansi bagi masyarakat Buteng dan Busel untuk kemajuan daerahnya. Walaupun hasilnya nanti kita akan lihat diakhir kepemimpinan mereka, apakah dua "bayi kembar" tersebut mendapatkan "rapor merah" atau "rapor biru".

Perlu diingat, godaan di daerah pemekaran sangat banyak. Saya biasa berceloteh, kalau di DOB, pusing untuk menghabiskan uang (baca: APBD), sedangkan di daerah yang sudah lama pening cari uang. Karenanya persoalan akut yang menimpa DOB, pejabatnya banyak dijerat kasus korupsi. Bisa kita lihat contohnya di Bombana, dan Wakatobi ketika baru dimekarkan. Pejabatnya antri duduk di kursi pesakitan hingga berujung masuk ke Hotel Prodeo.

Variabel lain yang membuat hal tersebut terjadi karena pejabat yang diangkat belum berpengalaman, akibatnya tidak memahami mekanisme pengelolaan anggaran secara akuntabel. Akibatnya terjadi kebocoran dan penyimpangan anggaran yang merugikan negara.

Untuk itu, profesionalitas, dan kapabilitas harus menjadi ukuran mutlak dalam bekerja. Dengan demikian pejabat pembantunya merupakan figur pilihan yang kompoten, bukan yang "impoten" tak bisa menghasilkan karya. Soal ini saya setuju dengan prinsip Mustari yang kukuh tidak ingin merekrut guru menjadi pejabat struktural. Selain karena jumlah guru minim, pejabat struktural memiliki Tupoksi yang berbeda dengan guru.

Memang profesionalitas, dan kapabilitas harus berada dibalik 2M (Mustari dan Mansur). Dengan demikian menjawab pertanyaan: Siapa Dibalik Mustari dan Mansur Amila? Kita akan sama menjawab: kepentingan rakyat dan daerah, bukan kepentingan figur atau kelompok tertentu. Bila prinsip ini dipegang, maka Buteng dan Busel bakal bergerak maju, dan akan tumbuh semakin tinggi meski angin badai menerpa.(follow twitter: @irwansyahamunu)